Ketika kita berbicara tentang warisan Nabi Muhammad ﷺ, pikiran sering kali tertuju pada ajaran lisan, hadis, dan sunnah yang menjadi pedoman hidup miliaran manusia. Namun, di balik tradisi lisan yang kuat, terbentang sebuah dunia yang tak kalah penting: dunia tulisan. Konsep "tulisan Rasulullah" bukanlah merujuk pada goresan tangan beliau secara pribadi, melainkan pada sebuah sistem dokumentasi, administrasi, dan pelestarian wahyu yang beliau gagas, perintahkan, dan awasi secara langsung. Ini adalah kisah tentang bagaimana sebuah peradaban lahir dari perpaduan wahyu ilahi dengan kekuatan pena, mengubah masyarakat yang bertumpu pada hafalan menjadi masyarakat yang memuliakan teks tertulis sebagai fondasi utamanya.
Untuk memahami betapa revolusionernya peran tulisan di masa awal Islam, kita harus menengok kondisi Jazirah Arab kala itu. Budaya yang dominan adalah budaya oral. Kemampuan menghafal ribuan baris syair, silsilah keturunan yang rumit, dan kisah-kisah leluhur adalah tolok ukur kecerdasan dan kehormatan. Tulisan memang ada, tetapi penggunaannya sangat terbatas, umumnya untuk keperluan dagang, perjanjian antar-suku, atau prasasti singkat. Aksara Arab itu sendiri masih dalam tahap awal perkembangannya, belum terstandarisasi seperti yang kita kenal sekarang. Dalam konteks inilah, Islam datang dengan penekanan luar biasa pada kata "baca" (*iqra'*) dan "pena" (*qalam*), menandai sebuah pergeseran paradigma yang monumental.
Status Ummi dan Keagungan Wahyu
Salah satu aspek yang paling sering dibahas mengenai Rasulullah ﷺ adalah status beliau sebagai seorang *ummi*. Kata ini sering diterjemahkan sebagai "buta huruf", namun makna yang lebih dalam adalah "orang yang tidak diajari membaca dan menulis oleh manusia". Status ini bukanlah sebuah kekurangan, melainkan sebuah mukjizat dan penegasan ilahiah. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an untuk menegaskan bahwa apa yang disampaikan oleh Nabi bukanlah hasil rekaan atau studi dari kitab-kitab sebelumnya.
"Dan engkau (Muhammad) tidak pernah membaca sesuatu kitab sebelum (Al-Qur'an) dan engkau tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; sekiranya (engkau pernah membaca dan menulis), niscaya ragulah orang-orang yang mengingkarinya." (QS. Al-'Ankabut: 48)
Ke-ummi-an Rasulullah ﷺ menjadi bukti terkuat bahwa Al-Qur'an adalah murni wahyu dari Allah, bukan karangan seorang manusia jenius. Namun, ironisnya, justru Nabi yang *ummi* inilah yang menjadi promotor terbesar gerakan literasi dalam sejarah. Beliau memahami dengan sempurna kekuatan dan keabadian kata-kata yang tertulis. Beliau tidak menulis sendiri, tetapi beliau adalah seorang diktator ulung, seorang manajer proyek dokumentasi yang visioner. Beliau memilih orang-orang terbaik untuk menjadi juru tulisnya, memastikan setiap firman Tuhan dan setiap dokumen penting tercatat dengan akurat untuk diwariskan kepada generasi mendatang.
Para Juru Tulis Wahyu: Penjaga Kalam Ilahi
Di sekitar Rasulullah ﷺ, ada sekelompok sahabat pilihan yang dikenal sebagai *Kuttab al-Wahy* atau para juru tulis wahyu. Mereka adalah garda terdepan dalam proses kodifikasi Al-Qur'an. Setiap kali wahyu turun, baik itu satu ayat, beberapa ayat, atau satu surat penuh, Rasulullah ﷺ akan segera memanggil salah seorang dari mereka. Beliau akan membacakan ayat-ayat tersebut, dan sang juru tulis akan menuliskannya di media apa pun yang tersedia pada masa itu.
Media yang digunakan sangat beragam, mencerminkan kondisi zaman itu. Mereka menulis di atas:
- Al-Likhaf: Lempengan batu tipis yang permukaannya rata.
- Al-'Usub: Pelepah kurma yang dikeringkan.
- Ar-Riqa': Potongan kulit hewan atau perkamen.
- Al-Aktaf: Tulang belikat unta atau kambing yang lebar dan pipih.
- Al-Aqtab: Kayu yang diletakkan di punggung unta (pelana).
Prosesnya tidak berhenti pada penulisan. Setelah selesai menulis, juru tulis akan membacakan kembali apa yang telah ditulisnya kepada Rasulullah ﷺ. Beliau akan menyimaknya dengan saksama untuk memastikan tidak ada satu huruf atau kata pun yang salah atau terlewat. Proses verifikasi ini sangat krusial untuk menjaga otentisitas wahyu. Tulisan-tulisan ini kemudian disimpan di rumah Nabi ﷺ.
Jumlah juru tulis ini terus bertambah seiring berjalannya waktu. Beberapa nama yang paling terkemuka di antara mereka adalah:
- Zaid bin Tsabit: Sahabat Anshar yang masih sangat muda namun terkenal cerdas dan amanah. Beliau adalah juru tulis utama wahyu dan juga spesialis dalam bahasa Ibrani dan Suryani. Peran sentralnya berlanjut hingga masa kekhalifahan Abu Bakar dan Utsman dalam proyek pengumpulan mushaf Al-Qur'an. Kecermatannya legendaris, menjadikannya figur kunci dalam pelestarian Al-Qur'an.
- Empat Khulafaur Rasyidin: Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib adalah para sahabat terdekat yang juga bertugas sebagai juru tulis sejak periode awal di Mekkah.
- Ubay bin Ka'ab: Salah satu pembaca Al-Qur'an terbaik di kalangan sahabat dan juga seorang juru tulis yang sangat dihormati.
- Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sarh: Juru tulis yang bertugas di Madinah.
- Mu'awiyah bin Abi Sufyan: Beliau menjadi juru tulis Rasulullah ﷺ setelah Fathu Makkah (penaklukan Mekkah).
- Khalid bin Walid dan Al-Mughirah bin Syu'bah: Keduanya juga tercatat sebagai juru tulis, menunjukkan bahwa bahkan para panglima perang pun terlibat dalam tugas mulia ini.
Keberadaan tim juru tulis ini menunjukkan sebuah sistem yang terorganisir dengan baik. Ini bukanlah pekerjaan sambilan, melainkan sebuah tugas suci yang diawasi langsung oleh Rasulullah ﷺ. Fondasi inilah yang memungkinkan Al-Qur'an terjaga dalam bentuk tulisan sejak hari pertama, yang kemudian memudahkan proses pengumpulannya menjadi satu mushaf utuh di masa mendatang.
Surat Diplomatik: Tulisan yang Melintasi Batas Negara
Kegeniusan Rasulullah ﷺ dalam memanfaatkan tulisan tidak terbatas pada pelestarian wahyu. Setelah Perjanjian Hudaibiyah, sebuah periode perdamaian relatif tercipta, memungkinkan dakwah Islam memasuki fase baru: fase global. Rasulullah ﷺ mengambil inisiatif yang sangat berani dengan mengirimkan surat kepada para raja dan penguasa adidaya pada masa itu. Ini adalah sebuah kampanye diplomasi dan dakwah melalui tulisan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Jazirah Arab.
Untuk memastikan keaslian dan keresmian surat-surat ini, Rasulullah ﷺ membuat sebuah stempel atau cincin perak. Cincin ini diukir dengan tiga kata dalam tiga baris: "Muhammad" di baris bawah, "Rasul" di tengah, dan "Allah" di atas. Setiap surat yang dikirimkan akan dibubuhi stempel ini sebagai tanda bahwa surat tersebut benar-benar berasal dari beliau.
Setiap surat dirancang dengan cermat, menggunakan bahasa yang sopan, menghormati gelar penerima, namun tetap tegas dan jelas dalam menyampaikan pesan utama: ajakan untuk memeluk Islam. Berikut adalah beberapa contoh surat monumental tersebut:
- Kepada Heraklius, Kaisar Bizantium (Romawi Timur): Surat ini dibawa oleh Dihyah al-Kalbi. Isinya dimulai dengan basmalah dan menyebutkan gelar Heraklius sebagai "Pembesar Romawi". Surat itu mengajaknya untuk "masuk Islam, maka engkau akan selamat". Heraklius dikisahkan sangat terkesan dan melakukan penyelidikan tentang kenabian Muhammad ﷺ melalui Abu Sufyan yang saat itu sedang berdagang di Syam. Meskipun secara politis ia tidak bisa menerima Islam, hatinya diyakini mengakui kebenaran risalah tersebut.
- Kepada Kisra (Khosrow II), Kaisar Persia: Dibawa oleh Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi, surat ini mendapat respons yang sangat berbeda. Kisra, dengan kesombongannya, merobek-robek surat tersebut. Ketika kabar ini sampai kepada Rasulullah ﷺ, beliau berdoa agar kerajaannya juga dihancurkan. Tidak lama setelah itu, Kisra dibunuh oleh putranya sendiri dan Kekaisaran Persia mulai goyah hingga akhirnya runtuh di tangan pasukan Muslim beberapa tahun kemudian.
- Kepada An-Najasyi (Negus), Raja Habasyah (Ethiopia): Surat ini dibawa oleh 'Amr bin Umayyah adh-Dhamri. Najasyi adalah seorang raja Kristen yang adil dan bijaksana, yang sebelumnya telah memberikan suaka kepada kaum Muslimin yang hijrah dari Mekkah. Beliau menerima surat tersebut dengan penuh hormat, meletakkannya di matanya, dan menyatakan keimanannya. Responnya adalah contoh penerimaan yang tulus.
- Kepada Muqawqis, Penguasa Mesir (wakil Bizantium): Diantarkan oleh Hatib bin Abi Balta'ah, surat ini juga diterima dengan baik. Muqawqis tidak masuk Islam, tetapi ia membalas surat tersebut dengan penuh hormat dan mengirimkan hadiah-hadiah berharga kepada Rasulullah ﷺ, termasuk dua orang saudari, Mariyah al-Qibtiyyah dan Sirin.
Surat-surat ini adalah bukti nyata visi global Rasulullah ﷺ. Beliau menggunakan tulisan sebagai alat diplomasi yang kuat, membawa pesan Islam jauh melampaui batas-batas Jazirah Arab. Setiap surat adalah dokumen sejarah yang tak ternilai, menunjukkan bagaimana Islam berinteraksi dengan peradaban-peradaban besar dunia sejak awal kelahirannya.
Perjanjian dan Konstitusi: Fondasi Tertulis Negara Madinah
Peran tulisan dalam membangun negara menjadi sangat nyata ketika Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah. Kota yang sebelumnya bernama Yatsrib ini dihuni oleh berbagai macam suku dan agama, termasuk suku Aus dan Khazraj (yang kemudian menjadi Anshar), serta beberapa suku Yahudi yang berpengaruh. Untuk menyatukan komunitas yang majemuk ini, diperlukan sebuah landasan hukum yang jelas dan disepakati bersama.
Lahirlah sebuah dokumen fenomenal yang dikenal sebagai Piagam Madinah (Shahifatul Madinah). Dokumen ini dianggap oleh banyak sejarawan sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia. Piagam ini bukanlah dokumen yang dipaksakan, melainkan sebuah kontrak sosial yang dirumuskan dan disetujui oleh semua komponen masyarakat Madinah.
Isi Piagam Madinah secara garis besar mengatur:
- Pembentukan satu umat (ummah) yang terdiri dari kaum Muhajirin, Anshar, dan semua yang mengikuti mereka, meskipun berasal dari latar belakang suku dan agama yang berbeda.
- Jaminan kebebasan beragama bagi komunitas Yahudi. Mereka bebas menjalankan ajaran agamanya tanpa gangguan.
- Kewajiban bersama untuk mempertahankan Madinah dari serangan musuh. Semua pihak harus ikut serta dalam pertahanan kota.
- Penyelesaian sengketa harus merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah ﷺ menjadi otoritas hukum tertinggi untuk menengahi perselisihan.
- Aturan tentang diat (denda) dan tebusan tawanan yang berlaku adil bagi semua suku.
Piagam Madinah adalah mahakarya administrasi dan hukum. Ia ditulis untuk menciptakan ketertiban, keadilan, dan keamanan bagi seluruh warga negara. Ini menunjukkan bahwa sejak awal, negara Islam yang didirikan oleh Rasulullah ﷺ dibangun di atas supremasi hukum yang terdokumentasi dengan baik.
Dokumen tertulis penting lainnya adalah Perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian ini terjadi dalam situasi yang sangat tegang antara kaum Muslimin dan kaum Quraisy Mekkah. Ali bin Abi Thalib ditunjuk sebagai juru tulis perjanjian ini. Salah satu momen paling dramatis adalah ketika perwakilan Quraisy, Suhail bin 'Amr, memprotes penulisan "Muhammad Rasulullah" dan meminta agar diganti dengan "Muhammad bin Abdullah". Meskipun para sahabat menolak keras, Rasulullah ﷺ dengan kebijaksanaannya yang luar biasa setuju untuk menghapusnya demi tercapainya kesepakatan damai. Perjanjian Hudaibiyah, yang secara lahiriah tampak merugikan kaum Muslimin, ternyata menjadi kunci kemenangan strategis yang membuka jalan bagi Fathu Makkah di kemudian hari. Seluruh detailnya, hak dan kewajiban kedua belah pihak, terdokumentasi secara tertulis, mencegah ambiguitas di masa depan.
Warisan Tulisan: Kodifikasi Al-Qur'an dan Administrasi Negara
Kebiasaan mendokumentasikan segala sesuatu yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ meninggalkan warisan yang tak ternilai. Warisan terbesar tentu saja adalah Al-Qur'an. Meskipun Al-Qur'an telah ditulis lengkap pada masa Nabi ﷺ dalam bentuk lembaran-lembaran yang terpisah, proyek penyatuannya menjadi satu mushaf (kodifikasi) terjadi setelah beliau wafat.
Pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, setelah Perang Yamamah yang menyebabkan gugurnya banyak penghafal Al-Qur'an, Umar bin Khattab merasa khawatir. Ia mengusulkan kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan semua tulisan wahyu yang tersimpan dan menyatukannya dalam satu kitab. Awalnya Abu Bakar ragu, namun akhirnya setuju. Tugas berat ini kembali dipercayakan kepada Zaid bin Tsabit.
Zaid melakukan pekerjaannya dengan metodologi yang sangat ketat. Ia tidak hanya mengandalkan hafalan para sahabat, tetapi ia mensyaratkan bahwa setiap ayat yang akan ditulis harus diverifikasi oleh setidaknya dua saksi yang mendengarnya langsung dari Rasulullah ﷺ dan didukung oleh bukti tulisan yang ada dari masa Nabi. Proses ini menghasilkan mushaf pertama yang disimpan oleh Abu Bakar, kemudian Umar, dan akhirnya Hafshah binti Umar.
Di masa Khalifah Utsman bin Affan, ketika wilayah Islam telah meluas hingga ke Persia dan Afrika Utara, muncul perbedaan dalam cara membaca Al-Qur'an (qira'at) yang berpotensi menimbulkan perpecahan. Utsman, setelah berkonsultasi dengan para sahabat senior, memutuskan untuk menstandarkan bacaan Al-Qur'an berdasarkan dialek Quraisy, dialek di mana Al-Qur'an pertama kali diturunkan. Beliau kembali membentuk tim yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit untuk menyalin ulang mushaf standar dari naskah asli yang disimpan Hafshah. Beberapa salinan dibuat dan dikirim ke pusat-pusat pemerintahan Islam seperti Kufah, Basrah, Syam, dan Mesir, sementara naskah-naskah lain yang tidak sesuai dibakar untuk mencegah perselisihan. Langkah ini, yang dikenal sebagai standardisasi Rasm Utsmani, memastikan bahwa teks Al-Qur'an yang kita baca hari ini adalah sama persis di seluruh dunia.
Semua ini tidak akan mungkin terjadi tanpa fondasi yang telah diletakkan oleh Rasulullah ﷺ. Perintah beliau untuk menuliskan wahyu, memilih para juru tulis terbaik, dan memverifikasi setiap kata adalah langkah awal yang menentukan kelestarian kitab suci Islam hingga akhir zaman. Jejak tulisan Rasulullah, dalam arti sistem yang beliau bangun, adalah jaminan otentisitas Al-Qur'an.
Dari pencatatan wahyu yang sederhana di atas pelepah kurma hingga konstitusi negara yang kompleks; dari surat diplomasi yang mengguncang singgasana para kaisar hingga perjanjian damai yang mengubah arah sejarah; tulisan menjadi urat nadi peradaban yang dibangun oleh Rasulullah ﷺ. Beliau, sang Nabi *ummi*, telah mengajarkan kepada umatnya bahwa kekuatan pena, ketika dipandu oleh wahyu dan kebijaksanaan, mampu membangun sebuah warisan yang melintasi ruang dan waktu, abadi dan tak lekang oleh zaman.