Ilustrasi simbolis kehidupan keilmuan dan spiritualitas
Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, yang lebih dikenal dengan julukan Imam Zainal Abidin (Perhiasan Para Penyembah) atau As-Sajjad (Yang Selalu Bersujud), adalah seorang tokoh sentral dalam sejarah Islam, khususnya bagi kaum Syiah, dan dihormati secara luas oleh Sunni sebagai salah satu tabi'in besar. Beliau adalah cucu dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra, putri kesayangan Rasulullah Muhammad SAW. Ibu beliau adalah Syaharbanu, putri dari Raja Persia terakhir Yazdegerd III, yang memberikan beliau garis keturunan yang unik dari dinasti Persia dan Arab.
Lahir pada masa-masa penuh gejolak politik dan perpecahan pasca wafatnya kakek buyutnya, Rasulullah, kehidupan Imam Ali bin Husain sebagian besar dihabiskan dalam periode transisi kepemimpinan Islam. Beliau menyaksikan langsung peristiwa Karbala, sebuah tragedi yang membentuk jalan hidup dan kepribadiannya secara mendalam. Meskipun selamat dari pembantaian di Karbala karena sakit, dampak mental dan spiritual peristiwa tersebut membuatnya menjadi sosok yang sangat intens dalam ibadah dan doa.
Gelar Zainal Abidin diberikan karena dedikasinya yang luar biasa dalam beribadah, menjadi teladan bagi umat dalam ketakwaan dan khushu' (kekhusyukan) saat menghadap Allah SWT. Setiap kali beliau berwudhu untuk shalat, wajahnya berubah pucat seolah-olah akan menghadapi kematian. Sementara gelar As-Sajjad merujuk pada banyaknya sujud yang beliau lakukan dalam shalatnya, yang menandakan kerendahan hati dan penyerahan diri total kepada Sang Pencipta.
Meskipun seringkali terpisah dari hiruk pikuk politik kekuasaan, perannya dalam melestarikan ajaran Islam yang murni melalui pendidikan spiritual dan keilmuan tidak ternilai harganya. Beliau fokus pada pendidikan moral dan etika, mengajarkan pentingnya kesabaran, pengorbanan, dan integritas spiritual di tengah intrik duniawi.
Warisan terbesar yang ditinggalkan oleh Ali bin Husain adalah kitab doa yang dikenal sebagai Ash-Shahifah As-Sajjadiyyah (Kitab Suci Doa-doa). Kitab ini merupakan kompendium doa-doa yang sangat mendalam, memuat refleksi teologis, etika sosial, permohonan ampunan, dan syukur kepada Allah SWT. Doa-doa dalam Sahifah ini melampaui sekadar permohonan duniawi; mereka adalah pelajaran filsafat moral yang komprehensif.
Melalui Sahifah As-Sajjadiyyah, beliau menunjukkan bagaimana seorang Muslim seharusnya berhubungan dengan Tuhannya—dengan penuh rasa cinta, kerendahan hati, dan kesadaran akan kekuasaan mutlak Allah. Kitab ini diakui oleh berbagai mazhab sebagai salah satu teks spiritual paling penting setelah Al-Qur'an dan Hadis sahih. Isinya mencakup pembahasan tentang hak-hak sosial, seperti hak atas tetangga, hak fakir miskin, dan hak-hak orang tua, menjadikannya panduan praktis dalam kehidupan bermasyarakat Islami.
Sebagai salah satu figur penting dari Ahlul Bait, Ali bin Husain memainkan peran krusial dalam menjaga kesinambungan ilmu kenabian pasca generasi sahabat. Beliau menjadi mata rantai penting dalam transmisi pengetahuan Islam yang otentik. Murid-muridnya datang dari berbagai latar belakang, yang kemudian menyebarkan pemahaman Islam yang menekankan pada kesalehan batin dan keadilan sosial. Kehidupannya adalah contoh nyata bagaimana seorang pemimpin spiritual dapat memberikan pengaruh besar tanpa perlu memegang tampuk kekuasaan formal. Ia memilih jalan ketenangan dan refleksi, memastikan bahwa nilai-nilai inti Islam tidak tercemar oleh ambisi duniawi. Kepergiannya meninggalkan kekosongan besar, namun warisannya terus menginspirasi jutaan umat Islam dalam perjalanan spiritual mereka.