Surat An-Nasr: Pertolongan, Kemenangan, dan Tasbih
Sebuah Kajian Mendalam Mengenai Urutan, Makna, dan Pelajaran Surat ke-110 dalam Al-Quran
Ilustrasi simbolis dari Pertolongan (An-Nasr) dan Kemenangan (Al-Fath).
Di antara surat-surat dalam Al-Quran, terdapat sebuah surat yang sangat singkat, hanya terdiri dari tiga ayat, namun memiliki kandungan makna yang luar biasa padat dan mendalam. Surat ini membawa kabar gembira tentang kemenangan besar, sekaligus menjadi pengingat akan akhir sebuah tugas mulia. Surat tersebut adalah Surat An-Nasr. Banyak yang bertanya, Surat An Nasr surat ke berapa dalam susunan mushaf Al-Quran? Pertanyaan ini sederhana, namun jawabannya membuka pintu kepada pemahaman yang lebih luas tentang struktur Al-Quran dan pesan-pesan agung yang terkandung di dalamnya, terutama mengenai fase akhir dari risalah kenabian.
Memahami posisi sebuah surat dalam Al-Quran bukan sekadar menghafal angka, melainkan mengapresiasi hikmah di balik penempatannya. Setiap surat memiliki hubungan tematik (munasabah) dengan surat sebelum dan sesudahnya, membentuk sebuah jalinan makna yang koheren dan indah. Surat An-Nasr, dengan segala keagungannya, ditempatkan pada posisi yang sangat strategis, menandai puncak dari perjuangan panjang dan awal dari sebuah refleksi spiritual yang mendalam.
Posisi dan Urutan: Surat An Nasr Surat Ke-110
Jawaban lugas untuk pertanyaan "Surat An Nasr surat ke berapa?" adalah surat ke-110. Dalam susunan mushaf Utsmani yang kita gunakan saat ini, Surat An-Nasr berada di antara Surat Al-Kafirun (surat ke-109) dan Surat Al-Lahab (surat ke-111). Ia tergolong dalam kelompok surat-surat pendek (Al-Mufassal) yang terletak di bagian akhir Al-Quran, tepatnya pada Juz ke-30 atau Juz 'Amma.
Penempatan ini bukanlah tanpa makna. Para ulama tafsir telah membahas secara ekstensif mengenai korelasi antara surat ini dengan surat-surat di sekitarnya. Hubungan ini memberikan lapisan pemahaman yang lebih kaya:
Hubungan dengan Surat Al-Kafirun (Surat ke-109)
Surat Al-Kafirun yang berada tepat sebelumnya adalah surat tentang deklarasi pemisahan (bara'ah) yang tegas antara tauhid dan syirik. Di dalamnya, Nabi Muhammad ﷺ diperintahkan untuk mengatakan dengan jelas, "Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku." Ini adalah pernyataan prinsip yang kokoh di masa-masa awal dakwah di Mekkah, ketika kaum Muslimin berada dalam posisi lemah dan minoritas. Surat ini menetapkan batas-batas akidah yang tidak dapat ditawar.
Kemudian, datanglah Surat An-Nasr sebagai sebuah penutup yang indah. Jika Al-Kafirun berbicara tentang pemisahan dari kaum kafir, An-Nasr justru mengabarkan tentang kaum yang sama berbondong-bondong memasuki agama Allah. Ini menunjukkan sebuah transformasi luar biasa. Prinsip yang kokoh dipertahankan dengan kesabaran, dan buah dari kesabaran itu adalah datangnya pertolongan Allah (An-Nasr) dan kemenangan (Al-Fath), yang puncaknya adalah penerimaan Islam secara massal. Transisi dari "Bagimu agamamu" ke "engkau melihat manusia masuk ke dalam agama Allah berbondong-bondong" adalah sebuah narasi kemenangan iman yang spektakuler. Ini seolah-olah Allah berfirman: "Dahulu engkau diperintahkan untuk berlepas diri dari mereka, sekarang saksikanlah bagaimana mereka datang untuk memeluk agamamu."
Hubungan dengan Surat Al-Lahab (Surat ke-111)
Setelah Surat An-Nasr, kita menemukan Surat Al-Lahab. Surat ini berbicara tentang kebinasaan salah satu musuh terbesar Nabi ﷺ, yaitu Abu Lahab, dan istrinya. Surat Al-Lahab adalah contoh konkret tentang akibat dari penentangan yang keras terhadap dakwah Islam. Ia menunjukkan akhir yang tragis bagi mereka yang memusuhi kebenaran.
Hubungan tematiknya dengan An-Nasr sangat kontras dan kuat. Surat An-Nasr menggambarkan hasil akhir yang gemilang bagi pembawa risalah (Nabi Muhammad ﷺ) dan para pengikutnya: pertolongan, kemenangan, dan sambutan manusia. Sebaliknya, Surat Al-Lahab menggambarkan hasil akhir yang hina bagi penentang risalah: kebinasaan, kerugian, dan azab. Penempatan keduanya secara berdampingan memberikan pelajaran yang sangat jelas: Allah akan memenangkan para penolong agama-Nya dan akan menghinakan para musuh-Nya. Ini adalah penegasan atas sunnatullah (ketetapan Allah) di muka bumi. Kemenangan dalam An-Nasr adalah untuk Rasulullah, sementara kebinasaan dalam Al-Lahab adalah untuk musuhnya.
Asbabun Nuzul: Latar Belakang Penurunan Surat
Surat An-Nasr tergolong sebagai surat Madaniyah, yaitu surat yang diturunkan setelah hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Para ulama sepakat bahwa surat ini merupakan salah satu surat terakhir yang diturunkan kepada Rasulullah ﷺ, bahkan ada yang berpendapat bahwa inilah surat terakhir yang turun secara lengkap sekaligus. Waktu penurunannya sering kali dikaitkan dengan peristiwa Fathu Makkah (Pembebasan Kota Mekkah) dan Haji Wada' (Haji Perpisahan).
Peristiwa Fathu Makkah adalah puncak dari perjuangan dakwah Nabi selama lebih dari dua dekade. Setelah diusir dari kota kelahirannya, beliau kembali sebagai seorang pemenang. Namun, kemenangan ini bukanlah kemenangan yang diwarnai arogansi dan pertumpahan darah. Sebaliknya, ini adalah sebuah "fath" (pembukaan) yang penuh dengan rahmat dan pengampunan. Ketika memasuki Mekkah, Rasulullah ﷺ menunjukkan akhlak yang paling mulia. Beliau memaafkan musuh-musuh yang dulu menyiksa dan mengusirnya. Kemenangan inilah yang menjadi gerbang bagi manusia dari berbagai kabilah di Jazirah Arab untuk melihat kebenaran Islam dan keagungan pribadi Rasulullah ﷺ.
Setelah Fathu Makkah, delegasi-delegasi (wufud) dari seluruh penjuru Arab datang ke Madinah untuk menyatakan keislaman mereka. Periode ini bahkan dikenal sebagai "Tahun Delegasi". Inilah realisasi dari ayat "engkau melihat manusia masuk ke dalam agama Allah berbondong-bondong". Surat An-Nasr turun dalam konteks kemenangan besar ini, sebagai konfirmasi dari Allah bahwa janji-Nya telah terpenuhi.
Isyarat Tersembunyi: Tanda Dekatnya Ajal Rasulullah ﷺ
Di balik kabar gembira tentang kemenangan, surat ini membawa sebuah isyarat yang lebih mendalam, yang hanya dipahami oleh para sahabat yang memiliki pemahaman mendalam, seperti Ibnu Abbas dan Umar bin Khattab. Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, suatu ketika Umar bin Khattab mengundang Ibnu Abbas, yang saat itu masih sangat muda, untuk bergabung dalam majelis para sahabat senior dari Perang Badar. Sebagian dari mereka merasa heran mengapa seorang pemuda diikutsertakan. Umar kemudian bertanya kepada majelis tentang tafsir Surat An-Nasr. Sebagian menjawab, "Kita diperintahkan untuk memuji Allah dan meminta ampunan-Nya ketika kita diberi kemenangan dan pertolongan." Yang lain diam.
Umar kemudian bertanya kepada Ibnu Abbas, "Apakah begitu pendapatmu, wahai Ibnu Abbas?" Ibnu Abbas menjawab, "Tidak." Ia lalu menjelaskan, "Itu adalah pertanda ajal Rasulullah ﷺ yang Allah beritahukan kepadanya. Allah berfirman, 'Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,' yang merupakan tanda bahwa ajalmu telah dekat. 'Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat.'" Umar bin Khattab pun berkata, "Demi Allah, aku tidak mengetahui dari surat ini kecuali apa yang engkau ketahui."
Logikanya sederhana: Jika misi utama seorang rasul—yaitu menyampaikan risalah dan menegakkan agama Allah—telah sempurna, ditandai dengan kemenangan akhir dan diterimanya agama tersebut oleh manusia secara massal, maka tugasnya di dunia telah selesai. Perintah untuk bertasbih dan beristighfar adalah persiapan untuk kembali menghadap Sang Pemberi Tugas. Oleh karena itu, bagi Rasulullah ﷺ dan para sahabat yang memahaminya, surat ini bukan hanya perayaan kemenangan, tetapi juga sebuah pengumuman halus tentang perpisahan yang akan segera tiba. Ini menambah lapisan makna kesedihan yang syahdu di balik euforia kemenangan.
Teks Surat, Transliterasi, dan Terjemahan
Berikut adalah teks lengkap Surat An-Nasr beserta transliterasi dan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Ayat 1
اِذَا جَاۤءَ نَصْرُ اللّٰهِ وَالْفَتْحُۙ
Idzaa jaa-a nashrullahi wal fat-h(u)
"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,"
Ayat 2
وَرَاَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اَفْوَاجًاۙ
Wa ra-aitan naasa yadkhuluuna fii diinillahi afwaajaa(n)
"dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,"
Ayat 3
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُۗ اِنَّهٗ كَانَ تَوَّابًا
Fasabbih bihamdi rabbika wastaghfirh, innahuu kaana tawwaabaa(n)
"maka bertasbihlah dalam dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima taubat."
Tafsir Mendalam Per Ayat
Untuk memahami kedalaman pesan Surat An-Nasr, kita perlu menyelami makna setiap kata dan frasa dalam ketiga ayatnya. Setiap pilihan kata dalam Al-Quran memiliki presisi dan makna yang luar biasa.
Tafsir Ayat 1: "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan"
اِذَا (Idzaa): Kata ini dalam bahasa Arab digunakan untuk menunjukkan kondisi di masa depan yang kepastian terjadinya sangat tinggi. Berbeda dengan kata 'in' yang berarti 'jika' dan mengandung ketidakpastian. Penggunaan 'idzaa' di sini adalah penegasan dari Allah bahwa pertolongan dan kemenangan itu pasti akan datang. Ini adalah janji yang mutlak bagi Nabi Muhammad ﷺ.
جَاۤءَ (Jaa-a): Artinya 'telah datang'. Penggunaan bentuk kata kerja lampau untuk peristiwa di masa depan semakin memperkuat kepastiannya. Seolah-olah peristiwa itu sudah terjadi saking pastinya. Ini memberikan ketenangan dan optimisme yang luar biasa kepada Nabi dan para sahabat di tengah perjuangan mereka.
نَصْرُ اللّٰهِ (Nashrullah): 'Pertolongan Allah'. Kata 'Nashr' tidak hanya berarti bantuan biasa, tetapi pertolongan yang membawa kepada kemenangan atas musuh. Penyandaran kata 'Nashr' kepada 'Allah' (Nashrullah) menegaskan bahwa sumber pertolongan ini murni dari sisi ilahiah. Ini bukan hasil dari kekuatan militer, strategi manusia, atau jumlah pasukan semata. Kemenangan kaum Muslimin, terutama dalam kondisi yang sering kali tidak seimbang secara materi, adalah bukti nyata campur tangan ilahi. Ini adalah pelajaran penting tentang tawakal dan keyakinan bahwa kekuatan hakiki hanyalah milik Allah.
وَالْفَتْحُ (Wal-Fath): 'Dan kemenangan'. Kata 'Al-Fath' secara harfiah berarti 'pembukaan'. Mayoritas ulama tafsir sepakat bahwa yang dimaksud secara spesifik di sini adalah Fathu Makkah, yaitu 'pembukaan' kembali kota Mekkah bagi kaum Muslimin. Mekkah bukan sekadar kota biasa; ia adalah pusat spiritual Jazirah Arab, tempat berdirinya Ka'bah. Dengan dibukanya Mekkah dan dibersihkannya Ka'bah dari berhala, terbukalah pula hati manusia untuk menerima Islam. 'Al-Fath' juga bisa dimaknai sebagai pembukaan pintu-pintu hidayah, pembukaan pikiran dan hati manusia yang sebelumnya tertutup oleh kejahiliahan, dan kemenangan ideologi tauhid atas syirik.
Ayat pertama ini secara keseluruhan adalah proklamasi ilahi tentang puncak dari sebuah perjuangan. Ia menetapkan bahwa kesuksesan akhir bukanlah milik manusia, melainkan anugerah dari Allah yang terwujud dalam bentuk pertolongan dan kemenangan yang nyata.
Tafsir Ayat 2: "dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah"
وَرَاَيْتَ النَّاسَ (Wa ra-aitan naasa): 'Dan engkau melihat manusia'. Kata 'ra-ayta' (engkau melihat) ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad ﷺ (khitab). Ini menjadikan pengalaman tersebut sangat personal. Beliau dijanjikan akan menyaksikan sendiri buah dari kesabaran dan perjuangannya. Bukan hanya diberitakan, tetapi melihat dengan mata kepala sendiri. Ini adalah sebuah kehormatan dan penyejuk hati yang luar biasa bagi Rasulullah setelah melalui berbagai rintangan dan penderitaan.
يَدْخُلُوْنَ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ (Yadkhuluuna fii diinillahi): 'Mereka masuk ke dalam agama Allah'. Frasa ini menunjukkan sebuah proses aktif. Manusia tidak dipaksa, tetapi mereka 'masuk' dengan kesadaran dan kemauan sendiri. Penggunaan istilah 'agama Allah' (diinillah) juga penting. Ini menegaskan bahwa Islam bukanlah agama milik Muhammad atau milik bangsa Arab, melainkan agama universal milik Allah untuk seluruh umat manusia.
اَفْوَاجًا (Afwaajaa): 'Berbondong-bondong' atau 'dalam kelompok-kelompok besar'. Kata ini adalah kunci dari ayat ini. Ia melukiskan sebuah pemandangan yang menakjubkan. Bukan lagi satu atau dua orang yang masuk Islam secara sembunyi-sembunyi seperti di awal dakwah, melainkan seluruh suku, kabilah, dan delegasi datang dalam rombongan besar untuk menyatakan keislaman mereka. Ini adalah perubahan sosial dan spiritual yang masif dan radikal. Dari yang tadinya dimusuhi menjadi dirindukan, dari yang tadinya ditolak menjadi diterima secara massal. Ini adalah bukti visual yang tidak terbantahkan dari 'Nashrullah' dan 'Al-Fath' yang disebutkan di ayat pertama.
Secara historis, setelah Fathu Makkah, kabilah-kabilah Arab yang sebelumnya ragu-ragu atau memusuhi, berpikir, "Jika Muhammad mampu menaklukkan Mekkah dan suku Quraisy yang merupakan penjaga Ka'bah, maka dia benar-benar seorang Nabi yang didukung oleh Tuhan." Logika ini membuka jalan bagi mereka untuk datang dan memeluk Islam tanpa peperangan. Ayat ini adalah potret sosiologis dari dampak kemenangan spiritual atas kemenangan militer.
Tafsir Ayat 3: "maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima taubat."
Ini adalah ayat respons, sebuah petunjuk tentang bagaimana seharusnya seorang hamba bersikap ketika menerima nikmat terbesar. Respon yang diajarkan bukanlah pesta pora, kesombongan, atau euforia yang melupakan diri. Respon yang diajarkan adalah kembali kepada Allah dengan kerendahan hati yang total.
فَسَبِّحْ (Fasabbih): 'Maka bertasbihlah'. Tasbih (mengucapkan 'Subhanallah') berarti menyucikan Allah dari segala bentuk kekurangan, kelemahan, atau sifat yang tidak layak bagi-Nya. Dalam konteks ini, bertasbih adalah mengakui bahwa kemenangan yang diraih sama sekali bukan karena kehebatan diri sendiri, melainkan murni karena kesucian dan kekuasaan Allah. Ini adalah cara untuk menundukkan ego dan menafikan segala bentuk kebanggaan diri yang mungkin muncul di saat-saat berjaya.
بِحَمْدِ رَبِّكَ (Bihamdi rabbika): 'Dengan memuji Tuhanmu'. Tahmid (mengucapkan 'Alhamdulillah') adalah memuji Allah atas segala sifat-sifat-Nya yang sempurna dan atas segala nikmat yang telah Dia berikan. Jika tasbih adalah penafian kekurangan, maka tahmid adalah penetapan kesempurnaan. Menggabungkan tasbih dan tahmid ('Subhanallahi wa bihamdihi') adalah bentuk zikir yang sempurna. Ini adalah ungkapan rasa syukur tertinggi. Kemenangan ini adalah nikmat, dan cara mensyukurinya adalah dengan memuji Sang Pemberi Nikmat.
وَاسْتَغْفِرْهُ (Wastaghfirh): 'Dan mohonlah ampunan kepada-Nya'. Inilah bagian yang paling mengejutkan dan mendalam. Mengapa di puncak kemenangan justru diperintahkan untuk beristighfar (memohon ampun)? Bukankah ini momen keberhasilan? Para ulama menjelaskan beberapa hikmah:
- Untuk menutupi kekurangan: Tidak ada satu pun amal manusia, bahkan amal seorang nabi, yang sempurna dan bebas dari kekurangan. Mungkin ada hal-hal yang kurang optimal dalam proses dakwah, ada kelalaian, atau ada cara yang bisa lebih baik. Istighfar adalah pengakuan akan keterbatasan diri sebagai manusia dan permohonan agar Allah menyempurnakan segala kekurangan dalam amal tersebut.
- Sebagai tanda kerendahan hati: Istighfar adalah puncak dari ketundukan. Ia mencegah seseorang dari merasa ujub (kagum pada diri sendiri) atas pencapaiannya. Dengan beristighfar, seorang hamba seolah berkata, "Ya Allah, semua ini adalah karunia-Mu, dan aku hanyalah hamba-Mu yang lemah dan banyak dosa."
- Sebagai persiapan kembali kepada Allah: Seperti yang dipahami oleh Ibnu Abbas, selesainya tugas adalah pertanda dekatnya ajal. Istighfar adalah bentuk pembersihan dan persiapan diri terbaik sebelum bertemu dengan Allah SWT. Rasulullah ﷺ, yang ma'shum (terjaga dari dosa), tetap diperintahkan beristighfar sebagai teladan bagi umatnya.
اِنَّهٗ كَانَ تَوَّابًا (Innahuu kaana tawwaabaa): 'Sungguh, Dia Maha Penerima taubat'. Ayat ini ditutup dengan sebuah penegasan yang menenangkan hati. Nama Allah 'At-Tawwab' berasal dari kata 'taubah' yang berarti 'kembali'. At-Tawwab berarti Dzat yang senantiasa kembali menerima hamba-Nya yang kembali kepada-Nya. Penggunaan bentuk 'Tawwaab' (fa''aal) menunjukkan intensitas dan keberulangan. Artinya, Allah tidak hanya sekali menerima taubat, tetapi terus-menerus dan selalu membuka pintu ampunan-Nya selebar-lebarnya. Ini adalah pesan harapan bagi semua, baik bagi pejuang lama yang mungkin memiliki kekurangan, maupun bagi para mualaf baru yang datang dengan masa lalu jahiliah mereka. Pintu ampunan Allah selalu terbuka.
Kandungan dan Pelajaran Utama dari Surat An-Nasr
Meskipun singkat, Surat An-Nasr mengandung pelajaran universal yang relevan sepanjang masa. Berikut adalah beberapa kandungan dan hikmah utama yang dapat kita petik:
- Janji Allah itu Pasti: Surat ini adalah bukti bahwa janji Allah kepada orang-orang yang beriman dan bersabar dalam perjuangan pasti akan terwujud. Pertolongan-Nya akan datang pada waktu yang tepat.
- Hubungan Antara Usaha dan Pertolongan Ilahi: Kemenangan tidak datang begitu saja. Ia didahului oleh perjuangan, kesabaran, dan pengorbanan selama bertahun-tahun. Namun, hasil akhirnya ditentukan oleh pertolongan Allah (Nashrullah). Ini mengajarkan keseimbangan antara ikhtiar maksimal dan tawakal total.
- Adab Seorang Pemenang: Islam mengajarkan etika kemenangan yang agung. Ketika kesuksesan diraih, baik dalam skala besar maupun kecil dalam kehidupan pribadi, respon yang benar bukanlah kesombongan, melainkan kesyukuran (tahmid), penyucian Allah dari peran selain-Nya (tasbih), dan introspeksi diri (istighfar).
- Pentingnya Zikir dalam Setiap Keadaan: Perintah untuk bertasbih, bertahmid, dan beristighfar menunjukkan bahwa zikir bukanlah ritual untuk masa-masa sulit saja. Justru di saat lapang dan gembira, seorang hamba harus lebih giat lagi berzikir sebagai wujud syukurnya.
- Setiap Puncak adalah Awal dari Akhir: Surat ini mengajarkan kita tentang siklus kehidupan. Setiap tugas yang selesai, setiap puncak karier yang dicapai, setiap target yang terpenuhi, adalah pengingat bahwa jatah waktu kita di dunia ini terbatas. Ini mendorong kita untuk selalu mempersiapkan diri untuk perjalanan selanjutnya menuju akhirat.
- Keluasan Rahmat dan Ampunan Allah: Penutup surat dengan nama Allah 'At-Tawwab' adalah pesan rahmat yang universal. Tidak peduli seberapa besar kesalahan di masa lalu, selama seorang hamba mau kembali (bertaubat), Allah Maha Penerima taubat. Ini membuka pintu harapan bagi semua orang.
- Kemenangan Hakiki adalah Kemenangan Hati: 'Al-Fath' yang paling agung bukanlah sekadar menaklukkan sebuah kota, melainkan 'membuka' hati manusia kepada cahaya kebenaran. Kemenangan sejati adalah ketika manusia berbondong-bondong menuju Allah, bukan karena paksaan, tetapi karena kesadaran.
Kesimpulan
Sebagai penutup, jawaban atas pertanyaan "Surat An Nasr surat ke berapa?" adalah surat ke-110 dalam tartib mushaf Al-Quran. Namun, angka ini hanyalah gerbang awal untuk memahami sebuah samudra makna yang terkandung di dalamnya. Surat An-Nasr bukan sekadar catatan sejarah tentang kemenangan Fathu Makkah. Ia adalah sebuah manifesto tentang bagaimana Allah menolong hamba-Nya, sebuah manual tentang etika kesuksesan, dan sebuah pengingat lembut tentang kefanaan hidup.
Dari tiga ayatnya yang ringkas, kita belajar bahwa setiap kemenangan berasal dari Allah, dan respon terbaik atas kemenangan itu adalah dengan kembali kepada-Nya dalam sujud kerendahan hati, lisan yang basah oleh zikir, dan jiwa yang senantiasa memohon ampunan. Ia adalah surat kemenangan sekaligus surat perpisahan; surat kabar gembira sekaligus surat introspeksi. Sungguh, ia adalah salah satu surat penutup Al-Quran yang paling sempurna, merangkum esensi dari seluruh perjalanan dakwah: dimulai dengan perjuangan, diakhiri dengan kemenangan, dan ditutup dengan tasbih dan istighfar sebagai bekal untuk kembali kepada-Nya, Dzat yang Maha Penerima taubat.