Memahami Makna Iman kepada Allah SWT
Dalam lautan kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian, manusia senantiasa mencari sauh untuk menambatkan hatinya, sebuah pegangan kokoh yang mampu memberikan ketenangan dan arah. Bagi seorang Muslim, sauh itu adalah iman. Dan pondasi dari seluruh bangunan iman adalah keyakinan yang paling asasi: Iman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kalimat ini mungkin terdengar sederhana dan sering diulang, namun di baliknya terkandung samudra makna yang sangat dalam, yang tidak hanya membentuk cara pandang seseorang terhadap dunia, tetapi juga mendefinisikan seluruh eksistensinya.
Iman kepada Allah bukanlah sekadar pengakuan intelektual bahwa Tuhan itu ada. Ia jauh melampaui itu. Ia adalah sebuah ikatan spiritual yang hidup, sebuah kepercayaan yang mengakar di lubuk hati, terucap oleh lisan sebagai deklarasi agung, dan termanifestasi dalam setiap gerak-gerik dan perbuatan. Ia adalah cahaya yang menerangi kegelapan, kompas yang menuntun di persimpangan jalan, dan sumber kekuatan tak terbatas saat diri merasa lemah. Memahami arti iman kepada Allah secara komprehensif adalah langkah pertama dan paling krusial dalam perjalanan spiritual setiap hamba. Artikel ini akan mengupas secara mendalam apa sesungguhnya makna di balik pilar keyakinan yang paling fundamental ini.
Definisi Mendalam tentang Iman
Untuk menyelami makna iman kepada Allah, kita perlu terlebih dahulu memahami kata "iman" itu sendiri dari dua perspektif utama: bahasa (etimologi) dan istilah (terminologi syar'i). Kedua pendekatan ini saling melengkapi untuk memberikan gambaran utuh tentang konsep yang menjadi fondasi agama ini.
Iman secara Bahasa (Etimologi)
Kata "iman" (إِيمَان) berasal dari akar kata dalam bahasa Arab, yaitu a-ma-na (أَمِنَ), yang memiliki beberapa makna inti yang saling berkaitan. Makna pertama adalah "percaya" atau "membenarkan" (at-tashdiq). Ini adalah aspek kognitif dari iman, yaitu menerima sebuah informasi sebagai kebenaran yang tidak diragukan. Ketika seseorang beriman, ia membenarkan dengan sepenuh hati berita yang datang dari Allah dan Rasul-Nya.
Makna kedua yang terkandung dalam akar kata ini adalah "rasa aman" atau "ketenangan" (al-amn). Ini adalah dimensi psikologis dan spiritual dari iman. Seseorang yang beriman kepada Allah akan merasakan ketenangan jiwa dan keamanan, karena ia menyandarkan hidupnya pada Dzat Yang Maha Kuasa, Maha Bijaksana, dan Maha Pengasih. Ia tidak lagi merasa cemas berlebihan terhadap urusan dunia, karena ia yakin bahwa segala sesuatu berada dalam genggaman dan pengaturan Allah. Iman memberikan perlindungan dari rasa takut terhadap makhluk, kemiskinan, masa depan, dan kematian, karena hatinya telah merasa aman bersama Allah.
Dari sini, kita dapat melihat bahwa secara bahasa saja, iman sudah menyiratkan sebuah hubungan yang melahirkan kepercayaan total dan menghasilkan ketentraman batin. Ia bukan sekadar "tahu", melainkan "percaya hingga merasa aman".
Iman secara Istilah (Terminologi Syar'i)
Menurut para ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah, definisi iman yang paling lengkap dan diterima secara luas adalah:
"Keyakinan dalam hati (tashdiq bil qalbi), diikrarkan dengan lisan (iqrar bil lisan), dan diamalkan dengan anggota badan ('amal bil arkan). Iman itu bisa bertambah dengan ketaatan dan bisa berkurang dengan kemaksiatan."
Definisi ini mengandung tiga komponen tak terpisahkan yang harus ada secara bersamaan. Hilangnya salah satu dari komponen ini dapat merusak atau bahkan membatalkan keimanan seseorang. Mari kita bedah satu per satu:
1. Tashdiq bil Qalbi (Pembenaran dan Keyakinan dalam Hati)
Ini adalah ruh dan pondasi dari iman. Hati adalah tempat bersemayamnya keyakinan. Iman harus berawal dari sebuah pembenaran yang tulus dan kokoh di dalam hati, tanpa ada sedikit pun keraguan. Ini bukan sekadar pengetahuan. Iblis, misalnya, mengetahui bahwa Allah ada dan merupakan Tuhannya, namun ia tidak memiliki keyakinan dan ketundukan di hatinya. Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW, mengetahui kebenaran risalah keponakannya, namun ia tidak membenarkannya di dalam hati hingga akhir hayatnya.
Keyakinan hati ini mencakup penerimaan total terhadap semua yang datang dari Allah, baik itu perintah, larangan, maupun berita-berita gaib seperti adanya surga, neraka, malaikat, dan hari kiamat. Hati yang beriman adalah hati yang tunduk, pasrah, dan menerima dengan lapang dada seluruh ketetapan syariat-Nya.
2. Iqrar bil Lisan (Pengucapan dengan Lisan)
Keyakinan yang terpendam di dalam hati harus dideklarasikan secara lisan. Ini adalah bukti lahiriah dari apa yang ada di dalam batin. Deklarasi utama dan pertama bagi seorang Muslim adalah mengucapkan dua kalimat syahadat: "Asyhadu an laa ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah" (Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah).
Pengucapan ini adalah gerbang untuk memasuki Islam. Ia merupakan sebuah kontrak dan janji setia seorang hamba kepada Tuhannya di hadapan dunia. Tanpa pengucapan ini (bagi yang mampu), keyakinan di dalam hati saja tidak cukup untuk membuatnya dihukumi sebagai seorang Muslim di dunia. Lisan adalah penerjemah isi hati.
3. 'Amal bil Arkan (Pengamalan dengan Perbuatan)
Iman bukanlah konsep pasif yang hanya berhenti di hati dan lisan. Ia adalah energi yang dinamis, yang mendorong pemiliknya untuk berbuat. Keyakinan sejati harus termanifestasi dalam tindakan nyata. Inilah yang membedakan antara iman yang hidup dan iman yang mati. Seluruh anggota badan—tangan, kaki, mata, telinga—bergerak sesuai dengan tuntutan iman tersebut.
Amal perbuatan ini mencakup segala bentuk ketaatan, baik yang wajib maupun yang sunnah. Menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, menunaikan haji, berbakti kepada orang tua, berkata jujur, menolong sesama, dan meninggalkan segala larangan Allah adalah bukti nyata dari keimanan. Para ulama menegaskan bahwa amal adalah bagian tak terpisahkan dari iman. Keduanya ibarat dua sisi mata uang. Iman tanpa amal adalah klaim kosong, sementara amal tanpa iman adalah perbuatan sia-sia.
Dengan demikian, iman kepada Allah adalah sebuah paket lengkap yang menyatukan dimensi batin, ucapan, dan perbuatan menjadi satu kesatuan yang harmonis dan koheren.
Rukun Iman kepada Allah: Empat Pilar Utama Keyakinan
Setelah memahami definisi iman secara umum, mari kita fokus pada objek utamanya, yaitu Allah SWT. Beriman kepada Allah bukanlah sekadar percaya akan keberadaan-Nya. Para penyembah berhala di zaman jahiliyah pun percaya bahwa Allah adalah pencipta langit dan bumi. Namun, kepercayaan mereka tidak benar dan tidak diterima. Iman kepada Allah yang benar dan lurus, sebagaimana yang diajarkan oleh para nabi dan rasul, harus mencakup empat pilar atau rukun utama. Keempat pilar ini sering disebut sebagai pilar-pilar Tauhid.
1. Iman kepada Wujud (Keberadaan) Allah
Pilar pertama dan paling dasar adalah meyakini tanpa keraguan sedikit pun bahwa Allah itu ada (wujud). Keyakinan ini bukanlah keyakinan buta, melainkan keyakinan yang didukung oleh berbagai dalil yang sangat kuat, yang dapat diterima oleh akal sehat, fitrah manusia, dan diperkuat oleh wahyu.
- Dalil Fitrah: Setiap manusia dilahirkan dengan fitrah atau insting bawaan untuk mengakui adanya Sang Pencipta. Jauh di dalam lubuk sanubari setiap orang, ada suara yang mengakui keberadaan kekuatan yang lebih tinggi. Ketika seseorang ditimpa musibah besar dan semua pertolongan duniawi lenyap, secara naluriah ia akan menengadahkan tangan ke langit, mencari pertolongan dari Dzat Yang Maha Kuasa. Inilah bukti fitrah yang Allah tanamkan dalam setiap jiwa.
- Dalil 'Aqli (Logika Akal): Akal yang sehat akan sampai pada kesimpulan bahwa alam semesta yang begitu teratur, kompleks, dan maha luas ini tidak mungkin ada dengan sendirinya. Mustahil keteraturan yang presisi ini muncul dari sebuah kebetulan. Sebagaimana sebuah jam tangan yang rumit pasti memiliki pembuatnya, maka alam semesta yang jauh lebih rumit pasti memiliki Penciptanya. Ini dikenal sebagai argumen dari desain (argument from design) dan argumen kausalitas (setiap akibat pasti ada sebabnya). Alam semesta adalah akibat, dan sebab pertamanya adalah Allah.
- Dalil Naqli (Wahyu): Kitab-kitab suci yang diturunkan Allah, terutama Al-Qur'an, dengan sangat jelas dan tegas memberitakan tentang wujud Allah, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya. Bagi seorang mukmin, Al-Qur'an adalah dalil yang paling meyakinkan karena ia adalah firman dari Dzat yang sedang dibicarakan.
- Dalil Hissi (Indrawi): Bukti-bukti yang dapat dirasakan, seperti terkabulnya doa, pertolongan Allah di saat-saat genting, dan mukjizat para nabi adalah bukti nyata campur tangan Dzat Yang Maha Kuasa dalam kehidupan. Pengalaman-pengalaman spiritual ini memperkuat keyakinan akan keberadaan-Nya.
2. Iman kepada Rububiyah Allah
Setelah meyakini wujud-Nya, pilar kedua adalah mengimani Rububiyah Allah. Rububiyah berasal dari kata Rabb (Tuhan, Pemelihara). Iman kepada Rububiyah Allah berarti meyakini seyakin-yakinnya bahwa hanya Allah satu-satunya yang memiliki tiga otoritas absolut: menciptakan, memiliki, dan mengatur alam semesta.
a. Allah sebagai Satu-Satunya Pencipta (Al-Khaliq)
Seorang mukmin harus yakin bahwa tidak ada pencipta selain Allah. Dia-lah yang menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan. Langit, bumi, matahari, bulan, bintang, manusia, hewan, tumbuhan, malaikat, jin, dan seluruh makhluk yang kita ketahui maupun yang tidak kita ketahui, semuanya adalah ciptaan-Nya. Manusia mungkin bisa merakit, memodifikasi, atau mengubah bentuk materi yang sudah ada, tetapi mereka tidak akan pernah bisa menciptakan sesuatu dari nol. Hanya Allah yang memiliki kuasa tersebut.
b. Allah sebagai Satu-Satunya Pemilik (Al-Malik)
Keyakinan ini menuntut kita untuk sadar bahwa segala sesuatu di alam semesta adalah milik mutlak Allah. Kepemilikan manusia hanyalah bersifat sementara, pinjaman, dan terbatas. Harta yang kita miliki, tubuh yang kita diami, keluarga yang kita cintai, bahkan nyawa kita sendiri, pada hakikatnya adalah milik Allah. Kesadaran ini akan melahirkan sikap rendah hati, tidak sombong dengan apa yang dimiliki, dan mudah untuk bersedekah karena menyadari bahwa harta itu hanya titipan dari Sang Pemilik Sejati.
c. Allah sebagai Satu-Satunya Pengatur (Al-Mudabbir)
Inilah aspek yang sering dilupakan. Mengimani Rububiyah berarti yakin bahwa hanya Allah yang mengurus, memelihara, dan mengatur seluruh urusan di alam semesta. Dia yang mengatur peredaran matahari dan bulan, menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman, memberi rezeki kepada setiap makhluk, mengatur kelahiran dan kematian, serta mengendalikan setiap detil kejadian di alam raya. Tidak ada satu daun pun yang jatuh kecuali atas izin dan sepengetahuan-Nya. Keyakinan ini menanamkan rasa tawakal (berserah diri) yang mendalam. Apa pun yang terjadi, baik atau buruk menurut pandangan kita, semuanya berada dalam skenario dan pengaturan-Nya yang Maha Bijaksana.
3. Iman kepada Uluhiyah Allah
Ini adalah inti dari ajaran para nabi, esensi dari kalimat Laa ilaha illallah, dan tujuan utama penciptaan manusia dan jin. Iman kepada Uluhiyah Allah berarti meyakini dan mempraktikkan bahwa hanya Allah satu-satunya Dzat yang berhak untuk diibadahi. Pilar inilah yang membedakan seorang Muslim dengan non-Muslim.
Jika Rububiyah adalah pengakuan atas perbuatan Allah (mencipta, memiliki, mengatur), maka Uluhiyah adalah konsekuensi logisnya: perbuatan hamba yang ditujukan hanya kepada Allah. Karena hanya Dia yang menciptakan, memiliki, dan mengatur, maka hanya Dia pula yang layak disembah, ditaati, dan dicintai secara mutlak.
Ibadah ('ibadah) memiliki makna yang sangat luas. Ia bukan hanya ritual seperti shalat dan puasa. Ibadah adalah:
"Sebuah nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tampak (lahir) maupun yang tersembunyi (batin)."
Berdasarkan definisi ini, maka ibadah mencakup:
- Ibadah Hati: Seperti cinta (mahabbah), takut (khauf), harapan (raja'), tawakal, ikhlas, dan syukur. Menyerahkan salah satu dari ibadah hati ini kepada selain Allah adalah kesyirikan.
- Ibadah Lisan: Seperti dzikir, membaca Al-Qur'an, berdoa (du'a), dan mengucapkan kalimat-kalimat yang baik.
- Ibadah Badan: Seperti shalat, puasa, haji, jihad, dan berbakti kepada orang tua.
Mengimani Uluhiyah Allah berarti mendedikasikan semua bentuk ibadah ini hanya untuk Allah semata. Berdoa kepada selain Allah, bernadzar untuk selain Allah, menyembelih kurban untuk selain Allah, atau mencari perlindungan kepada jin dan arwah adalah bentuk-bentuk penyekutuan (syirik) yang membatalkan pilar tauhid ini.
4. Iman kepada Asma' wa Sifat (Nama-nama dan Sifat-sifat) Allah
Pilar terakhir adalah mengimani nama-nama yang indah (Al-Asma'ul Husna) dan sifat-sifat yang mulia lagi sempurna yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya di dalam Al-Qur'an dan melalui lisan Rasul-Nya dalam As-Sunnah. Keimanan pada aspek ini harus didasarkan pada metodologi yang benar, yaitu:
Menetapkan apa yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan, dan menafikan apa yang Allah dan Rasul-Nya nafikan, tanpa melakukan empat hal terlarang:
- Tahrif (Distorsi): Mengubah makna nama atau sifat dari makna lahiriahnya yang benar.
- Ta'thil (Penolakan): Menolak atau mengingkari sebagian atau seluruh nama dan sifat Allah.
- Takyif (Membagaimanakan): Bertanya atau membayangkan "bagaimana" bentuk atau rupa dari sifat Allah. Akal manusia terbatas dan tidak akan pernah mampu menjangkau hakikat Dzat Allah.
- Tamtsil (Menyerupakan): Menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Allah berfirman, "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. Asy-Syura: 11). Kita menetapkan sifat Mendengar bagi Allah, namun pendengaran Allah tidak sama dengan pendengaran makhluk.
Mengimani Asma' wa Sifat bukan sekadar menghafal 99 nama. Lebih dari itu, ia adalah upaya untuk mengenal Allah melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Ketika kita memahami bahwa Allah adalah Ar-Rahman (Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang), hati kita akan dipenuhi harapan akan rahmat-Nya. Ketika kita tahu Dia adalah As-Sami' (Maha Mendengar) dan Al-Bashir (Maha Melihat), kita akan menjaga lisan dan perbuatan kita. Ketika kita meyakini Dia adalah Al-'Alim (Maha Mengetahui), kita sadar bahwa tidak ada yang tersembunyi dari-Nya. Mengenal Asma' wa Sifat akan melahirkan rasa cinta, takut, dan pengagungan yang mendalam kepada Allah SWT.
Buah dan Manfaat Iman kepada Allah
Keimanan yang benar dan mengakar kuat dalam jiwa seorang hamba bukanlah sekadar dogma teologis yang kaku. Ia adalah kekuatan transformatif yang akan menghasilkan buah-buah manis dalam kehidupan di dunia dan kebahagiaan abadi di akhirat. Berikut adalah beberapa manfaat dan buah dari iman kepada Allah:
1. Ketenangan Jiwa dan Kebahagiaan Hakiki
Inilah buah iman yang paling dicari oleh setiap manusia. Hati yang terhubung dengan Allah, Sang Sumber Kedamaian (As-Salam), akan merasakan ketenangan (sakinah) yang tidak bisa dibeli dengan harta. Di tengah badai kehidupan, tekanan pekerjaan, dan masalah keluarga, seorang mukmin memiliki tempat untuk bersandar. Ia tahu bahwa segala urusannya berada di tangan Dzat Yang Maha Pengasih. Allah berfirman, "(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram." (QS. Ar-Ra'd: 28).
2. Memberikan Tujuan Hidup yang Jelas dan Bermakna
Iman kepada Allah menjawab pertanyaan paling fundamental dalam hidup: "Untuk apa aku ada di sini?" Dengan iman, seorang Muslim memahami bahwa ia diciptakan bukan untuk tujuan yang sia-sia, melainkan untuk sebuah misi agung, yaitu beribadah kepada Allah (QS. Adz-Dzariyat: 56). Pemahaman ini memberikan arah dan makna pada setiap detik kehidupan. Bekerja menjadi ibadah, belajar menjadi ibadah, bahkan tidur pun bisa menjadi ibadah jika diniatkan untuk mengumpulkan energi demi ketaatan kepada-Nya.
3. Sumber Kekuatan dalam Menghadapi Ujian dan Musibah
Hidup tidak pernah lepas dari ujian. Sakit, kehilangan, kegagalan, dan fitnah adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan di dunia. Iman kepada Allah, khususnya kepada takdir-Nya (qadar), menjadi perisai dan sumber kekuatan yang luar biasa. Seorang mukmin yakin bahwa setiap musibah yang menimpanya terjadi atas izin Allah dan mengandung hikmah di baliknya. Jika ia bersabar, musibah itu akan menjadi penggugur dosa dan pengangkat derajatnya. Keyakinan ini mencegahnya dari putus asa, depresi, dan menyalahkan takdir.
4. Membebaskan Diri dari Perbudakan Makhluk
Tauhid Uluhiyah, yaitu mengesakan Allah dalam peribadahan, secara otomatis akan membebaskan manusia dari segala bentuk perbudakan kepada selain Allah. Orang yang beriman sejati tidak akan diperbudak oleh harta, jabatan, hawa nafsu, tren, maupun opini manusia. Standar hidupnya adalah ridha Allah, bukan pujian atau celaan makhluk. Kebebasan sejati adalah ketika hati hanya bergantung dan takut kepada Sang Pencipta, bukan kepada ciptaan-Nya.
5. Mendorong Terbentuknya Akhlak Mulia
Iman kepada Allah dan Asma' wa Sifat-Nya secara langsung membentuk karakter dan akhlak seseorang. Meyakini Allah Maha Melihat akan mencegahnya dari berbuat maksiat di kala sepi. Meyakini Allah Maha Adil akan menahannya dari berbuat zalim. Meyakini Allah Maha Pengampun akan membuatnya mudah memaafkan kesalahan orang lain. Meyakini Allah Maha Pemurah akan mendorongnya untuk gemar bersedekah. Iman adalah akar, dan akhlak mulia adalah buahnya yang ranum.
6. Menumbuhkan Rasa Optimisme dan Harapan
Seorang mukmin tidak pernah mengenal kata putus asa. Ia selalu berada di antara dua sayap: takut (khauf) akan azab Allah yang membuatnya waspada dari dosa, dan harapan (raja') akan rahmat Allah yang membuatnya selalu optimis. Sebesar apa pun dosa yang pernah ia lakukan, pintu taubat selalu terbuka lebar karena ia mengenal Tuhannya Yang Ghafur (Maha Pengampun) dan Tawwab (Maha Penerima Taubat).
7. Meraih Keamanan dan Petunjuk di Dunia dan Akhirat
Allah menjanjikan keamanan dan petunjuk bagi orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman (syirik). Allah berfirman, "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. Al-An'am: 82). Keamanan ini mencakup keamanan di dunia dari kesesatan dan keamanan di akhirat dari azab neraka.
Hal-hal yang Merusak dan Melemahkan Iman
Sebagaimana iman dapat bertambah dengan ketaatan, ia juga dapat berkurang, bahkan hilang sama sekali, karena berbagai sebab. Mengetahui penyakit-penyakit iman ini sangat penting agar kita dapat senantiasa waspada dan menjauhinya.
1. Syirik (Menyekutukan Allah)
Ini adalah dosa terbesar dan pembatal keimanan yang paling utama. Syirik adalah lawan dari tauhid. Ia terbagi menjadi dua:
- Syirik Akbar (Besar): Mengeluarkan pelakunya dari Islam dan mengekalkan di neraka jika tidak bertaubat. Contohnya adalah menyembah berhala, berdoa kepada orang mati, meyakini ada pencipta atau pengatur alam selain Allah.
- Syirik Asghar (Kecil): Tidak mengeluarkan dari Islam tetapi mengurangi kesempurnaan tauhid dan merupakan dosa besar. Contohnya adalah riya' (beribadah karena ingin dilihat manusia), bersumpah dengan nama selain Allah, dan menganggap sesuatu sebagai pembawa sial.
2. Kufur (Pengingkaran)
Kufur adalah mengingkari atau menolak ajaran pokok dalam agama. Seperti syirik besar, kufur juga mengeluarkan pelakunya dari Islam. Contohnya adalah mengingkari keberadaan Allah, mengingkari kenabian Muhammad SAW, mengingkari adanya hari kiamat, atau menghalalkan apa yang jelas-jelas diharamkan Allah.
3. Nifaq (Kemunafikan)
Nifaq adalah menampakkan keislaman secara lahiriah namun menyembunyikan kekufuran di dalam hati. Ini adalah penyakit yang sangat berbahaya dan pelakunya diancam dengan tempat terendah di neraka.
4. Maksiat dan Dosa
Setiap perbuatan maksiat, baik dosa besar maupun dosa kecil yang dilakukan terus-menerus, akan meninggalkan noda hitam di hati. Jika tidak segera dihapus dengan taubat dan istighfar, noda-noda ini akan menumpuk hingga menutupi cahaya iman dan mengeraskan hati. Hati yang keras akan sulit menerima nasihat dan merasakan lezatnya ibadah. Inilah mengapa iman dikatakan bisa berkurang karena kemaksiatan.
5. Keraguan (Syak) dan Kebodohan (Jahl)
Iman dibangun di atas keyakinan. Keraguan adalah musuh utama keyakinan. Oleh karena itu, seorang Muslim wajib untuk terus belajar dan menuntut ilmu agama agar dapat menghilangkan keraguan dan kebodohan yang dapat menggerogoti imannya. Bertanya kepada ulama dan membaca sumber-sumber yang terpercaya adalah cara untuk membentengi iman dari penyakit ini.
6. Berlebihan dalam Mencintai Dunia
Ketika hati terlalu terikat pada dunia—harta, tahta, dan popularitas—maka kecintaan kepada Allah dan akhirat akan terkikis. Dunia yang seharusnya menjadi sarana untuk meraih akhirat, justru menjadi tujuan itu sendiri. Hal ini akan melalaikan seseorang dari mengingat Allah dan mempersiapkan bekal untuk kehidupan setelah mati.
Kesimpulan: Iman sebagai Fondasi Kehidupan
Dari pemaparan yang panjang ini, menjadi sangat jelas bahwa "iman kepada Allah artinya" jauh lebih luas dan mendalam daripada sekadar sebuah pengakuan. Ia adalah sebuah sistem keyakinan yang utuh, sebuah deklarasi agung, dan sebuah program aksi seumur hidup. Ia adalah keyakinan akan wujud-Nya yang didukung oleh fitrah dan akal; pengakuan atas otoritas-Nya sebagai satu-satunya Pencipta, Pemilik, dan Pengatur (Rububiyah); penyerahan total dalam peribadahan hanya kepada-Nya (Uluhiyah); serta upaya mengenal-Nya melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang sempurna (Asma' wa Sifat).
Iman ini, ketika dipahami dan dihayati dengan benar, akan menjadi sumber mata air bagi segala kebaikan. Ia menumbuhkan ketenangan di tengah gejolak, memberikan arah di tengah kebingungan, dan menyalakan harapan di tengah kegelapan. Ia membebaskan, memberdayakan, dan memuliakan manusia. Iman kepada Allah adalah fondasi di mana seluruh pilar-pilar agama lainnya ditegakkan. Tanpanya, seluruh bangunan akan runtuh. Oleh karena itu, menjaga, merawat, dan terus-menerus memperbarui iman kita melalui ilmu dan amal adalah tugas terpenting dan perjalanan terindah dalam kehidupan seorang hamba.