Pertanyaan mengenai letak sebuah surat dalam Al-Qur'an sering kali muncul, terutama untuk surat-surat pendek yang memiliki makna mendalam. Salah satu surat yang paling sering dibaca dan dihafal adalah Surat An-Nasr. Lantas, surat An-Nasr terdapat pada juz ke berapa? Jawaban singkat dan pastinya adalah: Surat An-Nasr berada di Juz ke-30, yang lebih dikenal dengan sebutan Juz 'Amma.
Meskipun jawabannya sederhana, pemahaman yang lebih dalam mengenai posisi, konteks, dan makna surat ini akan membuka wawasan yang luar biasa tentang pesan-pesan agung yang terkandung di dalamnya. Artikel ini akan mengupas tuntas segala hal yang berkaitan dengan Surat An-Nasr, dari posisinya yang strategis di akhir Al-Qur'an hingga tafsir mendalam ayat per ayatnya.
Posisi Strategis Surat An-Nasr dalam Mushaf Al-Qur'an
Al-Qur'an terdiri dari 114 surat yang terbagi ke dalam 30 juz. Pembagian ini bertujuan untuk memudahkan umat Islam dalam membaca dan menghafal, terutama untuk target khatam dalam satu bulan. Surat An-Nasr, yang merupakan surat ke-110 dalam urutan mushaf, terletak di bagian akhir Al-Qur'an, yaitu di dalam Juz 30.
Memahami Juz 30 atau Juz 'Amma
Juz 30, atau yang lebih populer dengan sebutan Juz 'Amma, adalah bagian terakhir dari Al-Qur'an. Namanya diambil dari kata pertama pada surat pertama di juz ini, yaitu Surat An-Naba' (ayat 1: عَمَّ يَتَسَاءَلُونَ). Juz ini memiliki karakteristik yang khas:
- Berisi Surat-Surat Pendek: Sebagian besar surat dalam Juz 'Amma adalah surat-surat pendek, sehingga menjadi bagian yang pertama kali dihafal oleh anak-anak dan para pemula.
- Dominasi Surat Makkiyah: Mayoritas suratnya tergolong sebagai surat Makkiyah, yaitu surat yang turun sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Surat-surat ini umumnya berfokus pada penguatan akidah, keimanan kepada Allah, hari akhir, surga, dan neraka.
- Gaya Bahasa Puitis dan Kuat: Ayat-ayatnya sering kali pendek, ritmis, dan memiliki kekuatan sastra yang tinggi, yang mampu menggetarkan hati pendengarnya.
Meskipun didominasi surat Makkiyah, Juz 30 juga memuat beberapa surat Madaniyah, dan Surat An-Nasr adalah salah satunya. Kehadirannya sebagai surat Madaniyah di tengah kumpulan surat Makkiyah memberikan warna dan pesan tersendiri.
Urutan Surat An-Nasr
Dalam susunan mushaf, Surat An-Nasr terletak setelah Surat Al-Kafirun (surat ke-109) dan sebelum Surat Al-Lahab (surat ke-111). Urutan ini bukanlah tanpa makna. Surat Al-Kafirun menegaskan batas toleransi dan prinsip tauhid yang tegas (bagimu agamamu, dan bagiku agamaku). Setelah prinsip ini ditegakkan dengan kokoh, datanglah pertolongan dan kemenangan yang dijanjikan, seperti yang dijelaskan dalam Surat An-Nasr. Ini menunjukkan bahwa kemenangan sejati datang setelah keteguhan iman dan prinsip.
Klasifikasi dan Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Surat)
Surat An-Nasr tergolong sebagai surat Madaniyah. Para ulama tafsir mayoritas bersepakat bahwa surat ini diturunkan di Madinah, atau setidaknya setelah periode hijrah. Bahkan, banyak riwayat yang menyebutkan bahwa surat ini adalah salah satu surat terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, bahkan ada yang menyebutnya sebagai surat terakhir yang turun secara lengkap.
Konteks Sejarah: Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah)
Sebab turunnya Surat An-Nasr sangat erat kaitannya dengan peristiwa monumental dalam sejarah Islam, yaitu Fathu Makkah. Setelah bertahun-tahun dakwah yang penuh penolakan, penganiayaan, dan peperangan, Allah SWT menjanjikan sebuah kemenangan besar.
Peristiwa ini bermula dari pelanggaran Perjanjian Hudaibiyah oleh kaum kafir Quraisy. Mereka membantu sekutunya, Bani Bakar, untuk menyerang sekutu kaum muslimin, yaitu Bani Khuza'ah. Pelanggaran ini membatalkan perjanjian damai yang telah disepakati. Sebagai respons, Rasulullah SAW mempersiapkan pasukan besar yang terdiri dari sekitar 10.000 sahabat untuk bergerak menuju Makkah.
Berbeda dengan ekspektasi kaum Quraisy yang mengira akan terjadi pertumpahan darah, penaklukan Makkah berlangsung dengan sangat damai. Rasulullah SAW memasuki kota kelahirannya dengan penuh ketawadukan, menundukkan kepala di atas untanya sebagai tanda syukur dan rendah diri di hadapan Allah. Beliau memberikan jaminan keamanan kepada siapa saja yang berlindung di rumah Abu Sufyan, di rumahnya sendiri, atau di dalam Masjidil Haram. Kemenangan ini bukanlah kemenangan balas dendam, melainkan kemenangan yang dipenuhi rahmat dan ampunan.
Setelah memasuki Makkah, Rasulullah SAW membersihkan Ka'bah dari berhala-berhala yang selama ini disembah oleh kaum jahiliyah. Beliau menghancurkan sekitar 360 berhala sambil mengumandangkan firman Allah dalam Surat Al-Isra' ayat 81: "Dan katakanlah, 'Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap.' Sungguh, yang batil itu pasti lenyap."
Melihat keagungan akhlak Rasulullah SAW, kemenangan yang damai, dan kebenaran ajaran Islam yang nyata, suku-suku Arab dari berbagai penjuru Jazirah Arab mulai berdatangan untuk menyatakan keislaman mereka. Mereka datang secara berkelompok, berbondong-bondong, tanpa paksaan. Fenomena inilah yang secara gamblang dijelaskan dalam Surat An-Nasr.
Tafsir Mendalam Surat An-Nasr Ayat per Ayat
Surat An-Nasr hanya terdiri dari tiga ayat, namun setiap katanya mengandung lautan makna. Mari kita bedah satu per satu.
Ayat 1: Janji Pertolongan dan Kemenangan
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ
Idzaa jaa-a nashrullahi wal fat-h.
"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan."
إِذَا (Idzaa): Kata ini dalam bahasa Arab digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang pasti akan terjadi di masa depan. Berbeda dengan kata 'in' (jika) yang mengandung kemungkinan. Penggunaan 'idzaa' di awal surat ini merupakan penegasan dari Allah bahwa pertolongan dan kemenangan itu adalah sebuah keniscayaan, sebuah janji yang pasti akan ditepati.
نَصْرُ اللَّهِ (Nashrullah): 'An-Nasr' berarti pertolongan atau bantuan. Disandarkannya kata ini kepada 'Allah' (Nashrullah) menunjukkan bahwa pertolongan ini bukan sembarang pertolongan. Ini adalah pertolongan ilahi yang bersifat mutlak, yang tidak dapat dihalangi oleh kekuatan apa pun. Kemenangan yang diraih umat Islam bukanlah karena kekuatan militer atau strategi manusia semata, melainkan murni karena campur tangan dan bantuan dari Allah SWT.
وَالْفَتْحُ (Wal fat-h): 'Al-Fath' secara harfiah berarti 'pembukaan'. Dalam konteks ini, para ulama sepakat bahwa yang dimaksud adalah Fathu Makkah, yaitu 'terbukanya' kota Makkah bagi kaum muslimin. Makkah adalah pusat spiritual dan simbol kekuatan kaum Quraisy. Dengan terbukanya Makkah, maka terbuka pula hati manusia dan pintu-pintu dakwah di seluruh Jazirah Arab. Ini adalah kemenangan yang menjadi titik balik penyebaran Islam secara masif.
Ayat 2: Buah dari Kemenangan
وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا
Wa ra-aitan naasa yadkhuluuna fii diinillahi afwaajaa.
"dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah."
وَرَأَيْتَ (Wa ra-ayta): "Dan engkau melihat". Kata ganti 'engkau' di sini ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad SAW, namun juga berlaku bagi siapa saja yang menyaksikan peristiwa agung tersebut. Ini adalah penglihatan mata kepala, sebuah bukti empiris yang tidak bisa dibantah. Apa yang dulu hanya keyakinan di dalam hati, kini menjadi kenyataan yang terlihat di depan mata.
النَّاسَ (An-naas): "Manusia". Kata ini bersifat umum, mencakup berbagai suku, kabilah, dan golongan dari seluruh penjuru Arab. Setelah Fathu Makkah, delegasi dari berbagai suku seperti Bani Tsaqif, Bani Tamim, dan suku-suku dari Yaman datang kepada Rasulullah untuk memeluk Islam. Mereka menyadari bahwa jika Allah telah memberikan kemenangan kepada Muhammad SAW atas kaumnya sendiri (Quraisy), maka ia adalah seorang nabi yang benar.
أَفْوَاجًا (Afwaajaa): "Berbondong-bondong" atau "dalam kelompok-kelompok besar". Kata ini menggambarkan perubahan drastis dalam penerimaan dakwah. Jika di awal masa kenabian orang masuk Islam secara sembunyi-sembunyi dan satu per satu, kini mereka datang dalam rombongan besar. Satu kabilah bisa masuk Islam seluruhnya dalam satu waktu. Ini adalah buah dari kesabaran, keteguhan, dan pertolongan Allah.
Ayat 3: Respon yang Tepat Atas Nikmat Kemenangan
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
Fasabbih bihamdi rabbika wastaghfirh, innahuu kaana tawwaabaa.
"maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat."
Ini adalah ayat kunci yang mengajarkan adab dan sikap seorang mukmin ketika meraih kesuksesan. Kemenangan besar sering kali memicu euforia, kesombongan, atau keinginan untuk membalas dendam. Namun, Allah mengajarkan respons yang jauh lebih mulia.
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ (Fasabbih bihamdi rabbika): "Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu". Perintah ini menggabungkan dua zikir agung:
- Tasbih (Subhanallah): Mensucikan Allah dari segala kekurangan. Kemenangan ini terjadi bukan karena ada kekurangan pada musuh atau kehebatan pada diri sendiri, melainkan karena kesempurnaan takdir dan kekuasaan Allah.
- Tahmid (Alhamdulillah): Memuji Allah atas segala nikmat-Nya. Pujian ini adalah bentuk syukur tertinggi atas karunia pertolongan dan kemenangan yang telah diberikan.
وَاسْتَغْفِرْهُ (Wastaghfirh): "Dan mohonlah ampun kepada-Nya". Perintah untuk beristighfar di puncak kemenangan ini memiliki makna yang sangat dalam. Mengapa harus memohon ampun di saat berjaya? Para ulama menjelaskan beberapa hikmah:
- Menjaga dari Kesombongan: Istighfar adalah benteng dari sifat ujub (bangga diri) dan sombong yang bisa muncul saat meraih sukses. Ini adalah pengingat bahwa kita hanyalah hamba yang lemah dan penuh kekurangan.
- Menyempurnakan Kekurangan: Dalam setiap perjuangan, pasti ada kekurangan dan kelalaian yang dilakukan. Istighfar berfungsi untuk menambal kekurangan tersebut agar amal ibadah dan perjuangan menjadi sempurna di sisi Allah.
- Isyarat Selesainya Tugas: Banyak sahabat, termasuk Ibnu Abbas RA, memahami ayat ini sebagai isyarat bahwa tugas kerasulan Nabi Muhammad SAW telah paripurna. Kemenangan Islam telah tercapai, dan ajaran telah sempurna. Istighfar menjadi persiapan untuk kembali menghadap Sang Pencipta. Riwayat menyebutkan bahwa setelah surat ini turun, Rasulullah SAW semakin memperbanyak istighfar dan tasbih, dan tidak lama setelah itu beliau wafat.
إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (Innahuu kaana tawwaabaa): "Sungguh, Dia Maha Penerima tobat". Ayat ini ditutup dengan penegasan sifat Allah sebagai At-Tawwab. Ini adalah sebuah jaminan dan kabar gembira. Sebanyak apa pun kekurangan kita, selama kita kembali kepada-Nya dengan tasbih, tahmid, dan istighfar, pintu ampunan-Nya akan selalu terbuka lebar. Nama Allah 'At-Tawwab' berasal dari kata 'taubah' yang berarti 'kembali'. Allah senantiasa 'kembali' kepada hamba-Nya dengan rahmat dan ampunan, setiap kali hamba 'kembali' kepada-Nya dengan penyesalan dan permohonan ampun.
Pelajaran dan Hikmah Abadi dari Surat An-Nasr
Meskipun Surat An-Nasr turun dalam konteks sejarah yang spesifik, pesan-pesan yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan relevan sepanjang masa. Berikut adalah beberapa hikmah yang dapat kita petik:
- Kemenangan Milik Allah: Setiap keberhasilan, baik dalam skala besar seperti kemenangan sebuah umat maupun skala kecil seperti kesuksesan pribadi, hakikatnya datang dari Allah. Ini mengajarkan kita untuk tidak pernah menyombongkan pencapaian diri.
- Kesabaran Berbuah Manis: Perjuangan dakwah Rasulullah SAW selama lebih dari dua dekade yang penuh dengan tantangan akhirnya membuahkan hasil gemilang. Ini adalah pelajaran tentang pentingnya kesabaran, kegigihan, dan keyakinan pada janji Allah.
- Adab dalam Kesuksesan: Respons terbaik saat mendapat nikmat bukanlah pesta pora atau kebanggaan, melainkan sujud syukur, memperbanyak zikir (tasbih dan tahmid), serta memohon ampun (istighfar) untuk menjaga hati tetap rendah di hadapan Allah.
- Tanda Selesainya Misi: Surat ini menjadi pengingat bahwa setiap tugas dan amanah di dunia ini memiliki batas waktu. Ketika sebuah misi besar telah tercapai, itu adalah pertanda untuk mempersiapkan diri kembali kepada Allah.
- Optimisme dan Harapan: Surat ini menebarkan optimisme bahwa setelah kesulitan pasti akan ada kemudahan, dan setelah perjuangan pasti akan ada kemenangan, selama kita senantiasa berpegang teguh pada jalan Allah.
- Pintu Taubat Selalu Terbuka: Penutup surat ini adalah pengingat yang menenangkan bahwa Allah adalah Maha Penerima Taubat. Tidak ada kata terlambat untuk kembali kepada-Nya.
Kesimpulan
Jadi, untuk menjawab pertanyaan utama, Surat An-Nasr terdapat pada Juz ke-30 dari Al-Qur'an. Ia adalah surat Madaniyah ke-110 yang menjadi salah satu penanda puncak kemenangan dakwah Islam di masa Rasulullah SAW. Lebih dari sekadar informasi lokasi, memahami Surat An-Nasr adalah memahami esensi perjuangan, hakikat kemenangan, dan adab seorang hamba di hadapan Tuhannya. Surat yang singkat ini merangkum sebuah perjalanan panjang dari penindasan menuju kemenangan, dan dari euforia duniawi menuju kerendahan hati spiritual yang abadi.