Mengungkap Makna dan Penulisan "Wasyukurillah" yang Tepat
Dalam khazanah percakapan sehari-hari umat Islam, ungkapan-ungkapan yang bernapaskan spiritualitas sering kali terdengar. Salah satu yang paling populer adalah "Alhamdulillah". Namun, ada ungkapan lain yang sering menyertainya, yaitu "Wasyukurillah" atau variasinya. Ungkapan ini, meskipun sering diucapkan, terkadang menimbulkan kebingungan terkait penulisan yang benar dan makna yang lebih dalam di baliknya. Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk ungkapan "Wasyukurillah", mulai dari cara penulisan yang tepat dalam aksara Arab dan Latin, perbedaannya dengan "Alhamdulillah", hingga makna filosofis dan dampaknya dalam kehidupan seorang hamba.
Memahami sebuah ungkapan zikir tidak hanya berhenti pada kemampuan melafalkannya, tetapi juga meresapi maknanya. Sebab, setiap huruf dan kata dalam bahasa Arab yang bersumber dari ajaran Islam memiliki kedalaman makna yang luar biasa. Dengan memahami esensinya, ucapan kita tidak lagi menjadi sebatas rutinitas lisan, melainkan getaran hati yang tulus, sebuah pengakuan total atas kebesaran Sang Pemberi Nikmat.
Penulisan yang Benar: Dari Aksara Arab ke Latin
Untuk mengetahui penulisan Latin yang paling akurat, kita harus kembali ke sumber aslinya, yaitu aksara Arab. Ungkapan ini sejatinya terdiri dari tiga komponen kata:
- Wa (وَ): Sebuah kata sambung yang berarti "dan".
- Asy-Syukru (الشُّكْرُ): Berarti "rasa syukur" atau "rasa terima kasih". Kata ini menggunakan alif lam syamsiyyah, di mana huruf 'lam' tidak dibaca, melainkan melebur ke huruf setelahnya, yaitu 'syin'.
- Lillah (لِلهِ): Gabungan dari preposisi 'li' (لِ) yang berarti "untuk" atau "milik", dan lafaz Allah (الله). Ini bermakna "bagi Allah" atau "milik Allah".
Ketika digabungkan, tulisan Arab yang paling tepat secara gramatikal adalah:
وَالشُّكْرُ لِلهِ
Jika kita perhatikan dengan saksama, transliterasi atau alih aksara yang paling mendekati kaidah dari tulisan Arab tersebut adalah "Wasy-syukru lillāh". Tanda hubung (-) dan dobel 's' digunakan untuk merepresentasikan tasydid (penekanan) pada huruf 'syin', dan 'ā' panjang untuk menunjukkan bacaan panjang pada lafaz Allah. Namun, dalam penggunaan sehari-hari yang lebih sederhana dan untuk kemudahan penulisan, beberapa variasi muncul dan dapat diterima.
Analisis Variasi Penulisan Latin
- Wasyukurillah: Ini adalah bentuk yang paling umum dan mudah ditulis. Meskipun tidak secara eksplisit menunjukkan tasydid pada huruf 'syin', bentuk ini sudah sangat dipahami maknanya oleh masyarakat luas. Ia menyederhanakan "Wasy-syukru lillah" menjadi satu kata yang ringkas.
- Wasyukrulillah: Varian ini sedikit lebih detail, dengan menambahkan huruf 'l' di tengah. Ini adalah upaya untuk merepresentasikan huruf 'lam' pada kata "Asy-Syukru" (الشُّكْرُ) sebelum ia melebur. Secara pelafalan, ini kurang tepat karena 'lam' tersebut tidak dibaca (lebur atau idgham syamsiyyah), tetapi secara tulisan, ini bisa dianggap sebagai upaya transliterasi yang lebih harfiah.
- Wa Syukurillah: Penulisan yang dipisah ini secara gramatikal juga benar. Ia secara jelas memisahkan kata sambung "Wa" (dan) dari frasa "Syukurillah" (Syukur kepada Allah). Pemisahan ini membantu menekankan fungsi "Wa" sebagai konjungsi yang menghubungkan dengan kalimat atau ungkapan sebelumnya.
Kesimpulannya, meskipun "Wasy-syukru lillāh" adalah transliterasi yang paling presisi secara akademis, penulisan "Wasyukurillah" dan "Wa Syukurillah" adalah yang paling umum dan dapat diterima dalam konteks non-akademis. Keduanya sama-sama merujuk pada makna yang sama: "Dan segala syukur hanyalah milik Allah."
Membedah Makna: Lebih dari Sekadar Terima Kasih
Seringkali kita mendengar ungkapan ini diucapkan bersandingan: "Alhamdulillah wasyukurillah". Mengapa perlu ada dua ungkapan yang seolah memiliki makna serupa? Di sinilah letak kedalaman bahasa Arab dan ajaran Islam. Ada perbedaan subtil namun sangat signifikan antara Hamd (pujian) dan Syukr (syukur).
Al-Hamd (Pujian) dalam "Alhamdulillah"
"Alhamdulillah" (الْحَمْدُ لِلهِ) berarti "Segala puji bagi Allah". Pujian (hamd) diberikan kepada sesuatu karena sifat-sifat luhur dan keagungan esensial yang dimilikinya, terlepas dari apakah kita menerima manfaat langsung darinya atau tidak. Kita memuji Allah karena Dia adalah Al-Khaliq (Maha Pencipta), Ar-Rahman (Maha Pengasih), Al-Malik (Maha Raja), bahkan jika kita tidak sedang secara spesifik merasakan nikmat tertentu. Pujian ini bersifat absolut, ditujukan kepada Dzat Allah itu sendiri. Kita memuji keindahan lukisan karena keindahannya, bukan karena lukisan itu milik kita. Begitu pula kita memuji Allah karena kesempurnaan-Nya.
Asy-Syukr (Syukur) dalam "Wasyukurillah"
"Wasyukurillah" (وَالشُّكْرُ لِلهِ) berarti "Dan segala syukur bagi Allah". Syukur (syukr) adalah respons, sebuah reaksi pengakuan yang muncul setelah menerima sebuah kebaikan, nikmat, atau anugerah. Syukur selalu terkait dengan adanya manfaat atau karunia yang diterima secara personal. Kita bersyukur karena diberi kesehatan, rezeki, keluarga, atau diselamatkan dari bahaya. Syukur adalah pengakuan bahwa nikmat yang kita terima datangnya dari Allah dan kita berterima kasih atasnya.
Oleh karena itu, kombinasi "Alhamdulillah wasyukurillah" mengandung makna yang sangat lengkap. Ia berarti: "Segala puji bagi Allah (atas segala kesempurnaan Dzat dan sifat-Nya), dan segala syukur (kupersembahkan) hanya kepada Allah (atas segala nikmat yang telah aku terima)."
Ucapan ini adalah paket pengakuan yang komprehensif. Pertama, kita mengakui keagungan absolut Allah yang tak terbatas (Alhamdulillah). Kedua, kita secara spesifik mengakui dan berterima kasih atas karunia-Nya yang tak terhingga yang kita rasakan secara pribadi (Wasyukurillah). Ini adalah bentuk adab tertinggi seorang hamba kepada Rabb-nya.
Tiga Pilar Syukur: Hati, Lisan, dan Perbuatan
Para ulama menjelaskan bahwa syukur sejati tidak hanya berhenti di lisan. Syukur yang sempurna harus mencakup tiga dimensi fundamental dalam diri seorang manusia: hati (qalb), lisan (lisan), dan anggota badan (arkan/jawarih). Mengucapkan "Wasyukurillah" adalah manifestasi dari pilar kedua, namun ia harus didasari oleh pilar pertama dan dibuktikan dengan pilar ketiga.
1. Syukur dengan Hati (Syukr bil Qalb)
Ini adalah fondasi dari segala bentuk syukur. Syukur dengan hati berarti meyakini dan mengakui dengan sepenuh jiwa bahwa setiap nikmat, sekecil apa pun itu—mulai dari hembusan napas, detak jantung, hingga rezeki yang kita nikmati—semuanya murni berasal dari Allah SWT. Tidak ada campur tangan kekuatan lain, dan bukan pula semata-mata karena usaha dan kepintaran kita. Usaha kita hanyalah wasilah (perantara), sedangkan pemberi hakikinya adalah Allah.
Syukur dengan hati juga berarti merasakan kegembiraan atas nikmat tersebut bukan karena nilai materinya, tetapi karena itu adalah tanda cinta dan perhatian dari Sang Pemberi. Hati yang bersyukur akan senantiasa merasa cukup, tenang, dan jauh dari penyakit hati seperti iri, dengki, dan keluh kesah. Ia melihat setiap kejadian, bahkan yang tampak buruk sekalipun, dengan kacamata hikmah, meyakini ada kebaikan di baliknya.
2. Syukur dengan Lisan (Syukr bil Lisan)
Ini adalah ekspresi verbal dari keyakinan di dalam hati. Mengucapkan "Alhamdulillah", "Wasyukurillah", atau menceritakan nikmat Allah (tahadduts bin ni'mah) dengan tujuan mengagungkan-Nya, bukan untuk pamer, adalah bagian dari syukur lisan. Lisan yang terbiasa bersyukur akan menjadi lisan yang terjaga dari keluhan, umpatan, dan perkataan sia-sia. Ia akan lebih banyak memuji Allah daripada mengeluhkan takdir.
Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah ridha terhadap seorang hamba yang apabila ia makan sesuatu makanan, ia memuji Allah atas makanan itu, dan apabila ia minum sesuatu minuman, ia memuji Allah atas minuman itu." (HR. Muslim). Hadis ini menunjukkan betapa sederhananya cara meraih keridhaan Allah, yaitu dengan menyertakan pujian dan syukur dalam aktivitas paling mendasar sekalipun.
3. Syukur dengan Perbuatan (Syukr bil Arkan)
Inilah puncak dan bukti nyata dari rasa syukur. Syukur dengan perbuatan berarti menggunakan nikmat yang telah Allah berikan untuk tujuan ketaatan kepada-Nya, bukan untuk kemaksiatan. Inilah esensi dari syukur yang sesungguhnya. Jika hati telah meyakini dan lisan telah mengucap, maka perbuatan harus selaras.
- Nikmat Kesehatan: Disyukuri dengan menggunakannya untuk beribadah, bekerja yang halal, menolong sesama, dan bukan untuk melakukan hal-hal yang merusak diri atau merugikan orang lain.
- Nikmat Harta: Disyukuri dengan cara menunaikan zakat, infak, sedekah, membantu fakir miskin, dan tidak menggunakannya untuk foya-foya, kesombongan, atau hal-hal yang haram.
- Nikmat Ilmu: Disyukuri dengan mengajarkannya, mengamalkannya untuk kebaikan umat, dan tidak menggunakannya untuk menipu atau menyesatkan orang lain.
- Nikmat Waktu Luang: Disyukuri dengan memanfaatkannya untuk hal-hal produktif yang mendekatkan diri kepada Allah, seperti membaca Al-Qur'an, berzikir, atau menuntut ilmu.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an yang ditujukan kepada keluarga Daud: "Bekerjalah wahai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah)." (QS. Saba': 13). Ayat ini secara eksplisit mengaitkan "bekerja" atau "beramal" sebagai bentuk dari syukur. Ini menunjukkan bahwa syukur bukanlah sikap pasif, melainkan sebuah tindakan aktif dan produktif.
Kekuatan Dahsyat di Balik Rasa Syukur
Bersyukur bukanlah sekadar kewajiban ritual, melainkan sebuah kunci untuk membuka pintu-pintu kebaikan yang lebih besar lagi. Islam menempatkan syukur pada posisi yang sangat tinggi karena dampak positifnya yang luar biasa, baik secara spiritual, psikologis, maupun sosial.
Janji Penambahan Nikmat dari Allah
Ini adalah janji paling terkenal terkait syukur, yang termaktub dengan sangat jelas dalam Al-Qur'an:
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat'." (QS. Ibrahim: 7)
Ayat ini merupakan sebuah kaidah universal. Syukur diibaratkan magnet yang menarik lebih banyak nikmat. Ketika kita fokus pada apa yang kita miliki dan berterima kasih atasnya, Allah akan membukakan pintu-pintu rezeki dan karunia dari arah yang tidak disangka-sangka. Sebaliknya, kufur nikmat (mengingkari nikmat) adalah tindakan yang mengundang murka Allah dan dapat menyebabkan nikmat itu dicabut.
Syukur sebagai Pintu Menuju Kebahagiaan Hakiki
Ilmu psikologi modern pun telah "menemukan" apa yang telah diajarkan Islam ribuan tahun lalu. Praktik bersyukur (gratitude) terbukti secara ilmiah dapat meningkatkan level kebahagiaan, mengurangi stres, depresi, dan kecemasan. Orang yang bersyukur cenderung lebih optimis, memiliki hubungan sosial yang lebih baik, dan lebih tangguh dalam menghadapi kesulitan.
Dalam perspektif Islam, kebahagiaan sejati (sa'adah) bukanlah terletak pada banyaknya harta atau tingginya jabatan, melainkan pada ketenangan hati (qana'ah) dan kedekatan dengan Allah. Syukur adalah jalan utama menuju qana'ah. Dengan bersyukur, kita belajar untuk merasa cukup dan puas dengan apa yang Allah tetapkan, sehingga hati menjadi lapang dan damai.
Mencegah Kesombongan dan Penyakit Hati
Inti dari syukur adalah pengakuan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah. Sikap ini secara otomatis akan mengikis bibit-bibit kesombongan dalam diri. Orang yang bersyukur tidak akan merasa bahwa kesuksesannya adalah murni karena hasil jerih payahnya sendiri. Ia sadar betul bahwa ada campur tangan dan izin dari Allah di setiap langkahnya. Kesadaran inilah yang membuatnya tetap rendah hati (tawadhu') di hadapan Allah dan sesama manusia.
Selain itu, syukur juga menjadi penawar bagi penyakit hati seperti iri dan dengki. Ketika hati kita sibuk menghitung dan mensyukuri nikmat yang kita miliki, kita tidak akan punya waktu dan energi untuk memandang dengan iri nikmat yang dimiliki orang lain. Kita menjadi yakin bahwa Allah Maha Adil dan telah membagi rezeki dengan takaran yang paling sempurna untuk setiap hamba-Nya.
Cara Praktis Menumbuhkan dan Merawat Rasa Syukur
Rasa syukur adalah sebuah keterampilan spiritual yang perlu dilatih dan dipupuk secara konsisten. Ia tidak datang begitu saja, terutama di tengah dunia modern yang seringkali mendorong kita untuk terus merasa kurang. Berikut adalah beberapa langkah praktis untuk menumbuhkan habitus syukur dalam kehidupan sehari-hari:
- Memulai Hari dengan Syukur: Begitu membuka mata di pagi hari, ucapkan doa bangun tidur yang intinya adalah bersyukur kepada Allah karena telah menghidupkan kita kembali setelah mematikan (tidur). Ini adalah pengingat pertama bahwa setiap hari baru adalah sebuah anugerah.
- Jurnal Syukur (Gratitude Journal): Luangkan waktu beberapa menit setiap hari, misalnya sebelum tidur, untuk menuliskan 3-5 hal yang Anda syukuri pada hari itu. Tidak harus hal-hal besar. Bisa jadi sesederhana "makanan yang lezat", "percakapan hangat dengan teman", atau "cuaca yang cerah". Praktik ini melatih otak kita untuk fokus pada hal-hal positif.
- Latihan Tafakkur (Kontemplasi): Renungkan nikmat-nikmat yang sering kita anggap remeh. Renungkan bagaimana jantung berdetak tanpa kita perintah, paru-paru bernapas tanpa kita sadari, atau bagaimana sistem pencernaan bekerja dengan sempurna. Memikirkan kompleksitas tubuh kita saja sudah cukup untuk membuat kita bersujud syukur.
- Melihat kepada yang di Bawah: Dalam urusan duniawi, Rasulullah SAW menasihati kita untuk melihat kepada orang yang kondisinya di bawah kita, bukan yang di atas kita. "Lihatlah orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, karena hal itu lebih pantas untuk tidak meremehkan nikmat Allah yang telah dianugerahkan kepadamu." (HR. Bukhari & Muslim). Ini adalah cara efektif untuk merasa cukup dan bersyukur.
- Melakukan Sujud Syukur: Ketika mendapatkan sebuah nikmat besar yang tak terduga, seperti lulus ujian, mendapat pekerjaan, atau sembuh dari sakit parah, disunnahkan untuk melakukan sujud syukur. Ini adalah bentuk ekspresi syukur fisik yang paling dalam, di mana kita meletakkan bagian tubuh termulia (wajah) di tempat terendah (tanah) sebagai bentuk pengakuan total atas keagungan Allah.
- Menjadikan Syukur sebagai Tindakan: Transformasikan rasa syukur menjadi aksi nyata. Jika bersyukur atas rezeki, bersedekahlah. Jika bersyukur atas ilmu, ajarkanlah. Jika bersyukur atas kesehatan, bantulah mereka yang sakit. Tindakan ini tidak hanya bermanfaat bagi orang lain, tetapi juga menguatkan ikatan syukur kita kepada Allah.
Kesimpulan: Wasyukurillah Sebagai Gaya Hidup
Ungkapan "Wasyukurillah" lebih dari sekadar frasa pelengkap "Alhamdulillah". Ia adalah sebuah deklarasi sadar bahwa setelah mengakui segala kesempurnaan pujian hanya milik Allah, kita juga mempersembahkan segenap rasa terima kasih kita atas setiap karunia-Nya. Penulisan yang paling umum dan dapat diterima adalah "Wasyukurillah" atau "Wa Syukurillah", yang berasal dari aksara Arab "وَالشُّكْرُ لِلهِ".
Memahami dan mengamalkan esensi syukur—melalui hati, lisan, dan perbuatan—adalah kunci untuk membuka gerbang kebahagiaan, ketenangan, dan keberkahan hidup. Ia adalah gaya hidup yang mengubah perspektif kita dari melihat kekurangan menjadi menghargai keberlimpahan, dari mengeluh menjadi memuji, dan dari kesombongan menjadi kerendahan hati.
Pada akhirnya, dengan menjadikan "Alhamdulillah wasyukurillah" sebagai zikir harian yang meresap dalam jiwa, kita tidak hanya sedang menjalankan perintah agama, tetapi juga sedang merawat taman hati kita agar senantiasa subur dengan rasa cukup, damai, dan selalu terhubung dengan Sumber Segala Nikmat. Dan janji-Nya pasti, barang siapa bersyukur, nikmatnya akan terus ditambah.