Tarikh Tasyri': Mengurai Sejarah Legislasi Hukum Islam

Sebuah perjalanan intelektual menelusuri evolusi dan pembentukan syariat Islam dari masa ke masa.

Ilustrasi simbolis Tarikh Tasyri' yang menampilkan neraca keadilan di depan sebuah kitab terbuka, melambangkan hukum Islam yang bersumber dari wahyu dan berkembang melalui ijtihad.

Pengantar Memahami Tarikh Tasyri'

Tarikh Tasyri' secara harfiah berarti "Sejarah Legislasi". Dalam konteks studi Islam, istilah ini merujuk pada ilmu yang secara sistematis mengkaji sejarah pembentukan, perkembangan, dan kodifikasi hukum Islam (Syariat). Mempelajari Tarikh Tasyri' bukanlah sekadar napak tilas peristiwa historis, melainkan sebuah upaya mendalam untuk memahami dinamika, metodologi, dan hikmah di balik setiap fase evolusi hukum Islam. Ilmu ini membuka cakrawala kita untuk melihat bahwa Syariat bukanlah produk hukum yang statis dan kaku, melainkan sebuah sistem yang hidup, responsif, dan adaptif terhadap perubahan zaman, tanpa pernah melepaskan ikatannya dari sumber-sumber utamanya, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Dengan memahami perjalanan ini, kita dapat mengapresiasi kekayaan intelektual para ulama terdahulu, mengenali sebab-sebab munculnya perbedaan pendapat (ikhtilaf) di antara mereka, dan yang terpenting, memperoleh perspektif yang lebih bijak dalam menghadapi problematika hukum kontemporer. Tarikh Tasyri' mengajak kita untuk menyelami proses bagaimana wahyu ilahi yang bersifat universal dan abadi ditafsirkan dan diaplikasikan dalam konteks sosio-kultural yang terus berubah, dari era kenabian yang murni hingga masa kini yang penuh dengan tantangan kompleks. Ini adalah kisah tentang bagaimana ajaran langit membumi melalui ijtihad dan dedikasi para cendekiawan Muslim dari generasi ke generasi.

Periode Pertama: Era Kenabian (Masa Risalah)

Periode ini adalah fondasi dari seluruh bangunan hukum Islam. Ini adalah masa ketika wahyu turun secara langsung kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai satu-satunya sumber legislasi. Kekuasaan untuk menetapkan hukum (tasyri') pada masa ini mutlak berada di tangan Allah SWT melalui wahyu-Nya, dan Nabi Muhammad SAW bertindak sebagai penyampai, penjelas, dan pelaksana utama dari wahyu tersebut. Periode ini sendiri dapat dibagi menjadi dua fase yang sangat berbeda, yaitu fase Mekkah dan fase Madinah, yang masing-masing memiliki karakteristik tasyri' yang unik.

Fase Mekkah: Peletakan Fondasi Akidah dan Akhlak

Selama kurang lebih tiga belas tahun di Mekkah, fokus utama dakwah dan wahyu yang turun adalah pada pembangunan pilar-pilar dasar keimanan (akidah). Ayat-ayat Makkiyah secara dominan berbicara tentang keesaan Allah (tauhid), penolakan terhadap syirik dan paganisme, kenabian, hari kebangkitan, surga, dan neraka. Tujuannya adalah untuk mereformasi secara fundamental cara pandang dan keyakinan masyarakat Arab Jahiliyah.

Dari sisi tasyri', hukum-hukum yang diturunkan pada fase ini masih bersifat umum, global, dan lebih banyak menyentuh aspek etika dan moral fundamental (akhlakul karimah). Belum ada detail mengenai hukum ibadah formal (seperti shalat lima waktu dengan rukunnya), hukum muamalah (transaksi), maupun hukum pidana (jinayah). Legislasi yang ada lebih berupa prinsip-prinsip universal, seperti:

Karakteristik tasyri' di fase Mekkah ini sangat strategis. Sebelum memberikan aturan-aturan rinci tentang kehidupan bermasyarakat, Islam terlebih dahulu membangun fondasi spiritual dan moral yang kokoh dalam diri setiap individu. Ini adalah persiapan jiwa dan mental umat untuk menerima dan menjalankan syariat yang lebih kompleks di kemudian hari.

Fase Madinah: Pembentukan Masyarakat dan Negara Islam

Hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah menandai sebuah titik balik monumental dalam sejarah tasyri'. Di Madinah, umat Islam bukan lagi komunitas minoritas yang tertindas, melainkan telah menjadi sebuah entitas sosial-politik yang berdaulat. Mereka membentuk sebuah masyarakat baru yang majemuk, yang terdiri dari kaum Muhajirin, Anshar, dan berbagai suku Yahudi. Kondisi baru ini menuntut adanya seperangkat aturan yang jelas untuk mengatur kehidupan bersama.

Di Madinah, tasyri' berkembang pesat. Wahyu tidak lagi hanya berfokus pada akidah, tetapi mulai merinci berbagai aspek hukum untuk menjawab kebutuhan nyata sebuah masyarakat yang sedang tumbuh dan sebuah negara yang sedang dibangun.

Ciri khas tasyri' pada fase Madinah adalah:

  1. Kerincian Hukum Ibadah: Aturan-aturan shalat, puasa Ramadan, zakat, dan haji disyariatkan secara lengkap dengan rukun, syarat, dan tata caranya.
  2. Hukum Keluarga (Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah): Ayat-ayat mengenai pernikahan, talak, waris, nafkah, dan hubungan kekeluargaan diturunkan secara mendetail.
  3. Hukum Transaksi (Muamalah): Prinsip-prinsip jual beli, utang-piutang, sewa-menyewa, gadai, serta larangan riba, gharar (ketidakpastian), dan maysir (judi) ditetapkan.
  4. Hukum Pidana (Jinayah): Sanksi-sanksi hukum (hudud, qisas, diyat) untuk berbagai tindak kejahatan seperti pencurian, perzinaan, pembunuhan, dan qadzaf (tuduhan palsu) mulai disyariatkan.
  5. Hukum Kenegaraan dan Internasional: Aturan mengenai perang, damai, hubungan dengan negara lain, perlakuan terhadap tawanan perang, dan dasar-dasar pemerintahan mulai diletakkan, yang puncaknya adalah Piagam Madinah.

Salah satu karakteristik penting tasyri' pada periode ini adalah prinsip tadarruj (gradualisme). Hukum tidak diturunkan sekaligus, melainkan secara bertahap, mempertimbangkan kesiapan psikologis dan sosial masyarakat. Contoh paling terkenal adalah proses pelarangan khamr (minuman keras) yang melalui beberapa tahapan sebelum diharamkan secara total.

Sumber hukum pada periode kenabian ini murni berasal dari dua hal: Al-Qur'an sebagai wahyu yang lafaz dan maknanya dari Allah, dan As-Sunnah (ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi) sebagai penjelas, perinci, dan contoh praktis dari Al-Qur'an. Sunnah memiliki fungsi vital dalam tasyri', baik dalam merinci yang global, mengkhususkan yang umum, maupun menetapkan hukum baru yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur'an, namun tetap dalam kerangka wahyu.

Periode Kedua: Era Khulafaur Rasyidin

Wafatnya Nabi Muhammad SAW menjadi penanda berakhirnya masa turunnya wahyu. Umat Islam kini dihadapkan pada sebuah realitas baru: sumber legislasi primer telah sempurna dan terhenti, namun kehidupan terus berjalan dengan berbagai persoalan baru yang belum pernah terjadi pada masa Nabi. Periode ini, yang dipimpin oleh empat khalifah agung—Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib—menjadi saksi lahirnya metodologi ijtihad untuk menjawab tantangan zaman.

Sumber hukum utama tetaplah Al-Qur'an dan As-Sunnah. Namun, ketika suatu masalah tidak ditemukan jawabannya secara eksplisit dalam kedua sumber tersebut, para sahabat mulai mengembangkan metode penalaran hukum. Karakteristik utama tasyri' pada masa ini adalah:

Kontribusi Para Khalifah dalam Tasyri'

Setiap khalifah meninggalkan jejak ijtihad yang monumental. Abu Bakar Ash-Shiddiq dihadapkan pada masalah penolakan sebagian suku Arab untuk membayar zakat. Dengan ijtihadnya yang tegas, beliau memerangi mereka, berargumen bahwa zakat adalah hak yang menyertai syahadat dan shalat, sehingga mengingkarinya sama dengan murtad. Beliau juga memprakarsai proyek pengumpulan lembaran-lembaran Al-Qur'an menjadi satu mushaf.

Umar bin Khattab dikenal sebagai seorang mujtahid yang brilian dan inovatif. Ijtihad-ijtihadnya sangat berorientasi pada kemaslahatan umat (maslahah mursalah). Beberapa contoh terkenalnya antara lain:

Utsman bin Affan melanjutkan kebijakan para pendahulunya. Ijtihadnya yang paling terkenal adalah proyek standarisasi mushaf Al-Qur'an dengan dialek Quraisy dan menyalinnya menjadi beberapa eksemplar untuk dikirim ke seluruh penjuru wilayah Islam. Langkah ini krusial untuk menjaga otentisitas Al-Qur'an dan menyatukan bacaan umat.

Ali bin Abi Thalib menghadapi tantangan yang berbeda, yaitu fitnah dan perpecahan politik internal. Ijtihadnya banyak berkaitan dengan hukum pemberontakan (bughat) dan bagaimana menghadapi sesama Muslim dalam peperangan. Beliau meletakkan dasar-dasar fikih tentang perlakuan terhadap pemberontak, yang berbeda dengan perlakuan terhadap musuh non-Muslim.

Periode Khulafaur Rasyidin adalah jembatan emas antara era wahyu dan era ijtihad. Di masa inilah benih-benih Ushul Fiqh (metodologi hukum Islam) mulai ditanam, yang akan tumbuh subur pada periode-periode berikutnya.

Periode Ketiga: Era Sahabat Kecil dan Tabi'in

Setelah masa Khulafaur Rasyidin, wilayah kekuasaan Islam meluas dengan sangat pesat, membentang dari Spanyol hingga perbatasan India. Para sahabat yang masih hidup menyebar ke berbagai kota baru untuk mengajarkan Islam. Penyebaran ini membawa konsekuensi signifikan bagi perkembangan tasyri'. Di satu sisi, ini menyebarkan ilmu hadis dan pemahaman hukum ke seluruh pelosok. Di sisi lain, ini memunculkan pusat-pusat keilmuan dengan corak pemikiran yang berbeda-beda.

Pada periode ini, muncul dua aliran atau "madrasah" besar dalam pemikiran hukum Islam, yang perbedaannya lebih bersifat metodologis daripada akidah.

1. Madrasah Ahlul Hadits (Madrasah Hijaz)

Berpusat di Madinah dan Mekkah (Hijaz), madrasah ini sangat menekankan pada sumber-sumber tekstual (nash), yaitu Al-Qur'an dan Hadis. Mereka cenderung membatasi penggunaan akal (ra'yu) dan qiyas dalam berijtihad. Hal ini dapat dipahami karena beberapa alasan:

Metodologi mereka adalah, jika ada masalah, mereka akan mencari jawabannya di Al-Qur'an, lalu di Hadis, lalu di fatwa-fatwa sahabat. Mereka sangat berhati-hati dalam menggunakan ra'yu, kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa.

2. Madrasah Ahlur Ra'yi (Madrasah Irak)

Berpusat di Kufah, Irak, madrasah ini lebih terbuka dalam menggunakan penalaran akal (ra'yu), qiyas, dan istihsan (preferensi yuristik) di samping tetap berpegang pada nash. Latar belakang munculnya metodologi ini adalah:

Perbedaan antara dua madrasah ini bukanlah pertentangan, melainkan kekayaan intelektual yang lahir dari kondisi obyektif yang berbeda. Keduanya sama-sama bertujuan untuk menerapkan Syariat Islam, namun dengan penekanan metodologis yang bervariasi. Dialog dan perdebatan di antara keduanya justru memperkaya khazanah fikih Islam.

Periode Keempat: Era Keemasan Fikih (Masa Tadwin dan Imam Mazhab)

Periode ini, yang membentang dari awal abad kedua hingga pertengahan abad keempat Hijriah, dianggap sebagai puncak kejayaan intelektual dalam sejarah tasyri'. Pada masa inilah ilmu fikih dan ushul fikih dikodifikasikan secara sistematis, dan lahirlah para imam mujtahid mutlak yang pemikirannya terhimpun dalam mazhab-mazhab fikih yang kita kenal hingga sekarang. Gerakan penulisan (tadwin) ilmu pengetahuan Islam, termasuk Hadis dan Fikih, mencapai puncaknya.

Faktor-faktor yang mendorong kemajuan pesat pada periode ini antara lain adalah dukungan dari pemerintah (Daulah Abbasiyah), stabilitas politik yang relatif terjaga, interaksi antarbudaya yang memicu perkembangan intelektual, serta semangat keilmuan yang luar biasa di kalangan ulama. Dari rahim periode inilah lahir empat imam mazhab besar dalam Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

Imam Abu Hanifah (Mazhab Hanafi)

Abu Hanifah an-Nu'man bin Tsabit, yang berbasis di Kufah, Irak, adalah pewaris utama Madrasah Ahlur Ra'yi. Beliau tidak banyak menulis kitab sendiri, namun pemikiran hukumnya dikodifikasikan dan dikembangkan oleh murid-murid briliannya, seperti Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani. Mazhab Hanafi dikenal dengan karakteristiknya yang menonjol dalam penggunaan Qiyas dan Istihsan. Istihsan adalah beralih dari ketentuan qiyas yang jelas kepada ketentuan lain karena ada dalil atau pertimbangan maslahat yang lebih kuat. Beliau juga dikenal mengembangkan fiqh taqdiri/iftiradhi (fikih hipotetis), yaitu membahas masalah-masalah hukum yang belum terjadi sebagai latihan intelektual dan antisipasi masa depan. Kedalaman analisis dan rasionalitas hukumnya membuat Mazhab Hanafi banyak diadopsi sebagai mazhab resmi oleh berbagai kekhalifahan, termasuk Utsmaniyah.

Imam Malik bin Anas (Mazhab Maliki)

Imam Malik adalah "Imam Dar al-Hijrah" (pemimpin di kota hijrah, Madinah) dan pewaris utama Madrasah Ahlul Hadits. Karya monumentalnya, Al-Muwaththa', adalah salah satu kitab hadis-fikih tertua yang sampai kepada kita. Metodologi Imam Malik sangat khas. Selain berpegang pada Al-Qur'an dan Sunnah, beliau memberikan otoritas tinggi pada 'Amal Ahlul Madinah (praktik penduduk Madinah). Beliau berargumen bahwa praktik yang diwariskan secara turun-temurun oleh penduduk Madinah adalah cerminan langsung dari Sunnah Nabi yang hidup dan otentik. Selain itu, beliau juga menggunakan Maslahah Mursalah (kemaslahatan umum yang tidak diatur secara spesifik oleh nash) sebagai salah satu sumber hukumnya. Mazhab Maliki berkembang pesat di Afrika Utara dan Andalusia (Spanyol).

Imam Asy-Syafi'i (Mazhab Syafi'i)

Muhammad bin Idris asy-Syafi'i adalah figur sentral dalam sejarah tasyri'. Beliau adalah seorang jenius yang berhasil menyintesiskan metodologi Ahlul Hadits (ia belajar dari Imam Malik) dan Ahlur Ra'yi (ia belajar dari murid Imam Abu Hanifah). Kontribusi terbesarnya adalah peletakan dasar-dasar ilmu Ushul Fiqh secara sistematis dalam kitabnya yang legendaris, Ar-Risalah. Dalam kitab ini, beliau menetapkan hierarki dalil hukum secara tegas: Al-Qur'an, lalu As-Sunnah, lalu Ijma', dan terakhir Qiyas. Beliau memberikan penegasan yang kuat terhadap otoritas hadis ahad (hadis yang tidak mencapai tingkat mutawatir) sebagai sumber hukum yang wajib diikuti jika sanadnya shahih. Imam Syafi'i menolak Istihsan yang digunakan Mazhab Hanafi dan 'Amal Ahlul Madinah yang digunakan Mazhab Maliki sebagai sumber hukum independen. Pemikirannya yang sistematis dan koheren membuat Mazhab Syafi'i menjadi sangat populer dan menyebar luas, terutama di Mesir, Syam, Yaman, dan Asia Tenggara.

Imam Ahmad bin Hanbal (Mazhab Hanbali)

Imam Ahmad adalah seorang Muhaddits (ahli hadis) ulung sebelum dikenal sebagai seorang Faqih (ahli fikih). Mazhabnya mencerminkan keteguhan dan kehati-hatiannya yang luar biasa dalam berpegang pada dalil-dalil tekstual. Beliau sangat membatasi penggunaan ra'yu dan qiyas. Urutan dalil menurutnya adalah: Al-Qur'an, Sunnah, fatwa sahabat yang tidak ada perselisihan di antara mereka, kemudian memilih salah satu fatwa sahabat jika terjadi perbedaan, lalu hadis mursal dan dhaif (jika tidak ada dalil lain), dan terakhir, qiyas sebagai pilihan pamungkas. Keteguhan Imam Ahmad dalam mempertahankan kemakhlukan Al-Qur'an saat masa inkuisisi (mihnah) oleh Mu'tazilah menjadikannya simbol pertahanan sunnah. Mazhab Hanbali, meskipun pengikutnya tidak sebanyak tiga mazhab lainnya, memiliki pengaruh besar, terutama di Jazirah Arab.

Periode Kelima: Era Taqlid dan Kemunduran Ijtihad

Setelah era para imam mazhab besar, dinamika tasyri' mulai berubah. Para ulama setelah mereka lebih memfokuskan energi intelektual mereka untuk mengkaji, mengulas, merinci, dan memperkuat argumen-argumen dari mazhab yang telah mapan, ketimbang mendirikan mazhab baru. Periode ini sering disebut sebagai periode Taqlid, yaitu mengikuti pendapat seorang imam mujtahid.

Penting untuk dipahami bahwa taqlid pada masa ini bukanlah fanatisme buta. Para ulama dalam setiap mazhab terus melakukan ijtihad, namun dalam tingkatan yang berbeda. Ada ijtihad fil mazhab (ijtihad di dalam mazhab), di mana seorang ulama melakukan tarjih (memilih pendapat yang lebih kuat) di antara berbagai riwayat dari sang imam. Ada pula ijtihad takhrij, yaitu menerapkan kaidah-kaidah imam mazhab pada kasus-kasus baru yang belum dibahas oleh sang imam.

Fenomena "tertutupnya pintu ijtihad" seringkali disalahpahami. Istilah ini lebih tepat dimaknai sebagai berakhirnya era ijtihad mutlak (ijtihad untuk mendirikan mazhab baru) dan dominasi ijtihad di dalam kerangka mazhab yang sudah ada. Bukan berarti aktivitas berpikir hukum berhenti total.

Beberapa faktor yang menyebabkan dominasi taqlid antara lain:

Meskipun demikian, periode ini tetap melahirkan ulama-ulama besar yang karyanya menjadi rujukan utama hingga kini, seperti Imam Al-Ghazali, Imam An-Nawawi, Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Khaldun. Mereka adalah para pembaharu dan mujtahid di dalam mazhabnya masing-masing.

Periode Keenam: Era Kebangkitan Modern

Dimulai dari era kemunduran Kekhalifahan Utsmaniyah, berlanjut dengan masa kolonialisme, hingga era negara-bangsa modern, dunia Islam dihadapkan pada tantangan-tantangan yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Globalisasi, revolusi industri, kemajuan sains dan teknologi, serta sistem ekonomi-politik modern memunculkan ribuan masalah baru yang tidak dapat dijawab hanya dengan merujuk pada kitab-kitab fikih klasik.

Kondisi ini memicu gelombang seruan untuk "membuka kembali pintu ijtihad" dan melakukan pembaharuan pemikiran hukum Islam. Gerakan-gerakan pembaharuan muncul dengan berbagai corak. Ada yang menyerukan kembali langsung kepada Al-Qur'an dan Sunnah dengan menafikan mazhab (seperti gerakan Salafiyah). Ada pula yang mencoba memadukan warisan intelektual Islam dengan pemikiran modern (seperti gerakan modernisme Islam yang dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh).

Karakteristik tasyri' di era modern ini adalah:

🏠 Homepage