Istri Nabi Luth: Cermin Pengkhianatan di Rumah Kenabian
Dalam bentangan sejarah kemanusiaan yang tercatat dalam kitab-kitab suci, terdapat banyak figur yang menjadi simbol pelajaran abadi. Ada yang menjadi teladan kebaikan, kesabaran, dan keteguhan iman. Namun, ada pula yang menjadi monumen peringatan, representasi dari kegagalan, pembangkangan, dan pengkhianatan. Salah satu figur yang paling tragis dan ikonik dalam kategori kedua ini adalah istri Nabi Luth AS. Namanya tidak pernah disebutkan secara eksplisit, seolah untuk menekankan bahwa esensi kisahnya bukan pada identitas personalnya, melainkan pada perannya sebagai sebuah arketipe: simbol pengkhianatan yang lahir dari dalam rumah seorang nabi.
Kisah ini bukan sekadar catatan tentang seorang wanita yang durhaka. Ia adalah sebuah narasi kompleks tentang identitas, loyalitas, dan pengaruh lingkungan. Ia hidup di bawah atap yang sama dengan seorang utusan Tuhan, mendengar firman-firman suci, dan menyaksikan secara langsung perjuangan suaminya menegakkan kebenaran. Namun, hatinya tidak pernah benar-benar beriman. Jiwanya terikat erat pada kaumnya yang bejat, pada tradisi dan gaya hidup yang telah mendarah daging dalam masyarakat Sodom. Kisahnya menjadi bukti nyata bahwa kedekatan fisik dengan sumber kebenaran tidak menjamin seseorang akan mendapat hidayah. Iman adalah pilihan personal yang harus diperjuangkan, bukan warisan yang bisa didapat hanya karena status atau hubungan keluarga.
Konteks Kenabian Luth di Negeri Sodom
Untuk memahami tragedi istri Nabi Luth, kita harus terlebih dahulu menyelami konteks masyarakat tempat ia hidup. Nabi Luth AS adalah keponakan dari Nabi Ibrahim AS, "Bapak Para Nabi". Setelah beriman kepada dakwah pamannya, Luth diutus oleh Allah SWT untuk berdakwah kepada penduduk Sodom dan Gomora, kota-kota yang terletak di dekat Laut Mati. Misi yang diembannya sangat berat, karena masyarakat Sodom telah tenggelam dalam kerusakan moral yang belum pernah terjadi sebelumnya di muka bumi.
Al-Qur'an melukiskan kebejatan kaum Sodom dengan sangat jelas. Kejahatan utama mereka yang paling terkenal adalah homoseksualitas yang dilakukan secara terang-terangan dan tanpa rasa malu. Ini bukan sekadar penyimpangan individu, melainkan telah menjadi norma sosial yang diterima dan dipraktikkan secara kolektif. Mereka menolak fitrah penciptaan laki-laki dan perempuan sebagai pasangan. Allah berfirman:
"Dan (ingatlah) ketika Luth berkata kepada kaumnya: 'Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah (keji) itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu?' Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas." (QS. Al-A'raf: 80-81)
Namun, dosa mereka tidak berhenti di situ. Kebejatan moral mereka merasuk ke segala aspek kehidupan. Mereka adalah para perampok di jalanan (qath'ut thariq), mengganggu para musafir, dan merampas harta mereka. Majelis-majelis dan tempat pertemuan mereka dipenuhi dengan kemungkaran yang dilakukan secara terbuka, seperti senda gurau cabul, mengejek orang yang lewat, dan berbagai tindakan tak senonoh lainnya. Mereka telah kehilangan rasa malu dan kepekaan terhadap norma kesusilaan. Masyarakat Sodom adalah sebuah ekosistem kejahatan yang sempurna, di mana kebaikan dianggap aneh dan keburukan dirayakan.
Di tengah masyarakat inilah Nabi Luth AS harus berdakwah. Ia menyeru mereka untuk kembali kepada Allah, meninggalkan perbuatan keji, dan menyembah Tuhan yang Esa. Ia mengingatkan mereka akan azab yang pedih jika mereka terus-menerus dalam kesesatan. Namun, seruannya disambut dengan cemoohan, penolakan, dan ancaman. Mereka bahkan mengancam akan mengusir Nabi Luth dan keluarganya dari kota, dengan alasan yang ironis: karena Luth dan pengikutnya dianggap "orang-orang yang sok suci".
Posisi Sang Istri: Duri dalam Daging di Rumah Kenabian
Di dalam rumah tangga sang nabi, di pusat perjuangan dakwah ini, hiduplah istrinya. Secara lahiriah, ia adalah pendamping seorang utusan Allah. Ia semestinya menjadi penyokong utama, sumber ketenangan, dan mitra dalam menyebarkan risalah kebenaran. Namun, kenyataannya jauh panggang dari api. Hati dan pikirannya tidak pernah sejalan dengan suaminya. Loyalitasnya terbelah, dan pada akhirnya, ia lebih memilih berpihak pada kaumnya yang musyrik dan bejat.
Al-Qur'an tidak merinci nama atau latar belakangnya, namun dengan tegas menyatakan posisinya sebagai pengkhianat. Pengkhianatannya bukanlah pengkhianatan dalam konteks rumah tangga biasa, melainkan pengkhianatan terhadap risalah kenabian itu sendiri. Ia menjadi mata-mata bagi kaumnya. Ketika tamu-tamu datang ke rumah Nabi Luth, terutama jika mereka berparas tampan, dialah yang akan membocorkan informasi ini kepada para pemuka kaum Sodom. Ia menjadi informan yang memungkinkan gerombolan pendosa itu datang mengepung rumah suaminya, menuntut agar tamu-tamu itu diserahkan kepada mereka untuk melampiaskan nafsu bejat mereka.
Apa yang memotivasi tindakannya? Kitab-kitab tafsir dan riwayat mencoba menganalisis kemungkinan psikologis di balik pengkhianatannya. Pertama, adalah keterikatan budaya dan emosional yang mendalam. Ia adalah putri Sodom, lahir dan besar di tengah masyarakat itu. Nilai-nilai, kebiasaan, dan cara pandang kaumnya telah meresap begitu dalam ke dalam dirinya sehingga ia tidak bisa melihatnya sebagai suatu keburukan. Dakwah suaminya mungkin terdengar asing dan mengancam tatanan sosial yang selama ini memberinya rasa nyaman dan identitas. Ia lebih memilih solidaritas kesukuan daripada kebenaran ilahi.
Kedua, mungkin ada faktor materialisme dan status sosial. Menentang arus utama berarti siap untuk dikucilkan, kehilangan teman, dan mungkin juga harta benda. Ia tidak siap membayar harga untuk sebuah keimanan. Baginya, lebih mudah dan lebih menguntungkan untuk tetap berada di "zona nyaman" bersama mayoritas, meskipun mayoritas itu berada dalam kesesatan yang nyata. Ia menikmati privilese sebagai istri seorang tokoh (meskipun dibenci), namun menolak tanggung jawab moral yang melekat pada posisi tersebut.
Pengkhianatannya mencapai puncaknya pada malam yang menentukan, ketika para malaikat utusan Allah datang dalam wujud pemuda-pemuda yang sangat tampan. Nabi Luth, tidak mengetahui bahwa mereka adalah malaikat, merasa sangat cemas dan khawatir akan keselamatan tamunya. Ia berusaha menyembunyikan mereka, namun istrinya, sang pengkhianat dari dalam, segera memberi isyarat kepada kaumnya. Dengan cepat, berita menyebar, dan rumah sang nabi dikepung oleh massa yang buas dan dipenuhi nafsu.
Malam Penuh Teror dan Puncak Pengkhianatan
Malam itu adalah klimaks dari perjuangan panjang Nabi Luth. Kedatangan para malaikat—yang diutus untuk menurunkan azab—menjadi ujian terakhir bagi seluruh penduduk Sodom, termasuk bagi istri Nabi Luth. Para malaikat, yang menyamar sebagai manusia, menguji Nabi Luth dan pada saat yang sama memancing keluar kebejatan puncak kaumnya.
Ketika massa yang beringas itu menggedor-gedor pintu rumah Nabi Luth, menuntut penyerahan tamunya, sang nabi merasakan keputusasaan yang luar biasa. Ia berdiri di ambang pintu, mencoba bernegosiasi dengan kaumnya yang telah buta mata hatinya. Ia menawarkan putri-putrinya untuk dinikahi secara sah sebagai alternatif, sebuah upaya terakhir yang menunjukkan betapa ia ingin melindungi tamunya dan mengembalikan kaumnya ke jalan yang benar. Namun, mereka menolak dengan angkuh.
"Mereka menjawab: 'Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap putri-putrimu; dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki.'" (QS. Hud: 79)
Di tengah situasi yang mencekam inilah, para tamu akhirnya membuka identitas mereka. Mereka adalah malaikat utusan Allah. Mereka menenangkan Nabi Luth dan memberitahukan tujuan kedatangan mereka: untuk membinasakan negeri yang zalim itu. Mereka memerintahkan Nabi Luth untuk segera meninggalkan kota pada akhir malam bersama keluarganya dan pengikutnya yang beriman.
Perintah yang diberikan sangat spesifik dan mengandung sebuah larangan krusial:
"Maka pergilah kamu di akhir malam beserta keluargamu, dan janganlah seorang pun di antara kamu menoleh ke belakang, dan teruskanlah perjalanan ke tempat yang diperintahkan kepadamu." (QS. Al-Hijr: 65)
Larangan "jangan menoleh ke belakang" ini memiliki makna yang sangat dalam. Secara harfiah, itu adalah perintah untuk tidak melihat pemandangan mengerikan dari azab yang akan ditimpakan. Secara simbolis, itu adalah perintah untuk memutuskan segala ikatan dengan masa lalu yang penuh dosa. Menoleh ke belakang berarti masih ada keraguan, keterikatan, simpati, atau penyesalan untuk meninggalkan dunia kejahatan itu. Itu adalah ujian final atas keteguhan iman dan ketaatan mutlak.
Azab yang Turun dan Nasib Sang Pembangkang
Nabi Luth beserta kedua putrinya dan segelintir pengikutnya yang beriman bergegas meninggalkan kota dalam kegelapan malam. Mereka berjalan tanpa menoleh, dengan hati yang pasrah dan taat pada perintah Allah. Namun, satu orang dari rombongan kecil itu gagal dalam ujian terakhir. Istri Nabi Luth, yang secara fisik ikut pergi, hatinya tertinggal di Sodom. Ia tidak bisa melepaskan keterikatannya pada kaumnya, pada hartanya, pada kehidupannya yang lama.
Ketika suara gemuruh azab mulai terdengar—suara teriakan yang mengguntur, hujan batu dari sijjil (tanah liat yang dibakar), dan bumi yang dibalikkan—ia tidak bisa menahan diri. Dorongan hatinya yang condong kepada kebatilan membuatnya melanggar perintah. Ia menoleh ke belakang. Dalam satu pandangan terakhir yang penuh simpati kepada kaumnya yang terkutuk, ia menyegel nasibnya sendiri. Seketika itu juga, azab yang sama yang menimpa penduduk Sodom menimpanya. Ia tertimpa azab dan menjadi bagian dari mereka yang dibinasakan.
Allah SWT berfirman tentangnya:
"Kecuali istrinya, dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan)." (QS. Al-A'raf: 83)
Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa ia berubah menjadi pilar garam, sebuah monumen bisu yang menjadi saksi abadi atas akibat dari pembangkangan dan pengkhianatan. Nasibnya menjadi contoh yang sangat jelas bahwa dalam pengadilan ilahi, hubungan darah atau ikatan pernikahan dengan seorang nabi sekalipun tidak akan bisa menyelamatkan seseorang jika ia tidak memiliki iman di dalam hatinya.
Kisah kehancuran Sodom dan nasib istri Nabi Luth menjadi sebuah perumpamaan yang diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur'an. Ini bukan sekadar untuk menceritakan sejarah, tetapi untuk memberikan pelajaran fundamental.
"Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): 'Masuklah ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka).'" (QS. At-Tahrim: 10)
Pelajaran Abadi dari Kisah Istri Nabi Luth
Kisah istri Nabi Luth sarat dengan hikmah dan pelajaran yang relevan sepanjang zaman. Ia bukan sekadar figur historis, melainkan cermin bagi setiap jiwa yang berada di persimpangan antara kebenaran dan kebatilan.
1. Iman adalah Pilihan dan Tanggung Jawab Pribadi. Kisah ini adalah bukti paling kuat bahwa hidayah tidak bisa diwariskan. Berada di lingkungan yang paling ideal sekalipun—serumah dengan seorang nabi—tidak menjamin keselamatan. Iman harus tumbuh dari dalam hati, dipupuk dengan ketulusan, dan dibuktikan dengan ketaatan. Tidak ada seorang pun yang bisa menumpang iman orang lain, bahkan jika itu adalah pasangan hidupnya.
2. Bahaya Loyalitas yang Salah Tempat. Istri Nabi Luth menempatkan loyalitasnya pada kaum, budaya, dan tradisi di atas loyalitas kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini adalah peringatan keras bahwa ketika kebenaran ilahi berbenturan dengan norma sosial atau ikatan duniawi, seorang mukmin sejati harus memilih kebenaran, meskipun itu berarti harus sendirian dan terasing.
3. Pengaruh Lingkungan yang Merusak. Meskipun iman adalah pilihan pribadi, kisah ini juga menyoroti betapa kuatnya pengaruh lingkungan yang buruk. Terus-menerus terpapar pada kemungkaran tanpa membentengi diri dengan iman yang kokoh dapat mengikis hati secara perlahan hingga seseorang menjadi bagian dari kemungkaran itu sendiri. Hatinya menjadi tumpul dan tidak lagi bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
4. "Menoleh ke Belakang" sebagai Simbol Keterikatan Duniawi. Tindakan menoleh ke belakang adalah metafora yang kuat untuk jiwa yang tidak bisa melepaskan diri dari masa lalu yang penuh dosa. Ia melambangkan kerinduan pada kenikmatan duniawi yang fana, keterikatan pada harta, status, dan kenyamanan hidup di tengah kezaliman. Untuk melangkah menuju keselamatan, seseorang harus benar-benar berhijrah, baik secara fisik maupun mental, meninggalkan segala sesuatu yang dapat menariknya kembali ke jurang kebinasaan.
5. Keadilan Allah yang Absolut. Allah Maha Adil. Status sebagai "istri nabi" tidak memberikan imunitas dari hukuman. Keadilan-Nya berlaku untuk semua, tanpa memandang nasab atau hubungan. Yang menjadi tolok ukur di sisi-Nya adalah ketakwaan dan keimanan, bukan kedekatan fisik dengan orang-orang saleh.
Kisah istri Nabi Luth akan selamanya menjadi pengingat yang menusuk. Ia adalah gambaran tragis tentang kesempatan emas yang disia-siakan. Ia hidup di sumber mata air petunjuk, tetapi memilih untuk mati kehausan dalam kekafiran. Ia adalah monumen peringatan bagi setiap pasangan, setiap keluarga, dan setiap individu, bahwa di akhir perjalanan, kita semua akan berdiri sendiri di hadapan Tuhan, hanya berbekal amal dan keyakinan yang kita pilih untuk diri kita sendiri.