Mengungkap Makna Kemenangan: Tafsir Surat An-Nasr Ayat Pertama
Ilustrasi kaligrafi kata "Nasr" (Pertolongan).
Dalam khazanah Al-Qur'an, setiap surat memiliki keunikan dan pesan mendalam yang relevan sepanjang zaman. Salah satu surat yang singkat namun sarat makna adalah Surat An-Nasr. Surat ke-110 dalam mushaf Al-Qur'an ini, yang tergolong sebagai surat Madaniyah, sering kali dibaca dalam shalat karena keringkasannya. Namun di balik tiga ayatnya yang pendek, terkandung lautan hikmah tentang hakikat kemenangan, sikap seorang mukmin dalam menghadapi kesuksesan, dan bahkan sebuah isyarat halus tentang sebuah peristiwa besar dalam sejarah Islam. Fokus utama pembahasan ini adalah mengupas tuntas ayat pertamanya, yang menjadi kunci pembuka seluruh pesan dalam surat ini. Surat An-Nasr ayat pertama berbunyi: "إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ".
Kalimat agung ini bukan sekadar berita, melainkan sebuah proklamasi ilahi yang menandai puncak dari perjuangan dakwah Nabi Muhammad SAW selama lebih dari dua dekade. Ayat ini secara langsung mengikat dua konsep fundamental: pertolongan Allah (نَصْرُ اللَّهِ) dan kemenangan yang nyata (الْفَتْحُ). Untuk memahaminya secara utuh, kita perlu menyelami konteks historisnya, menganalisis setiap kata yang dipilih dengan cermat, serta merenungkan implikasi teologis dan spiritual yang dikandungnya. Artikel ini akan membawa kita dalam perjalanan mendalam untuk menggali makna, tafsir, asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya), dan pelajaran berharga yang dapat kita petik dari ayat pembuka Surat An-Nasr.
Teks Lengkap Surat An-Nasr Beserta Terjemahan
Sebelum kita menyelam lebih dalam ke dalam ayat pertama, marilah kita membaca dan merenungkan keseluruhan Surat An-Nasr untuk mendapatkan gambaran yang utuh tentang pesannya. Surat ini terdiri dari tiga ayat yang saling berkaitan dan membentuk satu kesatuan makna yang koheren.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ
Idzaa jaa-a nashrullahi wal fat-h
1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا
Wa ra-aitan naasa yadkhuluuna fii diinillaahi afwaajaa
2. dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
Fasabbih bihamdi rabbika wastaghfirh, innahuu kaana tawwaabaa
3. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.
Analisis Mendalam Surat An-Nasr Ayat Pertama
Surat An-Nasr ayat pertama berbunyi "إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ". Setiap kata dalam ayat ini dipilih oleh Allah dengan presisi yang luar biasa. Mari kita bedah satu per satu untuk memahami kedalaman maknanya.
1. Kata "إِذَا" (Idzaa) - Apabila
Kata "Idzaa" dalam bahasa Arab digunakan untuk menunjukkan sebuah kondisi di masa depan yang kepastian terjadinya sangat tinggi, bahkan dianggap pasti akan terjadi. Ini berbeda dengan kata "In" (إن) yang juga berarti "jika" namun mengandung unsur ketidakpastian atau kemungkinan. Penggunaan "Idzaa" di awal surat ini memberikan penekanan bahwa peristiwa yang akan disebutkan—datangnya pertolongan Allah dan kemenangan—adalah sebuah keniscayaan. Ini adalah janji ilahi yang pasti akan terwujud. Allah seakan-akan memberitahu Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin, "Bersabarlah, karena momen ini pasti akan tiba." Ini memberikan optimisme dan kekuatan spiritual yang luar biasa kepada para sahabat yang telah melalui tahun-tahun penuh penderitaan, penganiayaan, dan perjuangan.
2. Kata "جَاءَ" (Jaa-a) - Telah Datang
Kata "Jaa-a" adalah bentuk kata kerja lampau yang berarti "telah datang". Penggunaan bentuk lampau untuk peristiwa di masa depan adalah gaya bahasa Al-Qur'an yang disebut "iltifat", yang berfungsi untuk menegaskan kepastian terjadinya peristiwa tersebut. Seolah-olah kemenangan itu sudah terjadi saking pastinya janji Allah. Kata "Jaa-a" juga memiliki nuansa kedatangan yang megah dan signifikan. Bukan sekadar "datang" biasa, melainkan sebuah kedatangan yang dinanti-nanti, yang mengubah keadaan secara drastis. Ini menggambarkan bahwa kemenangan yang dijanjikan bukanlah peristiwa kecil, melainkan sebuah titik balik besar dalam sejarah umat manusia.
3. Frasa "نَصْرُ اللَّهِ" (Nashrullahi) - Pertolongan Allah
Ini adalah inti dari ayat tersebut. Kata "Nashr" (نَصْر) berarti pertolongan, bantuan, atau kemenangan. Namun, Al-Qur'an tidak berhenti di situ. Pertolongan ini disandarkan langsung kepada Allah (الله), menjadi "Nashrullah". Penyandaran ini memiliki implikasi yang sangat dalam:
- Sumber Kemenangan: Ini menegaskan bahwa sumber segala pertolongan dan kemenangan hakiki hanyalah Allah SWT. Kemenangan yang diraih kaum muslimin bukanlah semata-mata karena kekuatan militer, strategi perang, atau kehebatan jumlah mereka. Itu semua adalah sebab, tetapi penyebab utamanya adalah intervensi dan kehendak ilahi. Ini menanamkan akidah yang lurus, bahwa seorang mukmin tidak boleh bersandar pada kekuatannya sendiri, melainkan harus senantiasa bergantung dan berharap hanya kepada Allah.
- Kualitas Kemenangan: Pertolongan dari Allah adalah pertolongan yang sempurna, tanpa cacat, dan membawa kebaikan jangka panjang. Berbeda dengan bantuan dari manusia yang seringkali disertai pamrih, syarat, atau memiliki keterbatasan. "Nashrullah" adalah kemenangan yang membawa berkah, rahmat, dan membuka pintu-pintu kebaikan yang lebih luas.
- Pembeda dari Kemenangan Biasa: Banyak bangsa dan pasukan di dunia yang meraih kemenangan militer. Namun, "Nashrullah" adalah kemenangan yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk menegakkan kalimat-Nya di muka bumi. Tujuannya bukan untuk menaklukkan, menjajah, atau menumpuk kekayaan, melainkan untuk menyebarkan keadilan, rahmat, dan tauhid.
4. Kata "وَ" (Wa) - Dan
Kata sambung "Wa" yang berarti "dan" berfungsi untuk menghubungkan "Nashrullah" dengan kata berikutnya. Namun, dalam konteks ini, "Wa" bisa diartikan sebagai "wa tafsiriyyah" (huruf 'dan' yang berfungsi sebagai penjelas). Artinya, apa yang datang setelahnya adalah penjelasan atau manifestasi nyata dari "pertolongan Allah" yang disebutkan sebelumnya. Jadi, pertolongan Allah itu terwujud dalam bentuk apa?
5. Kata "الْفَتْحُ" (Al-Fath) - Kemenangan
Kata "Al-Fath" (الْفَتْحُ) secara harfiah berarti "pembukaan". Dalam konteks ini, para ulama tafsir sepakat bahwa yang dimaksud secara spesifik adalah Fathu Makkah, yaitu pembebasan atau penaklukan Kota Mekkah oleh kaum muslimin. Mengapa digunakan kata "Fath" (pembukaan) dan bukan kata lain seperti "ghalabah" (mengalahkan) atau "intishar" (kemenangan perang)?
- Pembukaan Hati dan Pikiran: Fathu Makkah bukan sekadar penaklukan fisik sebuah kota. Ia adalah "pembukaan" hati dan pikiran penduduk Jazirah Arab yang sebelumnya tertutup oleh kejahiliahan dan paganisme. Dengan takluknya pusat kesyirikan (Mekkah) dan dihancurkannya berhala-berhala di sekitar Ka'bah, tirai kegelapan seolah tersingkap dan cahaya tauhid dapat masuk dengan leluasa.
- Pembukaan Pintu Dakwah: Sebelum Fathu Makkah, banyak suku Arab yang segan atau takut untuk masuk Islam karena hegemoni kaum Quraisy di Mekkah. Setelah Mekkah berada di bawah naungan Islam, tidak ada lagi penghalang besar bagi dakwah. Pintu untuk masuk Islam menjadi "terbuka" lebar, yang dijelaskan di ayat kedua: "dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah."
- Kemenangan Tanpa Pertumpahan Darah: Peristiwa Fathu Makkah adalah sebuah kemenangan yang unik dalam sejarah. Nabi Muhammad SAW memasuki kota kelahirannya, tempat di mana beliau dan para pengikutnya dianiaya dan diusir, dengan kepala tertunduk penuh kerendahan hati. Beliau memberikan pengampunan massal kepada musuh-musuh yang dulu memeranginya. Oleh karena itu, ini bukan penaklukan yang destruktif, melainkan sebuah "pembukaan" yang membawa rahmat dan kedamaian. Kata "Al-Fath" dengan sempurna merangkum sifat kemenangan yang agung dan penuh berkah ini.
Asbabun Nuzul: Konteks Turunnya Surat An-Nasr
Memahami Asbabun Nuzul atau sebab-sebab turunnya sebuah ayat atau surat adalah krusial untuk menangkap makna yang sesungguhnya. Surat An-Nasr, menurut banyak riwayat yang shahih, adalah salah satu surat terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, bahkan ada yang menyebutnya sebagai surat lengkap terakhir yang turun. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa surat ini turun setelah peristiwa Fathu Makkah, tepatnya pada hari-hari Tasyrik saat Haji Wada' (Haji perpisahan Nabi).
Konteksnya sangat penting. Setelah lebih dari 20 tahun berdakwah, dimulai dari fase rahasia di Mekkah, hijrah ke Madinah, melalui berbagai peperangan seperti Badar, Uhud, dan Khandaq, serta perjanjian Hudaibiyah, sampailah Islam pada puncaknya. Fathu Makkah terjadi tanpa perlawanan berarti. Ka'bah, yang selama berabad-abad menjadi pusat paganisme Arab, dibersihkan dari 360 berhala. Kemenangan ini bukan hanya kemenangan militer, tetapi kemenangan ideologis yang total.
Setelah Fathu Makkah, delegasi (wufud) dari berbagai kabilah di seluruh penjuru Jazirah Arab datang silih berganti ke Madinah untuk menyatakan keislaman mereka. Periode ini dikenal sebagai "'Am al-Wufud" (Tahun Delegasi). Inilah realisasi dari ayat kedua, "engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah". Misi utama kenabian—menegakkan tauhid di jantung Arab—telah tercapai. Tugas besar telah selesai.
Isyarat Dekatnya Ajal Rasulullah SAW
Di sinilah letak kedalaman makna surat ini yang seringkali tidak langsung tertangkap. Bagi kebanyakan sahabat, turunnya surat ini adalah kabar gembira tentang kemenangan besar. Mereka melihatnya sebagai puncak kejayaan dan selebrasi atas pertolongan Allah. Namun, bagi para sahabat yang memiliki pemahaman mendalam, seperti Abdullah bin Abbas dan Umar bin Khattab, surat ini membawa pesan yang berbeda: sebuah isyarat bahwa tugas Rasulullah SAW di dunia akan segera berakhir.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih dari Imam Al-Bukhari, Umar bin Khattab pernah mengundang Abdullah bin Abbas, yang saat itu masih muda, untuk bergabung dalam majelis para sahabat senior dari Perang Badar. Sebagian dari mereka merasa heran dan bertanya, "Mengapa engkau membawa anak ini bersama kami, padahal kami juga memiliki anak-anak seusianya?" Umar menjawab, "Sesungguhnya ia adalah orang yang kalian ketahui (karena kecerdasannya)."
Suatu hari, Umar bertanya kepada majelis itu tentang tafsir Surat An-Nasr. Sebagian menjawab, "Kita diperintahkan untuk memuji Allah dan memohon ampunan kepada-Nya ketika Dia memberikan kita pertolongan dan kemenangan." Sebagian yang lain diam. Lalu Umar bertanya kepada Ibnu Abbas, "Apakah begitu pendapatmu, wahai Ibnu Abbas?" Ibnu Abbas menjawab, "Tidak." Umar bertanya lagi, "Lalu bagaimana pendapatmu?"
Ibnu Abbas menjawab, "Itu adalah isyarat ajal Rasulullah SAW yang Allah beritahukan kepada beliau. Allah berfirman (yang artinya), 'Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan', yang merupakan tanda (akhir) ajalmu. 'Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat'." Mendengar jawaban ini, Umar bin Khattab berkata, "Demi Allah, aku tidak mengetahui tafsirnya kecuali seperti apa yang engkau ketahui."
Logikanya sederhana: Jika misi utama seorang utusan telah paripurna, maka tugasnya di dunia telah selesai. Kemenangan total dan masuknya manusia secara massal ke dalam Islam adalah tanda bahwa risalah telah tersampaikan dengan sempurna. Oleh karena itu, perintah di ayat ketiga—untuk bertasbih, bertahmid, dan beristighfar—adalah persiapan bagi sang Nabi untuk kembali menghadap Tuhannya. Ini adalah etika penutup dari sebuah pengabdian yang agung.
Tafsir dan Pelajaran dari Setiap Ayat
Setelah memahami konteks dan analisis kata per kata dari ayat pertama, kini kita dapat merangkai pemahaman yang lebih komprehensif dari keseluruhan surat dan menarik pelajaran-pelajaran berharga darinya.
Ayat 1: إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ - Hakikat Kemenangan dari Allah
Sebagaimana telah dibahas, surat An Nasr ayat pertama berbunyi tentang janji pasti datangnya pertolongan Allah dan kemenangan. Pelajaran utama dari ayat ini adalah tentang sumber kemenangan. Dalam kehidupan, baik secara individu maupun kolektif, kita seringkali mengatribusikan kesuksesan pada usaha, kecerdasan, atau strategi kita. Ayat ini mengingatkan kita untuk selalu mengembalikan segala pencapaian kepada sumbernya yang hakiki, yaitu Allah SWT.
Sikap ini melahirkan kerendahan hati dan menghindarkan diri dari sifat sombong ('ujub) dan takabur. Ketika seseorang menyadari bahwa kemenangannya adalah "Nashrullah", ia tidak akan merasa lebih hebat dari orang lain. Ia akan sadar bahwa jika bukan karena rahmat dan pertolongan Allah, segala usahanya akan sia-sia. Pelajaran ini sangat relevan dalam segala aspek kehidupan, mulai dari keberhasilan dalam studi, karir, bisnis, hingga dalam perjuangan dakwah dan sosial. Kunci untuk mendapatkan "Nashrullah" adalah dengan meluruskan niat, menyempurnakan ikhtiar, dan menyerahkan hasilnya sepenuhnya kepada Allah dalam bentuk tawakal.
Ayat 2: وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا - Buah dari Kesabaran dan Dakwah
Ayat kedua menggambarkan hasil dari "Nashrullah" dan "Al-Fath". Buah dari kemenangan tersebut bukanlah harta rampasan perang atau kekuasaan duniawi, melainkan hidayah bagi umat manusia. Pemandangan manusia yang masuk Islam "afwaajan" (berbondong-bondong, dalam rombongan besar) adalah kebahagiaan terbesar bagi seorang dai seperti Nabi Muhammad SAW. Ini adalah bukti bahwa risalah yang beliau bawa adalah kebenaran yang dapat diterima oleh fitrah manusia.
Pelajaran dari ayat ini adalah tentang tujuan akhir dari sebuah perjuangan. Tujuan seorang mukmin bukanlah untuk mengalahkan lawan, melainkan untuk memenangkan hati mereka kepada kebenaran. Kemenangan sejati adalah ketika musuh berubah menjadi kawan, ketika penentang berubah menjadi pendukung. Ini juga mengajarkan tentang kesabaran dalam berdakwah. Selama 13 tahun di Mekkah, hanya segelintir orang yang masuk Islam dan mereka pun mengalami penindasan. Namun, Nabi SAW tidak pernah putus asa. Beliau terus berdakwah dengan hikmah dan kesabaran. Ayat ini adalah buah manis dari kesabaran panjang tersebut. Ini memberikan pesan bahwa hasil dari sebuah kebaikan mungkin tidak terlihat instan, namun dengan pertolongan Allah, pada akhirnya kebenaran akan diterima secara luas.
Ayat 3: فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا - Etika Merespons Kemenangan
Ayat penutup ini adalah puncak dari seluruh pesan surat. Ia mengajarkan respons yang seharusnya dilakukan seorang hamba ketika menerima nikmat terbesar berupa kemenangan dan kesuksesan. Respons tersebut bukanlah pesta pora, arogansi, atau balas dendam, melainkan tiga amalan spiritual yang agung:
- Tasbih (فَسَبِّحْ): "Maka bertasbihlah". Tasbih berarti menyucikan Allah dari segala kekurangan dan sifat yang tidak layak bagi-Nya. Dalam konteks kemenangan, tasbih adalah bentuk pengakuan bahwa kemenangan ini murni karena keagungan dan kekuasaan Allah, bukan karena kekuatan diri sendiri. Ini adalah cara untuk membersihkan hati dari potensi kesombongan yang bisa muncul saat meraih sukses. Dengan bertasbih, kita mengakui, "Ya Allah, Engkau Maha Suci, keberhasilan ini terjadi bukan karena kehebatanku, tetapi karena kesempurnaan kuasa-Mu."
- Tahmid (بِحَمْدِ رَبِّكَ): "Dengan memuji Tuhanmu". Tahmid adalah memuji Allah atas segala sifat-Nya yang sempurna dan nikmat-Nya yang tak terhingga. Ini adalah ekspresi syukur yang paling tulus. Setelah mengakui bahwa kemenangan datang dari Allah (Tasbih), langkah selanjutnya adalah memuji-Nya atas anugerah tersebut. Kombinasi "Tasbih" dan "Tahmid" (Subhanallahi wa bihamdihi) adalah dzikir yang sangat dicintai Allah. Ini adalah sikap dasar seorang hamba: menyucikan Allah dari kekurangan dan memuji-Nya atas kesempurnaan.
- Istighfar (وَاسْتَغْفِرْهُ): "Dan mohonlah ampunan kepada-Nya". Ini mungkin bagian yang paling mengejutkan. Mengapa pada puncak kemenangan, Rasulullah SAW—manusia yang ma'shum (terjaga dari dosa besar)—diperintahkan untuk memohon ampun? Para ulama memberikan beberapa penjelasan yang sangat indah:
- Bentuk Kerendahan Hati Tertinggi: Istighfar adalah pengakuan akan kelemahan dan kekurangan diri di hadapan Allah. Bahkan dalam usaha terbaik kita, pasti ada kekurangan, kelalaian, atau ketidaksempurnaan. Memohon ampun di saat sukses adalah cara untuk mengakui bahwa ibadah dan perjuangan kita belum sepadan dengan keagungan nikmat yang Allah berikan.
- Menutup Kekurangan dalam Perjuangan: Dalam perjalanan panjang menuju kemenangan, mungkin ada tindakan atau keputusan yang kurang tepat, atau emosi yang tidak terkendali. Istighfar berfungsi sebagai pembersih dari segala kekurangan tersebut.
- Persiapan Menghadap Allah: Sebagaimana dipahami oleh Ibnu Abbas, surat ini adalah isyarat dekatnya ajal. Perintah istighfar adalah bekal terbaik untuk bertemu dengan Allah SWT. Ini mengajarkan kita bahwa sebanyak apa pun amal baik yang kita lakukan, kita tetap harus selalu merasa butuh akan ampunan Allah.
Ayat ini ditutup dengan kalimat penegas yang menenangkan hati, "إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا" (Sungguh, Dia Maha Penerima tobat). Sifat Allah sebagai "At-Tawwab" (Yang senantiasa menerima tobat) memberikan harapan dan dorongan. Tidak peduli seberapa besar kekurangan kita, pintu ampunan Allah selalu terbuka lebar bagi siapa saja yang mau kembali kepada-Nya dengan tulus.
Korelasi Surat An-Nasr dengan Surat Lainnya
Dalam Al-Qur'an, susunan surat bukanlah sesuatu yang acak. Ada hikmah dan hubungan (munasabah) antara satu surat dengan surat sebelumnya atau sesudahnya. Surat An-Nasr memiliki korelasi yang menarik dengan surat sebelum dan sesudahnya.
- Hubungan dengan Surat Al-Kafirun: Surat Al-Kafirun, yang berada beberapa surat sebelumnya, adalah surat tentang deklarasi pemisahan (bara'ah) dalam hal akidah dan peribadahan. Ayat penutupnya, "Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku," adalah garis pemisah yang tegas antara tauhid dan syirik. Surat An-Nasr datang sebagai realisasi dari pemisahan tersebut. Jika Al-Kafirun adalah deklarasi prinsip, maka An-Nasr adalah bukti kemenangan prinsip tersebut di dunia nyata. Kemenangan Islam dan runtuhnya paganisme di Mekkah adalah manifestasi fisik dari "bagiku agamaku" yang menang atas "bagimu agamamu".
- Hubungan dengan Surat Al-Lahab: Surat setelah An-Nasr (dalam urutan mushaf) adalah Surat Al-Lahab. Surat Al-Lahab berbicara tentang kebinasaan salah satu musuh terbesar Nabi, yaitu Abu Lahab, sebagai representasi dari kebatilan. Sementara itu, Surat An-Nasr berbicara tentang kemenangan Nabi Muhammad SAW sebagai representasi dari kebenaran. Keduanya menunjukkan dua sisi dari janji Allah: kebenaran (yang diwakili Nabi) akan menang dan jaya (An-Nasr), sementara kebatilan (yang diwakili Abu Lahab) akan hancur dan binasa (Al-Lahab). Ini menunjukkan sunnatullah bahwa kebenaran pada akhirnya akan selalu menang atas kebatilan.
Kesimpulan: Pesan Abadi dari Kemenangan
Kembali ke titik awal pembahasan, surat An Nasr ayat pertama berbunyi "إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ". Ayat ini bukan hanya catatan sejarah tentang Fathu Makkah. Ia adalah sebuah kaidah universal tentang bagaimana seharusnya seorang mukmin memandang kesuksesan dan kemenangan dalam hidupnya. Surat An-Nasr secara keseluruhan adalah sebuah pedoman etika kemenangan.
Ia mengajarkan kita bahwa setiap keberhasilan, sekecil apa pun, adalah bentuk "Nashrullah". Respons kita seharusnya bukanlah euforia yang melupakan diri, melainkan refleksi spiritual yang mendekatkan diri kepada-Nya. Siklus yang diajarkan surat ini sangatlah indah: perjuangan dibalas dengan pertolongan dari Allah (ayat 1), pertolongan itu menghasilkan buah yang manis berupa diterimanya kebenaran (ayat 2), dan semua nikmat itu harus direspons dengan penyucian, pujian, dan permohonan ampun kepada Sang Pemberi Nikmat (ayat 3).
Surat ini adalah pengingat abadi bahwa puncak dari segala pencapaian duniawi adalah kembali kepada Allah dengan hati yang tunduk, lisan yang basah oleh dzikir, dan jiwa yang senantiasa mendamba ampunan-Nya. Inilah kemenangan yang sejati, kemenangan yang tidak hanya dirasakan di dunia, tetapi juga mengantarkan pada kebahagiaan abadi di akhirat.