Makna Mendalam di Balik Lafal Penutup Surah An-Nasr
Dalam Al-Qur'an, setiap surah memiliki struktur, pesan, dan keindahan yang unik. Surah An-Nasr, meskipun merupakan salah satu surah terpendek yang hanya terdiri dari tiga ayat, menyimpan makna yang luar biasa padat dan mendalam. Surah ini sering disebut sebagai surah perpisahan, karena banyak ulama tafsir meyakini bahwa surah ini adalah salah satu wahyu terakhir yang diterima oleh Rasulullah Muhammad SAW, yang menjadi pertanda dekatnya akhir dari misi kenabian beliau. Pertanyaan sentral yang sering muncul adalah, Surah An-Nasr diakhiri dengan lafal apa dan mengapa lafal tersebut menjadi penutup dari proklamasi kemenangan besar umat Islam?
Jawaban langsungnya, Surah An-Nasr diakhiri dengan lafal perintah untuk bertasbih, bertahmid, dan beristighfar kepada Allah SWT. Ayat penutup tersebut berbunyi: "Fasabbih bihamdi rabbika wastaghfirh, innahu kaana tawwaabaa" (فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا). Lafal ini bukan sekadar penutup biasa, melainkan sebuah arahan agung tentang bagaimana seorang hamba seharusnya merespons nikmat terbesar dari Tuhannya. Untuk memahami kedalamannya, kita perlu menyelami konteks surah ini secara keseluruhan dan membedah setiap kata dalam ayat penutupnya.
Membedah Surah An-Nasr Ayat per Ayat
Surah ke-110 dalam Al-Qur'an ini diturunkan di Madinah (Madaniyah) setelah peristiwa Hijrah. Namanya, An-Nasr, berarti "Pertolongan", yang merujuk langsung pada konten ayat pertamanya. Mari kita urai satu per satu untuk membangun pemahaman yang utuh.
Ayat Pertama: Janji Pertolongan dan Kemenangan
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ
"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan."
Ayat ini membuka surah dengan sebuah pernyataan kondisional yang mengandung kepastian. Kata "Idza" (إِذَا) sering kali digunakan untuk sesuatu yang pasti akan terjadi. Dua konsep utama diperkenalkan di sini: "Nasrullah" (نَصْرُ اللَّهِ) dan "Al-Fath" (الْفَتْحُ).
Nasrullah (Pertolongan Allah) adalah sebuah konsep yang fundamental dalam akidah Islam. Ini menegaskan bahwa segala bentuk bantuan, dukungan, dan kekuatan hakikatnya berasal dari Allah semata. Manusia hanya berusaha, tetapi hasil akhir dan pertolongan datang dari kehendak-Nya. Pertolongan ini bisa berwujud kekuatan militer, keteguhan hati, terbukanya jalan keluar dari kesulitan, atau dukungan tak terduga yang membalikkan keadaan. Sepanjang sejarah kenabian, pertolongan Allah selalu menyertai para nabi dan pengikutnya yang tulus.
Al-Fath (Kemenangan/Penaklukan) secara spesifik, menurut mayoritas ahli tafsir, merujuk pada peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah). Peristiwa ini adalah puncak dari perjuangan dakwah Rasulullah SAW selama lebih dari dua dekade. Fathu Makkah bukan sekadar kemenangan militer, melainkan sebuah kemenangan moral dan spiritual. Rasulullah SAW memasuki kota kelahirannya, tempat di mana beliau dan para pengikutnya pernah diusir, dianiaya, dan dimusuhi, dengan penuh kerendahan hati. Tidak ada pertumpahan darah yang berarti, tidak ada balas dendam. Beliau justru memberikan pengampunan massal kepada penduduk Makkah yang pernah memusuhinya. Kemenangan ini menghancurkan berhala-berhala di sekitar Ka'bah dan mengembalikan fungsinya sebagai pusat tauhid, sebagaimana yang telah dibangun oleh Nabi Ibrahim AS.
Ayat Kedua: Buah Kemenangan yang Tampak
وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا
"Dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah."
Ayat ini merupakan kelanjutan logis dari ayat pertama. Setelah pertolongan Allah dan kemenangan gemilang di Makkah terwujud, dampaknya begitu luar biasa. Sebelum Fathu Makkah, banyak kabilah Arab yang bersikap menunggu dan melihat (wait and see). Mereka menjadikan pertarungan antara kaum Quraisy (pemimpin Makkah) dan kaum Muslimin sebagai barometer. Dalam pandangan mereka, siapa pun yang menguasai Ka'bah adalah pihak yang diberkahi Tuhan.
Ketika Makkah ditaklukkan tanpa perlawanan berarti, dan Rasulullah SAW menunjukkan akhlak yang mulia, kabilah-kabilah dari seluruh Jazirah Arab menyadari kebenaran Islam. Mereka melihat bahwa ini bukanlah kemenangan karena kekuatan manusia, tetapi jelas merupakan "Nasrullah". Akibatnya, mereka datang dari berbagai penjuru untuk menyatakan keislaman mereka. Kata "Afwaajaa" (أَفْوَاجًا) yang berarti "berbondong-bondong" atau "dalam rombongan besar" menggambarkan fenomena ini dengan sangat indah. Bukan lagi satu atau dua orang yang masuk Islam secara sembunyi-sembunyi, melainkan seluruh suku dan kabilah datang dalam delegasi besar untuk berbaiat kepada Rasulullah SAW. Periode setelah Fathu Makkah dikenal sebagai "Tahun Delegasi" (Am al-Wufud) karena saking banyaknya rombongan yang datang ke Madinah.
Ayat Ketiga: Respon Atas Kemenangan (Fokus Utama)
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
"Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat."
Inilah puncak dari surah ini. Setelah menggambarkan nikmat terbesar—pertolongan dan kemenangan yang disusul dengan hidayah bagi umat manusia—Allah tidak memerintahkan untuk berpesta, berbangga diri, atau membalas dendam. Sebaliknya, Allah memberikan tiga instruksi spiritual yang sangat mendalam: bertasbih, bertahmid, dan beristighfar. Inilah lafal yang menjadi penutup agung dari surah kemenangan ini.
Analisis Mendalam Lafal Penutup Surah An-Nasr
Untuk memahami mengapa lafal ini yang dipilih, kita harus memecahnya menjadi tiga komponen utama dan memahami makna filosofis di baliknya.
1. Makna Tasbih (فَسَبِّحْ - Fasabbih)
Kata dasar dari "Tasbih" adalah "sabaha" (سبح) yang secara harfiah berarti berenang atau bergerak cepat. Secara istilah, tasbih berarti menyucikan Allah dari segala bentuk kekurangan, kelemahan, sifat-sifat yang tidak layak, atau penyerupaan dengan makhluk-Nya. Ketika kita mengucapkan "Subhanallah" (Maha Suci Allah), kita sedang mendeklarasikan bahwa Allah sempurna dan terbebas dari segala cela.
Perintah untuk bertasbih setelah meraih kemenangan besar mengandung beberapa pesan penting:
- Menafikan Peran Diri Sendiri: Kemenangan sering kali memicu kesombongan. Manusia cenderung merasa bahwa keberhasilan diraih karena kehebatan strategi, kekuatan pasukan, atau kecerdasan pemimpin. Perintah tasbih adalah pengingat pertama: "Sucikan Allah dari anggapan bahwa kemenangan ini terjadi karena campur tangan selain-Nya." Kemenangan ini murni karena kehendak dan kekuatan Allah. Peran manusia hanyalah sebagai wasilah (perantara).
- Mengakui Kesempurnaan Rencana Allah: Tasbih adalah pengakuan bahwa janji Allah itu benar dan rencana-Nya sempurna. Kemenangan yang datang adalah bukti kesempurnaan takdir dan kebijaksanaan-Nya yang melampaui pemahaman manusia.
- Membersihkan Hati dari Euforia Duniawi: Euforia kemenangan bisa melalaikan. Dengan bertasbih, seorang hamba mengalihkan fokusnya dari perayaan duniawi kembali kepada esensi spiritual, yaitu mengingat dan mengagungkan Sang Pemberi Kemenangan.
2. Makna Tahmid (بِحَمْدِ رَبِّكَ - Bihamdi Rabbika)
Setelah menyucikan Allah (Tasbih), perintah selanjutnya adalah "Bihamdi Rabbika" (dengan memuji Tuhanmu). Tahmid, yang diekspresikan dengan ucapan "Alhamdulillah" (Segala puji bagi Allah), adalah bentuk pujian dan syukur. Jika tasbih bersifat "salbiyah" (menafikan kekurangan), maka tahmid bersifat "itsbatiyah" (menetapkan kesempurnaan).
Pujian ini mencakup beberapa dimensi:
- Pujian Atas Sifat-sifat Allah: Kita memuji Allah karena sifat-sifat-Nya yang Maha Agung: Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Kuasa, Maha Bijaksana. Kemenangan An-Nasr adalah manifestasi dari sifat-sifat tersebut.
- Pujian Atas Perbuatan Allah: Kita memuji Allah atas perbuatan-Nya, yaitu memberikan pertolongan (Nasr) dan kemenangan (Fath). Ini adalah bentuk syukur konkret atas nikmat yang baru saja diterima.
- Kombinasi Tasbih dan Tahmid: Gabungan "Fasabbih bihamdi Rabbika" adalah sebuah formula zikir yang sempurna. Kita menyucikan Allah dari segala kekurangan, sekaligus memuji-Nya atas segala kesempurnaan-Nya. Ini adalah ekspresi pengagungan tertinggi. Rasulullah SAW sering membaca zikir "Subhanallahi wa bihamdihi" yang artinya "Maha Suci Allah dan dengan memuji-Nya". Ayat ini menginstruksikan esensi dari zikir tersebut.
Di puncak kesuksesan, seorang mukmin diajarkan untuk tidak hanya menyucikan Allah dari andil selain diri-Nya, tetapi juga secara aktif memuji dan bersyukur kepada-Nya sebagai satu-satunya sumber segala kebaikan.
3. Makna Istighfar (وَاسْتَغْفِرْهُ - Wastaghfirh)
Ini mungkin bagian yang paling mengejutkan bagi sebagian orang. Mengapa di saat kemenangan yang gemilang, setelah tugas dakwah hampir selesai, Rasulullah SAW yang ma'shum (terjaga dari dosa) justru diperintahkan untuk memohon ampunan (Istighfar)? Di sinilah letak kedalaman ajaran Islam tentang hakikat seorang hamba.
Perintah istighfar di sini memiliki beberapa makna yang sangat dalam:
- Sikap Tawadhu' (Kerendahan Hati): Istighfar adalah puncak dari kerendahan hati. Ini adalah pengakuan bahwa sehebat apa pun pencapaian seorang hamba, ia tidak akan pernah bisa menunaikan hak Allah secara sempurna. Pasti ada kekurangan, kelalaian, atau ketidaksempurnaan dalam ibadah, syukur, atau usahanya. Istighfar menutupi segala kekurangan tersebut.
- Permohonan Ampun Atas Kelalaian: Dalam proses perjuangan yang panjang, mungkin ada saat-saat di mana fokus sedikit teralihkan, atau ada tindakan yang kurang optimal. Istighfar adalah cara untuk membersihkan catatan amal dari segala potensi kekurangan yang mungkin tidak disadari.
- Sebagai Teladan Bagi Umatnya: Jika Rasulullah SAW, sosok paling mulia, di puncak kemenangannya diperintahkan untuk beristighfar, bagaimana lagi dengan kita, umatnya, yang penuh dengan dosa dan kesalahan? Ini adalah pelajaran abadi bahwa istighfar bukanlah untuk para pendosa saja, melainkan kebutuhan bagi setiap hamba dalam setiap keadaan, baik dalam kesulitan maupun kelapangan.
- Persiapan Menghadap Allah: Sebagaimana akan dibahas lebih lanjut, surah ini adalah isyarat dekatnya ajal Rasulullah SAW. Perintah untuk memperbanyak istighfar adalah bentuk persiapan spiritual untuk bertemu dengan Allah dalam keadaan yang sebersih-bersihnya.
Sebagai penutup ayat, Allah menegaskan, "Innahu kaana tawwaabaa" (إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا). "At-Tawwab" adalah salah satu Asmaul Husna yang berarti Maha Penerima Tobat. Penegasan ini memberikan harapan dan ketenangan. Seakan-akan Allah berkata, "Mohonlah ampunan, karena Aku selalu siap menerima tobatmu dan menyambutmu kembali dengan rahmat-Ku." Ini adalah penutup yang penuh kasih sayang, mengundang hamba-Nya untuk kembali kepada-Nya.
Hikmah dan Pelajaran Universal dari Lafal Penutup An-Nasr
Lafal penutup Surah An-Nasr bukan hanya berlaku untuk peristiwa Fathu Makkah. Ia mengandung prinsip-prinsip universal yang relevan bagi setiap Muslim di setiap zaman.
Isyarat Wafatnya Rasulullah SAW
Sahabat-sahabat senior seperti Ibnu Abbas dan Umar bin Khattab memahami surah ini bukan hanya sebagai kabar gembira kemenangan, tetapi juga sebagai 'na'yu' atau pemberitahuan akan dekatnya ajal Rasulullah SAW. Logikanya sederhana: jika misi utama (menegakkan tauhid di Makkah dan masuknya manusia ke dalam Islam secara massal) telah selesai, maka tugas sang utusan pun telah berakhir. Perintah untuk memperbanyak tasbih, tahmid, dan istighfar adalah bekal terakhir dan persiapan terbaik untuk perjumpaan dengan Sang Pencipta. Ini mengajarkan kita bahwa setiap penyelesaian tugas besar dalam hidup kita adalah pengingat bahwa kita selangkah lebih dekat dengan akhir perjalanan kita.
Pelajaran tentang Kerendahan Hati di Puncak Kejayaan
Inilah pelajaran manajemen kesuksesan yang paling agung. Budaya modern sering kali mengajarkan untuk merayakan kemenangan dengan pesta pora, memamerkan pencapaian, dan merasa bangga atas hasil kerja keras. Islam menawarkan paradigma yang berbeda. Puncak kejayaan adalah momen yang paling krusial untuk introspeksi dan kembali kepada Allah. Respon yang benar bukanlah arogansi, melainkan tasbih (menyadari ini semua karena Allah), tahmid (bersyukur atas karunia-Nya), dan istighfar (memohon ampun atas segala kekurangan dalam prosesnya). Sikap inilah yang akan menjaga sebuah kemenangan agar tetap berkah dan tidak menjadi awal dari kejatuhan.
Formula Abadi dalam Menghadapi Nikmat
Tiga serangkai (Tasbih, Tahmid, Istighfar) ini menjadi formula abadi bagi seorang mukmin dalam menghadapi setiap nikmat, baik besar maupun kecil. Ketika mendapat promosi jabatan, lulus ujian, sembuh dari sakit, atau mencapai target pribadi, respons pertama seharusnya bukan kepuasan diri, melainkan:
- Tasbih: "Subhanallah, Maha Suci Engkau ya Allah, ini terjadi bukan karena kekuatanku."
- Tahmid: "Alhamdulillah, segala puji bagi-Mu ya Allah atas nikmat yang tak terhingga ini."
- Istighfar: "Astaghfirullah, ampunilah aku ya Allah jika ada kelalaian dalam syukurku atau kekuranganku dalam berikhtiar."
Dengan mengamalkan ini, nikmat yang diterima tidak akan membuat seseorang lalai, melainkan justru semakin mendekatkannya kepada Allah SWT.
Pentingnya Dzikir Sebagai Penutup Aktivitas
Surah An-Nasr mengajarkan bahwa setiap aktivitas besar harus ditutup dengan dzikir. Hal ini tercermin dalam ajaran Islam lainnya. Sebagai contoh, setelah selesai shalat, kita dianjurkan untuk beristighfar tiga kali lalu berdzikir. Setelah selesai melaksanakan ibadah haji di Arafah, jamaah diperintahkan untuk berdzikir kepada Allah. Majelis atau pertemuan pun dianjurkan untuk ditutup dengan doa kafaratul majelis yang berisi tasbih, tahmid, dan permohonan ampun. Pola ini menunjukkan bahwa mengingat Allah adalah cara terbaik untuk menyempurnakan dan menutupi kekurangan dari setiap amal yang kita lakukan.
Kesimpulan: Puncak dari Sebuah Misi
Jadi, menjawab pertanyaan awal, Surah An-Nasr diakhiri dengan lafal yang merupakan sebuah perintah agung: "Fasabbih bihamdi rabbika wastaghfirh, innahu kaana tawwaabaa". Lafal ini adalah sebuah pedoman etika dan spiritualitas dalam merespons anugerah terbesar dari Allah. Ia adalah penawar bagi kesombongan, penuntun menuju kerendahan hati, dan pengingat abadi bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Ayat penutup ini mengubah narasi kemenangan dari sekadar perayaan duniawi menjadi sebuah momentum untuk meningkatkan kedekatan spiritual dengan Sang Khalik. Ia mengajarkan bahwa puncak dari sebuah perjuangan bukanlah istirahat dan berleha-leha, melainkan peningkatan ibadah, pengagungan, dan permohonan ampun sebagai persiapan untuk fase kehidupan selanjutnya. Dengan demikian, lafal penutup Surah An-Nasr bukan sekadar akhir dari sebuah surah, melainkan sebuah awal dari kesadaran baru tentang hakikat kemenangan sejati dalam pandangan Islam.