Di Kota Manakah Surah An-Nas Diturunkan?
Pertanyaan mengenai lokasi turunnya sebuah surah dalam Al-Qur'an bukanlah sekadar perdebatan akademis tentang geografi. Ia membuka jendela menuju pemahaman konteks, sebab-sebab pewahyuan (sabab an-nuzul), dan tahapan dakwah Islam. Surah An-Nas, surah penutup dalam mushaf Al-Qur'an, menjadi salah satu subjek diskusi menarik di kalangan para ulama tafsir. Bersama Surah Al-Falaq, ia dijuluki sebagai Al-Mu'awwidhatain, dua surah perlindungan yang menjadi benteng spiritual bagi setiap muslim. Lalu, di kota manakah surah agung ini diturunkan? Makkah atau Madinah?
Diskusi ini membawa kita pada klasifikasi surah-surah Al-Qur'an menjadi dua kategori besar: Makkiyah dan Madaniyah. Surah Makkiyah adalah surah yang diturunkan sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah, meskipun beberapa di antaranya mungkin diturunkan di luar kota Makkah. Ciri utamanya adalah fokus pada pilar-pilar akidah, tauhid, hari kiamat, kisah para nabi, serta ayat-ayatnya yang cenderung pendek, puitis, dan memiliki ritme yang kuat. Sementara itu, surah Madaniyah adalah yang diturunkan setelah peristiwa hijrah, meskipun lokasinya bisa jadi di Makkah (seperti saat Fathu Makkah). Surah Madaniyah umumnya lebih panjang dan membahas hukum-hukum syariat, muamalah, hubungan sosial, serta interaksi dengan ahli kitab dan kaum munafik.
Untuk Surah An-Nas, terdapat dua pendapat utama di kalangan ulama yang masing-masing didasarkan pada dalil dan argumen yang kuat. Memahami kedua perspektif ini akan memberikan kita gambaran yang lebih utuh tentang keagungan surah ini.
Pendapat Pertama: Surah An-Nas adalah Madaniyah
Pendapat yang paling populer dan dipegang oleh mayoritas ulama, termasuk Ibnu Katsir dan para ahli hadis, menyatakan bahwa Surah An-Nas (bersama Surah Al-Falaq) diturunkan di kota Madinah. Argumen utama yang menjadi sandaran pandangan ini adalah sebuah peristiwa spesifik yang menjadi sabab an-nuzul atau sebab turunnya kedua surah tersebut.
Kisah Sihir Labid bin al-A'sam
Dasar dari pendapat Madaniyah ini berakar pada riwayat hadis yang shahih, terutama yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu 'anha. Dikisahkan bahwa seorang Yahudi dari kabilah Bani Zuraiq bernama Labid bin al-A'sam, yang bersekutu dengan kaum munafik, melakukan sihir terhadap Rasulullah SAW. Ia menggunakan beberapa helai rambut Nabi yang rontok saat bersisir, yang didapatkannya melalui seorang pelayan, lalu membuat sebelas simpul pada rambut tersebut dan menusuknya dengan jarum. Bungkusan sihir itu kemudian ia sembunyikan di dalam sumur tua bernama Dzarwan.
Akibat sihir ini, Rasulullah SAW merasakan kondisi yang tidak biasa. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa beliau merasa seolah-olah telah melakukan sesuatu padahal belum melakukannya, terutama dalam urusan rumah tangga dengan istri-istri beliau. Namun, penting untuk dicatat bahwa sihir ini sama sekali tidak memengaruhi fungsi kenabian, wahyu, atau penyampaian risalah. Akal dan hati beliau terjaga penuh oleh Allah SWT. Efeknya hanya bersifat fisik dan duniawi, layaknya penyakit biasa yang bisa menimpa manusia.
Kondisi ini berlangsung selama beberapa waktu hingga suatu malam, ketika beliau sedang tidur, beliau berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Allah. Allah pun mengabulkan doanya. Beliau bermimpi didatangi dua malaikat, yang satu duduk di dekat kepala beliau dan yang lainnya di dekat kaki beliau. Salah satu malaikat bertanya kepada yang lain, "Apa yang terjadi pada orang ini?" Yang lain menjawab, "Dia terkena sihir (mathbub)." Malaikat pertama bertanya lagi, "Siapa yang menyihirnya?" Dijawab, "Labid bin al-A'sam." Pertanyaan berlanjut, "Dengan media apa?" Dijawab, "Dengan sisir, rambut yang rontok darinya, dan seludang mayang kurma jantan." Terakhir, ditanyakan, "Di mana benda itu sekarang?" Dijawab, "Di sumur Dzarwan."
Setelah terbangun, Rasulullah SAW mengutus beberapa sahabat, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, dan Ammar bin Yasir, untuk pergi ke sumur tersebut. Para sahabat menemukan bungkusan sihir itu persis seperti yang digambarkan dalam mimpi. Air sumur itu tampak kemerahan seperti rendaman daun inai dan pohon-pohon kurma di sekitarnya seolah-olah seperti kepala setan.
Pada saat itulah, Allah SWT menurunkan dua surah perlindungan, Al-Falaq dan An-Nas. Malaikat Jibril datang dan membacakan kedua surah ini. Setiap kali satu ayat dibacakan, satu dari sebelas simpul sihir itu terlepas. Ketika ayat kesebelas selesai dibacakan, simpul terakhir pun terlepas, dan Rasulullah SAW merasakan kelegaan seolah-olah terbebas dari ikatan yang kuat. Beliau sembuh total atas izin Allah.
Peristiwa ini, yang secara pasti terjadi di Madinah setelah hijrah (karena interaksi dengan kaum Yahudi dan munafik merupakan ciri khas periode Madinah), menjadi argumen terkuat bahwa Surah An-Nas adalah Madaniyah. Wahyu turun sebagai jawaban langsung dan solusi ilahi atas masalah yang sedang dihadapi oleh Nabi, menjadikannya bukti yang sangat spesifik dan kontekstual.
Pendapat Kedua: Surah An-Nas adalah Makkiyah
Meskipun pendapat Madaniyah lebih dominan, ada sebagian ulama lain yang berpandangan bahwa Surah An-Nas tergolong Makkiyah. Argumen mereka tidak didasarkan pada satu peristiwa spesifik, melainkan pada analisis gaya bahasa, tema, dan konteks umum surah tersebut.
Analisis Tematik dan Gaya Bahasa
Para ulama yang mendukung pandangan ini menunjukkan bahwa Surah An-Nas memiliki karakteristik yang sangat mirip dengan surah-surah Makkiyah lainnya. Ciri-ciri tersebut antara lain:
- Ayat yang Pendek dan Ringkas: Struktur Surah An-Nas yang terdiri dari ayat-ayat pendek dengan ritme yang kuat sangat khas dengan gaya bahasa surah-surah yang diturunkan di Makkah.
- Fokus pada Tauhid: Inti dari Surah An-Nas adalah pengesaan Allah dalam tiga aspek utama: Rububiyyah (Tuhan Pemelihara), Mulkiyyah (Raja yang Berkuasa Mutlak), dan Uluhiyyah (Sembahan yang Haq). Penekanan pada pilar-pilar tauhid ini adalah tema sentral dakwah periode Makkah, di mana fondasi keimanan sedang ditanamkan.
- Perlindungan dari Kejahatan Gaib: Tema perlindungan dari bisikan setan (waswas) adalah kebutuhan mendasar bagi setiap mukmin sejak awal keislaman mereka. Di Makkah, di mana tekanan dari kaum musyrikin sangat kuat dan godaan untuk kembali ke kepercayaan lama begitu besar, perlindungan spiritual semacam ini sangatlah relevan.
Pendukung pandangan Makkiyah berargumen bahwa kebutuhan akan perlindungan dari bisikan setan bukanlah sesuatu yang baru muncul di Madinah. Justru, pada fase awal dakwah di Makkah, ketika jumlah umat Islam masih sedikit dan lemah, benteng spiritual seperti Surah An-Nas sangatlah vital untuk menjaga keteguhan iman.
Upaya Rekonsiliasi
Beberapa ulama mencoba menjembatani kedua pendapat ini. Ada yang berpendapat bahwa surah ini mungkin diturunkan dua kali: sekali di Makkah sebagai panduan umum perlindungan, dan sekali lagi di Madinah untuk menegaskan kembali relevansinya serta sebagai respons langsung terhadap peristiwa sihir yang menimpa Nabi. Penurunan wahyu berulang kali untuk menekankan pentingnya suatu pesan bukanlah hal yang mustahil dalam sejarah Al-Qur'an.
Namun, jika harus memilih salah satu, bukti kontekstual dari hadis tentang sihir Labid bin al-A'sam menjadikan pendapat Madaniyah memiliki landasan riwayat yang lebih kokoh dan spesifik. Inilah mengapa pandangan ini menjadi pandangan jumhur (mayoritas) ulama.
Terlepas dari perdebatan di kota mana ia diturunkan, keagungan dan fungsi Surah An-Nas sebagai perisai rohani bagi umat manusia bersifat universal dan abadi, melintasi batas ruang dan waktu.
Tafsir Mendalam Surah An-Nas: Benteng dari Bisikan Tersembunyi
Memahami makna yang terkandung dalam setiap ayat Surah An-Nas akan membuka mata kita betapa dahsyatnya formula perlindungan yang Allah ajarkan. Surah ini bukan sekadar bacaan, melainkan sebuah deklarasi ketergantungan total kepada Sang Pencipta untuk menghadapi musuh yang tak terlihat.
Ayat 1: قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ (Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.")
Ayat pembuka ini dimulai dengan kata perintah "Qul" (Katakanlah). Ini bukan sekadar anjuran, melainkan sebuah instruksi tegas dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW, dan melalui beliau, kepada seluruh umatnya. Perintah ini menyiratkan bahwa perlindungan bukanlah sesuatu yang pasif, melainkan harus diikrarkan, diucapkan, dan dihayati secara aktif. Ini adalah sebuah pernyataan iman yang diverbalisasikan.
Kata "A'ūdhu" (Aku berlindung) berasal dari akar kata yang bermakna mencari perlindungan, penjagaan, dan benteng dari sesuatu yang ditakuti. Ini adalah pengakuan tulus akan kelemahan diri dan pengakuan akan adanya kekuatan superior yang mampu memberikan keamanan mutlak. Ketika seorang hamba mengucapkan "A'ūdhu," ia sedang menanggalkan kesombongan dan rasa percaya diri yang berlebihan, lalu menyerahkan keselamatannya sepenuhnya kepada Allah.
Perlindungan ini ditujukan kepada "Rabbin-nās" (Tuhan manusia). Penggunaan kata "Rabb" sangatlah signifikan. Rabb bukan sekadar "Tuhan" dalam artian pencipta, tetapi juga berarti Pemelihara, Pengatur, Pendidik, Pemberi Rezeki, dan yang Menumbuhkan. Dengan berlindung kepada "Rabb" manusia, kita mengakui bahwa Dzat yang menciptakan dan memelihara kita dari buaian hingga liang lahat adalah Dzat yang paling tahu cara melindungi ciptaan-Nya. Penyebutan "an-nās" (manusia) secara spesifik menunjukkan universalitas perlindungan ini bagi seluruh umat manusia, tanpa memandang suku, ras, atau status sosial.
Ayat 2: مَلِكِ النَّاسِ (Raja manusia.)
Setelah menyebut sifat Rububiyyah (sebagai Rabb), Allah melanjutkan dengan sifat-Nya sebagai "Malikin-nās" (Raja manusia). Jika "Rabb" berbicara tentang pemeliharaan dan kasih sayang, "Malik" (Raja) berbicara tentang kekuasaan, kedaulatan, dan otoritas mutlak. Raja dunia memiliki kekuasaan yang terbatas oleh wilayah, waktu, dan hukum. Kekuasaan mereka sering kali tidak absolut. Namun, Allah adalah Raja yang sesungguhnya, yang kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu, lahir dan batin, dunia dan akhirat.
Dengan berlindung kepada Raja manusia, kita meyakini bahwa tidak ada kekuatan lain—baik itu kekuatan setan, sihir, atau manusia jahat—yang bisa berbuat sekehendak hati tanpa izin-Nya. Semua makhluk berada di bawah genggaman kekuasaan-Nya. Perlindungan kepada Sang Raja berarti kita sedang memasuki wilayah teritori-Nya yang aman, di mana tidak ada musuh yang bisa menjangkau kita tanpa kehendak-Nya.
Ayat 3: إِلَهِ النَّاسِ (Sembahan manusia.)
Ayat ini adalah puncak dari tiga sifat yang disebutkan. Setelah mengakui Allah sebagai Pemelihara (Rabb) dan Penguasa (Malik), konsekuensi logisnya adalah mengakui-Nya sebagai satu-satunya "Ilāhin-nās" (Sembahan manusia). Ilah adalah Dzat yang dicintai, ditaati, dan dituju dalam setiap ibadah dan doa. Inilah esensi dari tauhid Uluhiyyah.
Tiga sifat ini—Rabb, Malik, Ilah—membentuk sebuah benteng pertahanan yang berlapis dan tak tertembus. Kita berlindung kepada-Nya karena Dia-lah yang memelihara kita (Rububiyyah). Kita berlindung kepada-Nya karena Dia-lah yang memiliki kekuasaan absolut untuk melindungi (Mulkiyyah). Dan kita berlindung kepada-Nya karena hanya Dia-lah yang berhak menjadi tujuan akhir dari segala permohonan dan ibadah kita (Uluhiyyah). Kombinasi ketiganya memberikan ketenangan total, bahwa kita sedang meminta pertolongan kepada Dzat yang Paling Berkuasa, Paling Pemelihara, dan Paling Berhak Disembah.
Ayat 4: مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ (Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi,)
Setelah menetapkan kepada siapa kita berlindung, ayat ini menjelaskan dari apa kita berlindung. Kita berlindung dari "syarr" (kejahatan) yang bersumber dari "al-waswās al-khannās".
"Al-Waswās" adalah kata yang menggambarkan sumber bisikan itu sendiri (setan) dan juga sifat dari tindakannya (membisikkan). Bisikan ini bukanlah serangan frontal yang terlihat. Ia adalah serangan yang halus, samar, dan menyusup ke dalam pikiran dan hati. Ia menanamkan keraguan, was-was, keinginan buruk, rasa takut, dan angan-angan kosong. Inilah metode kerja utama setan, karena serangan halus lebih sulit dideteksi dan dilawan.
Sifat dari pembisik ini adalah "al-khannās", yang berarti "yang biasa bersembunyi" atau "yang mundur dan menyelinap". Kata ini menggambarkan taktik licik setan. Ketika seorang hamba berzikir dan mengingat Allah, setan akan mundur, bersembunyi, dan mengecil. Namun, ketika sang hamba lalai dan lupa kepada Allah, setan akan kembali maju dan melancarkan bisikannya. Sifat ini mengajarkan kita bahwa senjata paling ampuh untuk melawannya adalah dengan senantiasa menjaga kesadaran dan ingatan kepada Allah (zikrullah).
Ayat 5: الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ (yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,)
Ayat ini menjelaskan lebih lanjut lokasi target dari bisikan tersebut. Setan tidak membisikkan di telinga, melainkan "fī ṣudūrin-nās" (ke dalam dada manusia). Kata "ṣudūr" (jamak dari ṣadr, dada) dalam terminologi Al-Qur'an seringkali merujuk pada hati (qalb), yang merupakan pusat dari keimanan, niat, dan emosi.
Ini menunjukkan betapa berbahayanya serangan ini. Ia tidak menyerang logika luar, tetapi langsung menargetkan pusat kendali spiritual manusia. Ia mencoba merusak niat, menumbuhkan keraguan pada keyakinan, membangkitkan syahwat, dan memadamkan cahaya iman dari dalam. Jika hati sebagai benteng utama sudah berhasil disusupi, maka seluruh anggota tubuh lainnya akan mudah untuk mengikuti keburukan.
Ayat 6: مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ (dari (golongan) jin dan manusia.)
Ayat penutup ini memberikan sebuah pencerahan yang sangat penting. Ternyata, sumber bisikan jahat (waswas) itu tidak hanya berasal dari satu sumber, yaitu setan dari golongan jin. Ia juga bisa berasal dari "an-nās" (manusia). Ayat ini memperluas definisi musuh yang harus kita waspadai.
"Minal-jinnati" (dari golongan jin) merujuk pada Iblis dan bala tentaranya yang memang tugasnya adalah menyesatkan manusia. Mereka adalah musuh gaib yang metode serangannya telah dijelaskan, yaitu melalui bisikan ke dalam dada.
"Wan-nās" (dan manusia) merujuk pada "setan berwujud manusia". Mereka adalah orang-orang yang memiliki sifat dan perilaku layaknya setan. Mereka adalah teman yang buruk yang mengajak kepada kemaksiatan, penyebar fitnah dan hoaks yang menanamkan keraguan, atau orang-orang yang dengan kata-kata manisnya menjerumuskan orang lain ke dalam kesesatan. Bisikan mereka bisa berupa ajakan langsung, saran yang menyesatkan, atau ideologi-ideologi yang merusak akidah. Bahaya dari "setan manusia" ini terkadang lebih besar, karena mereka terlihat, berinteraksi langsung dengan kita, dan lebih mudah untuk memengaruhi kita melalui hubungan pertemanan atau sosial.
Dengan demikian, Surah An-Nas memberikan paket perlindungan yang lengkap. Ia mengajarkan kita untuk berlindung kepada Allah Yang Maha Agung dari musuh yang paling berbahaya: musuh internal dan tak terlihat yang menyerang inti keimanan kita, baik yang berasal dari golongan jin maupun manusia.
Keutamaan dan Praktik Surah An-Nas dalam Kehidupan
Memahami lokasi turun dan tafsir Surah An-Nas akan semakin sempurna jika kita mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullah SAW telah memberikan teladan bagaimana menjadikan surah ini sebagai bagian tak terpisahkan dari zikir dan perlindungan harian.
Beliau terbiasa membaca Al-Mu'awwidhatain (Al-Falaq dan An-Nas) bersama Surah Al-Ikhlas setiap selesai shalat fardhu. Beliau juga membacanya sebanyak tiga kali pada zikir pagi dan petang. Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda bahwa membaca ketiganya di waktu pagi dan petang akan mencukupi (melindungi) seseorang dari segala sesuatu.
Praktik yang paling dikenal adalah membacanya sebelum tidur. Aisyah radhiyallahu 'anha meriwayatkan bahwa setiap malam menjelang tidur, Rasulullah SAW akan menyatukan kedua telapak tangannya, lalu membaca Surah Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas, kemudian meniupkannya ke kedua telapak tangan tersebut. Setelah itu, beliau mengusapkan kedua telapak tangannya ke seluruh tubuh yang bisa dijangkau, dimulai dari kepala, wajah, dan bagian depan tubuh. Beliau melakukannya sebanyak tiga kali.
Amalan ini bukan sekadar ritual, melainkan sebuah bentuk penyerahan diri total sebelum memasuki kondisi "setengah mati" yaitu tidur. Ini adalah cara kita membentengi diri dari gangguan jin, mimpi buruk, dan segala kejahatan yang mungkin mengintai di kegelapan malam.
Pada akhirnya, perdebatan apakah Surah An-Nas diturunkan di Makkah atau Madinah mengantarkan kita pada kesimpulan yang lebih agung. Baik diturunkan untuk membangun fondasi akidah di Makkah maupun sebagai solusi atas peristiwa konkret di Madinah, pesannya tetap sama: manusia adalah makhluk yang lemah, dan ia senantiasa membutuhkan perlindungan dari Tuhannya. Surah ini adalah tali ilahi yang bisa kita pegang erat-erat, sebuah senjata spiritual untuk menghadapi perang abadi melawan bisikan-bisikan yang berusaha memalingkan kita dari jalan kebenaran. Ia adalah penutup Al-Qur'an yang sempurna, mengingatkan kita bahwa di akhir perjalanan, kita harus kembali dan berlindung hanya kepada Sang Rabb, Sang Malik, dan Sang Ilah.