Al-Quran, kitab suci umat Islam, adalah samudra ilmu yang tak bertepi. Setiap surat dan ayat di dalamnya membawa pesan, hikmah, dan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Salah satu surat yang memiliki kedudukan istimewa, meskipun sangat singkat, adalah Surat An-Nasr. Pertanyaan yang sering muncul di benak banyak orang, terutama bagi mereka yang sedang memulai perjalanan mendalami Al-Quran, adalah: Surat An-Nasr terdapat dalam Al-Quran juz berapa?
Jawaban singkat dan lugas untuk pertanyaan ini adalah bahwa Surat An-Nasr berada di dalam Juz 30. Juz 30, yang lebih dikenal dengan sebutan Juz ‘Amma, merupakan bagian terakhir dari Al-Quran yang berisi kumpulan surat-surat pendek. Namun, sekadar mengetahui lokasinya tentu tidaklah cukup. Di balik posisinya di akhir mushaf, Surat An-Nasr menyimpan makna yang sangat mendalam terkait pertolongan Allah, kemenangan dakwah, dan sebuah isyarat penting bagi perjalanan hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Artikel ini akan mengajak Anda untuk menyelami lebih dalam tentang Surat An-Nasr, tidak hanya sebagai jawaban atas lokasinya, tetapi juga sebagai sebuah perenungan akan makna agung yang dikandungnya. Kita akan membedah setiap ayat, memahami konteks historis penurunannya, dan menggali mutiara-mutiara hikmah yang relevan hingga akhir zaman.
Sebelum kita melangkah lebih jauh, penting untuk mengenal identitas dasar dari surat ini. Memahami profilnya akan menjadi fondasi untuk memahami kandungan pesannya.
Surat ini dinamakan "An-Nasr" yang secara harfiah berarti "Pertolongan". Nama ini diambil dari kata pertama pada ayat pertama surat ini, yaitu "نَصْرُ" (Nasr). Penamaan ini sangat relevan karena inti dari surat ini adalah kabar gembira mengenai datangnya pertolongan Allah dan kemenangan yang nyata bagi kaum Muslimin. Pertolongan ini bukan sembarang pertolongan, melainkan sebuah intervensi ilahi yang menjadi titik balik dalam sejarah penyebaran Islam.
Surat ini juga terkadang disebut sebagai Surat "At-Taudi’" yang berarti "Perpisahan". Penamaan ini merujuk pada pemahaman para sahabat bahwa surat ini merupakan isyarat akan dekatnya akhir tugas kerasulan dan wafatnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Surat An-Nasr terdiri dari 3 ayat, menjadikannya salah satu surat terpendek dalam Al-Quran setelah Surat Al-Kautsar dan Al-‘Asr. Meskipun singkat, kepadatan maknanya luar biasa.
Berdasarkan waktu dan tempat penurunannya, para ulama menggolongkan Surat An-Nasr sebagai Surat Madaniyah. Artinya, surat ini diturunkan setelah periode Hijrah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah. Lebih spesifik lagi, banyak riwayat yang menyatakan bahwa surat ini turun pada masa Haji Wada’ (haji perpisahan Nabi) di Mina, tidak lama sebelum beliau wafat. Ini menguatkan posisinya sebagai salah satu surat yang turun di akhir-akhir periode wahyu.
Untuk dapat meresapi maknanya, mari kita simak bacaan lengkap Surat An-Nasr beserta transliterasi dan terjemahannya.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ (1)
وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا (2)
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (3)
Bismillahirrahmanirrahim.
1. Iżā jā'a naṣrullāhi wal-fatḥ(u).
2. Wa ra'aitan-nāsa yadkhulūna fī dīnillāhi afwājā(n).
3. Fa sabbiḥ biḥamdi rabbika wastagfirh(u), innahū kāna tawwābā(n).
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
2. dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,
3. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.
Memahami Asbabun Nuzul atau sebab-sebab turunnya sebuah ayat atau surat adalah kunci untuk membuka lapisan makna yang lebih dalam. Surat An-Nasr secara spesifik berkaitan erat dengan peristiwa monumental dalam sejarah Islam, yaitu Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah).
Selama bertahun-tahun, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para pengikutnya mengalami penindasan, pengusiran, dan peperangan dari kaum Quraisy di Makkah. Hijrah ke Madinah adalah titik awal pembangunan kekuatan baru. Puncak dari perjuangan panjang ini adalah Fathu Makkah, di mana Rasulullah dan ribuan kaum Muslimin kembali ke Makkah bukan dengan pertumpahan darah, melainkan dengan kemenangan gemilang yang penuh kedamaian dan pengampunan.
Peristiwa Fathu Makkah adalah manifestasi nyata dari "pertolongan Allah" (Nasrullah) dan "kemenangan" (Al-Fath) yang dijanjikan dalam surat ini. Kemenangan ini bukanlah semata-mata hasil kekuatan militer, tetapi murni karena kehendak dan pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Setelah Fathu Makkah, citra Islam berubah total di Jazirah Arab. Suku-suku yang tadinya ragu dan memusuhi, kini melihat kebenaran dan kekuatan Islam. Mereka datang dari berbagai penjuru untuk menyatakan keislaman mereka. Inilah gambaran dari ayat kedua, "dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah." Fenomena ini belum pernah terjadi sebelumnya. Jika dulu orang masuk Islam secara sembunyi-sembunyi dan perorangan, kini seluruh kabilah datang untuk berbaiat.
Surat ini turun sebagai konfirmasi atas peristiwa tersebut dan sebagai penanda bahwa misi utama Rasulullah untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi telah mencapai puncaknya.
Mari kita selami makna yang terkandung dalam setiap frasa dari ketiga ayat singkat ini.
"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan."
Kata "إِذَا" (Iżā) menandakan sebuah kepastian yang akan terjadi. Ini bukan "jika" yang bersifat pengandaian, melainkan "apabila" yang menunjukkan keniscayaan. Allah memberikan jaminan bahwa pertolongan dan kemenangan itu pasti akan tiba.
Frasa "نَصْرُ اللَّهِ" (Nasrullāh) secara spesifik menyandarkan pertolongan itu kepada Allah. Ini adalah pelajaran tauhid yang fundamental: kemenangan hakiki tidak berasal dari strategi manusia, jumlah pasukan, atau kekuatan senjata, melainkan murni anugerah dari Allah. Kemenangan yang disandarkan pada diri sendiri akan melahirkan kesombongan, sedangkan kemenangan yang disandarkan kepada Allah akan melahirkan rasa syukur.
Kata "الْفَتْحُ" (Al-Fatḥ) berarti "kemenangan" atau "terbukanya". Secara spesifik, ini merujuk pada Fathu Makkah, terbukanya kota Makkah bagi kaum Muslimin. Namun, secara umum, Al-Fath juga bisa diartikan sebagai terbukanya hati manusia untuk menerima hidayah, terbukanya jalan-jalan dakwah, dan terbukanya pintu-pintu kebaikan setelah berbagai kesulitan.
"dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah."
Ayat ini merupakan buah atau hasil dari pertolongan dan kemenangan pada ayat pertama. Ketika kebenaran telah menang dan kekuasaan tidak lagi berada di tangan kebatilan, maka fitrah manusia akan lebih mudah menerima seruan kebaikan.
Kata "النَّاسَ" (An-Nās) yang berarti "manusia" menunjukkan cakupan yang luas. Bukan hanya bangsa Arab, tetapi ini adalah isyarat bahwa agama Allah ini akan diterima oleh berbagai bangsa di seluruh dunia.
Frasa kunci di sini adalah "أَفْوَاجًا" (Afwājā), yang artinya "berbondong-bondong" atau "dalam rombongan besar". Ini menggambarkan perubahan skala dakwah yang luar biasa. Jika sebelumnya hidayah turun kepada individu, kini hidayah menyebar secara kolektif. Ini adalah tanda bahwa risalah Islam telah diterima secara luas dan pengaruhnya telah mengakar kuat di tengah masyarakat.
"maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat."
Inilah puncak dari surat ini, sebuah arahan tentang bagaimana seharusnya seorang hamba merespons nikmat terbesar berupa kemenangan. Respon yang diajarkan bukanlah pesta pora, euforia berlebihan, atau arogansi. Sebaliknya, respon yang dikehendaki Allah adalah kembali kepada-Nya dengan penuh kerendahan hati.
Ayat ini ditutup dengan penegasan sifat Allah, "إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا" (Innahū kāna tawwābā), "Sungguh, Dia Maha Penerima tobat". Ini adalah sebuah jaminan dan kabar gembira. Allah selalu membuka pintu tobat-Nya selebar-lebarnya bagi hamba yang mau kembali, tidak peduli seberapa besar pencapaian atau kesalahan mereka. Sifat At-Tawwab ini memberikan ketenangan dan harapan bagi setiap Muslim.
Salah satu penafsiran paling masyhur mengenai Surat An-Nasr datang dari sahabat yang merupakan ahli tafsir, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu. Beliau memahami surat ini bukan sekadar sebagai berita kemenangan, tetapi juga sebagai pemberitahuan bahwa tugas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dunia telah paripurna dan ajal beliau sudah dekat.
Logikanya sederhana: Jika pertolongan Allah telah datang, kemenangan telah diraih, dan manusia telah berbondong-bondong memeluk Islam, maka misi utama kerasulan telah selesai. Perintah untuk memperbanyak tasbih, tahmid, dan istighfar di akhir surat dipahami sebagai persiapan untuk bertemu dengan Sang Pencipta.
Diriwayatkan bahwa ketika surat ini turun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakannya kepada putrinya, Fatimah. Mendengarnya, Fatimah menangis. Ketika ditanya mengapa, beliau menjawab, "Aku merasakan bahwa ini adalah pertanda wafatnya Ayahanda." Rasulullah pun membenarkan firasat putrinya tersebut.
Pemahaman ini menunjukkan betapa dalamnya para sahabat dalam menangkap isyarat-isyarat Al-Quran. Surat kemenangan ini, pada saat yang sama, adalah surat perpisahan. Sebuah pengingat bahwa setiap tugas yang selesai adalah penanda bahwa satu babak kehidupan akan segera berakhir.
Meskipun Surat An-Nasr turun dalam konteks sejarah yang spesifik, pesan-pesan yang dikandungnya bersifat universal dan abadi. Berikut adalah beberapa hikmah yang bisa kita petik untuk kehidupan kita saat ini:
Dalam segala urusan, baik dalam skala pribadi, keluarga, maupun masyarakat, kita harus meyakini bahwa pertolongan sejati hanya datang dari Allah. Usaha manusia adalah keharusan, tetapi hasilnya adalah ketetapan-Nya. Keyakinan ini akan membebaskan kita dari keputusasaan saat menghadapi kesulitan dan dari kesombongan saat meraih keberhasilan.
Surat ini mengajarkan etika tertinggi dalam menyikapi kesuksesan. Saat kita berhasil dalam studi, karier, bisnis, atau proyek dakwah, respon terbaik bukanlah membanggakan diri, melainkan:
Sebagaimana tugas kenabian yang ada akhirnya, setiap peran dan amanah yang kita emban di dunia ini juga memiliki batas waktu. Kesadaran ini mendorong kita untuk memanfaatkan waktu sebaik mungkin, menyelesaikan tugas dengan performa terbaik, dan selalu bersiap untuk "babak" selanjutnya, yaitu kehidupan setelah kematian.
Fathu Makkah yang menjadi latar surat ini adalah contoh terbaik dari kemenangan yang disertai pengampunan. Rasulullah memaafkan semua musuh yang dulu menyiksanya. Sikap ini, ditambah dengan perintah untuk beristighfar, menunjukkan bahwa puncak kekuatan adalah kemampuan untuk memaafkan dan kerendahan hati di hadapan Allah.
Surat An-Nasr adalah suntikan optimisme bagi setiap pejuang di jalan Allah. Ia menjanjikan bahwa selama kita berada di jalan yang benar dan terus berusaha, pertolongan Allah dan kemenangan pada akhirnya akan datang. Kegelapan kebatilan pasti akan sirna oleh cahaya kebenaran.
Kembali ke pertanyaan awal: Surat An-Nasr terdapat dalam Al-Quran juz berapa? Jawabannya adalah Juz 30, bagian penutup dari kitab suci Al-Quran.
Penempatannya di juz terakhir ini seolah menjadi sebuah kesimpulan yang indah. Setelah melalui puluhan juz yang berisi perintah, larangan, kisah, dan janji, Juz ‘Amma yang di dalamnya terdapat Surat An-Nasr memberikan penegasan akhir: bahwa ujung dari kesabaran dan perjuangan di jalan Allah adalah kemenangan gemilang. Dan respons terbaik atas kemenangan itu adalah kembali bersujud, memuji, dan memohon ampunan kepada-Nya.
Surat An-Nasr, dengan tiga ayatnya yang singkat, adalah sebuah lautan makna. Ia adalah surat tentang sejarah dan masa depan, tentang kemenangan duniawi dan persiapan ukhrawi, tentang kekuatan dan kerendahan hati. Semoga dengan memahaminya lebih dalam, kita tidak hanya hafal letak dan bacaannya, tetapi juga mampu mengamalkan pesan-pesan agungnya dalam setiap langkah kehidupan kita.