Menyelami Makna Sifat Mustahil bagi Allah

Dalam perjalanan spiritual dan intelektual untuk mengenal Tuhan, manusia seringkali berfokus pada apa Dia. Kita mempelajari nama-nama-Nya yang indah (Asmaul Husna) dan sifat-sifat-Nya yang sempurna (Sifat Wajib). Namun, ada sebuah pilar fundamental dalam teologi Islam (ilmu tauhid) yang seringkali kurang mendapat penekanan mendalam, yaitu memahami apa yang Tuhan bukan. Konsep ini terangkum dalam pembahasan mengenai mustahil bersifat atau Sifat Mustahil bagi Allah SWT. Ini bukanlah sekadar daftar negasi, melainkan sebuah metode penegasan yang kuat akan kemahasempurnaan dan transendensi-Nya.

Memahami Sifat Mustahil adalah seperti membersihkan cermin sebelum kita dapat melihat pantulan yang jernih. Akal manusia, yang terbiasa dengan dunia materi dan keterbatasan, cenderung memproyeksikan sifat-sifat makhluk kepada Sang Pencipta. Kita mengenal awal dan akhir, kelemahan, kebutuhan, dan perubahan. Tanpa pemahaman yang kokoh tentang apa yang mustahil bagi-Nya, kita berisiko jatuh ke dalam jurang tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) atau tajsim (menjadikan Allah berbentuk fisik). Oleh karena itu, mempelajari Sifat Mustahil adalah sebuah proses penyucian konsep kita tentang Tuhan, mengukuhkan pilar tauhid yang paling murni: bahwa Allah tidak serupa dengan apa pun juga.

Ilustrasi Konsep Sifat Mustahil Sebuah inti cahaya emas yang sempurna di tengah, memancarkan gelombang yang menolak dan mementalkan fragmen-fragmen gelap dan tidak beraturan yang melambangkan sifat-sifat kekurangan. Ini menggambarkan bagaimana kesempurnaan Tuhan secara inheren menolak segala bentuk ketidaksempurnaan. Ilustrasi Sifat Mustahil: Sebuah inti cahaya sempurna yang menolak dan menghancurkan bentuk-bentuk yang tidak sempurna di sekelilingnya, melambangkan kesucian Tuhan dari segala kekurangan.

Landasan Logika dan Wahyu

Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah merumuskan 20 Sifat Mustahil sebagai lawan langsung dari 20 Sifat Wajib. Ini bukan sekadar permainan kata, melainkan sebuah bangunan logika yang kokoh. Jika secara wajib Allah bersifat Ada (Wujud), maka secara mustahil Ia bersifat Tiada ('Adam). Jika secara wajib Ia bersifat Terdahulu (Qidam), maka secara mustahil Ia bersifat Baru (Huduts). Setiap penegasan sifat kesempurnaan (Wajib) secara otomatis berarti penolakan terhadap lawannya yang merupakan sifat kekurangan (Mustahil).

Pembagian ini membantu akal untuk mencerna konsep yang abstrak. Akal manusia dapat memahami keberadaan alam semesta sebagai bukti adanya Pencipta. Dari sini, akal dapat melanjutkan dengan menarik kesimpulan logis: Pencipta ini pastilah berbeda dari ciptaan-Nya dalam segala aspek. Jika ciptaan memiliki awal, Pencipta tidak mungkin memiliki awal. Jika ciptaan bisa rusak, Pencipta tidak mungkin bisa rusak. Proses deduksi logis inilah yang disebut dalil aqli, yang berjalan beriringan dengan penegasan dari wahyu (dalil naqli) dalam Al-Qur'an dan Sunnah.

"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. Asy-Syura: 11)

Ayat ini adalah salah satu fondasi utama dalam memahami Sifat Mustahil. Kalimat pertama, "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia," adalah penafian total terhadap segala bentuk penyerupaan (mumatsalah). Ini adalah penolakan mutlak terhadap segala sifat kekurangan, keterbatasan, dan karakteristik makhluk yang mungkin terlintas dalam benak kita. Dengan memahami hal ini, kita siap untuk menyelami satu per satu sifat-sifat yang mustahil bagi-Nya.

Rincian Dua Puluh Sifat Mustahil

Berikut adalah penjelajahan mendalam terhadap dua puluh sifat yang mustahil disandangkan kepada Dzat Allah SWT, yang masing-masing merupakan pilar untuk memurnikan akidah kita.

1. ‘Adam (عدم) - Tiada

Lawan dari Sifat Wujud (Ada). Mustahil bagi Allah untuk tidak ada. Keberadaan-Nya adalah mutlak, primer, dan tidak bergantung pada apa pun. Justru, keberadaan seluruh alam semesta inilah yang menjadi bukti tak terbantahkan akan eksistensi-Nya. Logikanya sederhana: setiap akibat pasti memiliki sebab. Alam semesta adalah akibat, maka ia pasti memiliki Sebab Pertama yang tidak disebabkan oleh apa pun. Sebab Pertama ini haruslah ada, karena sesuatu yang tiada tidak mungkin bisa menciptakan sesuatu yang ada. Ketiadaan ('Adam) adalah sifat dasar makhluk sebelum diciptakan, bukan sifat Sang Pencipta. Membayangkan Allah 'Adam berarti meruntuhkan seluruh fondasi realitas.

2. Huduts (حدوث) - Baru atau Memiliki Permulaan

Lawan dari Sifat Qidam (Terdahulu). Mustahil bagi Allah untuk bersifat baru atau memiliki titik awal. Jika Allah memiliki permulaan, maka pasti ada sesuatu yang lain sebelum-Nya yang menciptakan-Nya. Ini akan membawa kita pada rantai sebab-akibat yang tidak berujung (regresi tak terbatas), sebuah kemustahilan logis. Sesuatu yang baru ('hadits') pasti membutuhkan pembaru ('muhdits'). Jika Allah baru, Ia membutuhkan pencipta, dan pencipta-Nya juga membutuhkan pencipta, dan seterusnya tanpa henti. Akal sehat menolak hal ini. Oleh karena itu, Sang Pencipta haruslah bersifat Qadim, ada tanpa permulaan, sehingga Ia menjadi titik henti dari semua rantai sebab-akibat.

3. Fana’ (فناء) - Rusak atau Berakhir

Lawan dari Sifat Baqa' (Kekal). Mustahil bagi Allah untuk mengalami kerusakan, kehancuran, atau memiliki titik akhir. Sesuatu yang memiliki akhir pastilah memiliki awal, dan kita telah menetapkan bahwa Allah tidak memiliki awal (Qidam). Keberadaan-Nya tidak terikat oleh waktu. Fana' adalah karakteristik fundamental dari segala sesuatu yang diciptakan. Bintang-bintang meredup, gunung-gunung hancur, dan makhluk hidup mati. Hanya Allah yang keberadaan-Nya absolut dan tidak terpengaruh oleh perjalanan waktu atau perubahan kondisi. Kekekalan-Nya adalah konsekuensi logis dari keberadaan-Nya yang Wajib dan Terdahulu.

"Segala sesuatu pasti binasa, kecuali wajah-Nya (Dzat-Nya)..." (QS. Al-Qasas: 88)

4. Mumatsalatu lil Hawaditsi (مماثلة للحوادث) - Serupa dengan Makhluk

Lawan dari Sifat Mukhalafatu lil Hawaditsi (Berbeda dengan Makhluk). Ini adalah salah satu sifat mustahil yang paling krusial. Mustahil bagi Allah untuk memiliki kesamaan atau kemiripan dengan ciptaan-Nya, baik dari segi Dzat, sifat, maupun perbuatan. Makhluk tersusun dari materi, memiliki bentuk, menempati ruang, terikat waktu, dan memiliki keterbatasan. Jika Allah serupa dengan makhluk, maka Ia juga akan memiliki sifat-sifat kekurangan tersebut. Ini akan menafikan status-Nya sebagai Tuhan. Konsep ini menolak segala bentuk antropomorfisme (menggambarkan Tuhan seperti manusia) dan menuntut kita untuk menyucikan-Nya dari segala imajinasi dan perbandingan.

5. Ihtiyaju lighairihi (احتياج لغيره) - Membutuhkan yang Lain

Lawan dari Sifat Qiyamuhu bi Nafsihi (Berdiri Sendiri). Mustahil bagi Allah untuk bergantung atau membutuhkan sesuatu selain Dzat-Nya sendiri. Kebutuhan adalah tanda kelemahan dan kekurangan. Makhluk membutuhkan tempat untuk bernaung, makanan untuk energi, dan udara untuk bernapas. Allah adalah sumber dari segala sesuatu; Ia tidak membutuhkan apa pun dari ciptaan-Nya. Jika Ia membutuhkan sesuatu, berarti ada sesuatu yang lebih besar atau lebih fundamental dari-Nya yang dapat memenuhi kebutuhan itu, dan ini bertentangan dengan konsep-Nya sebagai Pencipta Yang Maha Esa dan Maha Kaya.

"Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah, Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu), Maha Terpuji." (QS. Fatir: 15)

6. Ta’addud (تعدد) - Berbilang atau Lebih dari Satu

Lawan dari Sifat Wahdaniyyah (Esa). Mustahil Dzat, sifat, atau perbuatan Allah berbilang. Jika ada lebih dari satu tuhan, maka akan terjadi kekacauan di alam semesta. Logikanya, jika ada dua tuhan dengan kehendak yang sama-sama mutlak, akan ada tiga kemungkinan: (1) Kehendak keduanya selalu sejalan, yang berarti salah satunya tidak independen. (2) Kehendak mereka berbeda dan saling mengalahkan, yang berarti salah satunya lemah. (3) Kehendak mereka berbeda dan tidak ada yang terwujud, yang berarti keduanya lemah. Semua kemungkinan ini menunjukkan kekurangan, yang mustahil bagi Tuhan. Keteraturan dan harmoni alam semesta menjadi bukti keesaan Pengaturnya.

7. ‘Ajzun (عجز) - Lemah

Lawan dari Sifat Qudrah (Maha Kuasa). Mustahil bagi Allah untuk bersifat lemah atau tidak mampu. Kelemahan adalah ketidakmampuan untuk mewujudkan kehendak. Jika Allah lemah, Ia tidak akan mampu menciptakan dan mengatur alam semesta yang begitu kompleks dan luas. Kekuasaan-Nya (Qudrah) bersifat mutlak, mencakup segala sesuatu yang mungkin terjadi (mumkinat). Tidak ada satu hal pun yang dapat melemahkan atau menghalangi kehendak dan kekuasaan-Nya. Konsep kelemahan adalah antitesis dari konsep ketuhanan itu sendiri.

8. Karahah (كراهة) - Terpaksa

Lawan dari Sifat Iradah (Berkehendak). Mustahil bagi Allah untuk melakukan sesuatu karena terpaksa atau tidak sesuai dengan kehendak-Nya. Keterpaksaan menandakan adanya kekuatan eksternal yang lebih dominan. Sebagai Pencipta Yang Maha Kuasa, tidak ada kekuatan apa pun di atas-Nya yang dapat memaksa-Nya. Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta, dari pergerakan galaksi hingga jatuhnya sehelai daun, terjadi atas kehendak-Nya yang mutlak dan bebas. Tidak ada kebetulan, dan tidak ada paksaan. Semua berjalan sesuai dengan Iradah-Nya yang sempurna.

9. Jahlun (جهل) - Bodoh atau Tidak Mengetahui

Lawan dari Sifat ‘Ilmu (Maha Mengetahui). Mustahil bagi Allah untuk tidak mengetahui sesuatu. Kebodohan atau ketidaktahuan adalah sebuah kekurangan yang fundamental. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu, baik yang tampak maupun yang gaib, yang telah terjadi, sedang terjadi, maupun yang akan terjadi. Pengetahuan-Nya tidak diperoleh melalui proses belajar atau pengalaman seperti makhluk, melainkan bersifat azali (ada tanpa permulaan) dan abadi. Jika Allah tidak mengetahui sesuatu, bagaimana mungkin Ia bisa menciptakannya dengan presisi dan mengaturnya dengan kebijaksanaan yang sempurna?

10. Mautun (موت) - Mati

Lawan dari Sifat Hayat (Hidup). Mustahil bagi Allah untuk mengalami kematian. Kematian adalah terpisahnya ruh dari jasad, sebuah proses yang hanya berlaku bagi makhluk. Hidupnya Allah (Hayat) adalah esensi dari Dzat-Nya, bukan sesuatu yang diberikan atau bisa dicabut. Kehidupan-Nya tidak seperti kehidupan makhluk yang bergantung pada organ biologis. Ia adalah Al-Hayyu (Yang Maha Hidup), sumber dari segala kehidupan. Jika Tuhan bisa mati, maka seluruh ciptaan akan musnah seketika karena penopang keberadaannya telah tiada.

11. Shamamun (صمم) - Tuli

Lawan dari Sifat Sama' (Maha Mendengar). Mustahil bagi Allah untuk bersifat tuli. Ketulian adalah cacat dan kekurangan. Pendengaran Allah (Sama') tidak seperti pendengaran makhluk yang membutuhkan medium (gelombang suara) dan organ (telinga). Pendengaran-Nya meliputi segala suara, baik yang diucapkan dengan lisan, yang terlintas di dalam hati, bahkan suara semut hitam di atas batu hitam di kegelapan malam. Tidak ada batasan frekuensi atau volume bagi pendengaran-Nya.

12. ‘Umyun (عمي) - Buta

Lawan dari Sifat Bashar (Maha Melihat). Mustahil bagi Allah untuk bersifat buta. Kebutaan adalah sebuah kekurangan fatal. Penglihatan Allah (Bashar) tidak memerlukan cahaya atau organ mata. Ia melihat segala sesuatu, dari galaksi terjauh hingga partikel terkecil. Tidak ada sesuatu pun yang dapat tersembunyi dari penglihatan-Nya, baik dalam terang maupun dalam gelap, baik yang fisik maupun yang abstrak. Penglihatan-Nya adalah bukti pengawasan-Nya yang total atas seluruh ciptaan.

13. Bakamun (بكم) - Bisu

Lawan dari Sifat Kalam (Berfirman). Mustahil bagi Allah untuk bersifat bisu. Kebisuan adalah ketidakmampuan untuk berkomunikasi. Firman Allah (Kalam) adalah sifat azali yang ada pada Dzat-Nya. Firman-Nya tidak berupa suara atau huruf seperti perkataan makhluk. Wahyu yang diturunkan kepada para nabi (seperti Taurat, Injil, dan Al-Qur'an) adalah manifestasi dari sifat Kalam-Nya yang dapat dipahami oleh manusia. Kemampuan-Nya untuk "berbicara" atau menyampaikan kehendak-Nya adalah bukti kesempurnaan-Nya.

Tujuh sifat mustahil berikutnya merupakan penegasan dari tujuh sifat sebelumnya dalam konteks keadaan Dzat (kaunuhu). Mereka memperkuat bahwa sifat-sifat kekurangan ini tidak hanya mustahil sebagai sifat yang terpisah, tetapi juga mustahil sebagai suatu keadaan yang melekat pada Dzat Allah.

14. Kaunuhu ‘Ajizan (كونه عاجزاً) - Keberadaan-Nya dalam Keadaan Lemah

Ini adalah penegasan dari mustahilnya sifat ‘Ajzun. Artinya, mustahil bagi Dzat Allah berada dalam kondisi atau keadaan lemah pada momen apa pun. Kekuasaan-Nya adalah atribut yang konstan dan tidak berfluktuasi. Ia tidak pernah dan tidak akan pernah berada dalam keadaan tidak berdaya.

15. Kaunuhu Karihan (كونه كارهاً) - Keberadaan-Nya dalam Keadaan Terpaksa

Ini adalah penegasan dari mustahilnya sifat Karahah. Artinya, mustahil bagi Dzat Allah berada dalam keadaan terpaksa. Setiap perbuatan-Nya adalah manifestasi murni dari kehendak-Nya yang bebas dan mutlak, tanpa ada intervensi atau paksaan dari kekuatan lain.

16. Kaunuhu Jahilan (كونه جاهلا) - Keberadaan-Nya dalam Keadaan Bodoh

Ini adalah penegasan dari mustahilnya sifat Jahlun. Artinya, mustahil bagi Dzat Allah berada dalam keadaan tidak mengetahui. Ilmu-Nya adalah absolut dan meliputi segala sesuatu secara konstan, tanpa pernah ada momen ketidaktahuan atau lupa.

17. Kaunuhu Mayyitan (كونه ميتاً) - Keberadaan-Nya dalam Keadaan Mati

Ini adalah penegasan dari mustahilnya sifat Mautun. Artinya, mustahil bagi Dzat Allah berada dalam keadaan mati. Kehidupan-Nya adalah esensi Dzat-Nya, sebuah keadaan yang kekal, abadi, dan tidak pernah terputus.

18. Kaunuhu Ashamma (كونه أصم) - Keberadaan-Nya dalam Keadaan Tuli

Ini adalah penegasan dari mustahilnya sifat Shamamun. Artinya, mustahil bagi Dzat Allah berada dalam keadaan tidak mendengar. Sifat Maha Mendengar-Nya adalah atribut yang melekat dan aktif secara terus-menerus.

19. Kaunuhu A’ma (كونه أعمى) - Keberadaan-Nya dalam Keadaan Buta

Ini adalah penegasan dari mustahilnya sifat ‘Umyun. Artinya, mustahil bagi Dzat Allah berada dalam keadaan tidak melihat. Ia senantiasa dalam keadaan Maha Melihat, mengawasi setiap detail dari ciptaan-Nya tanpa henti.

20. Kaunuhu Abkama (كونه أبكم) - Keberadaan-Nya dalam Keadaan Bisu

Ini adalah penegasan dari mustahilnya sifat Bakamun. Artinya, mustahil bagi Dzat Allah berada dalam keadaan tidak bisa berfirman. Sifat Kalam adalah atribut yang melekat pada Dzat-Nya, menunjukkan kemampuan-Nya yang azali untuk menyampaikan kehendak dan petunjuk-Nya.

Refleksi dan Kesimpulan: Jalan Menuju Tauhid Murni

Mempelajari daftar panjang Sifat Mustahil ini mungkin terasa teknis dan teologis. Namun, tujuannya jauh melampaui sekadar hafalan. Setiap sifat mustahil yang kita pahami adalah satu langkah menjauh dari konsep Tuhan yang terbatas dan antropomorfik, dan satu langkah lebih dekat kepada pemahaman tauhid yang murni dan sejati. Ini adalah latihan intelektual dan spiritual untuk membersihkan pikiran dan hati kita dari segala sesuatu yang tidak layak bagi keagungan Allah.

Ketika kita memahami bahwa mustahil bersifat fana' bagi-Nya, hati kita menemukan ketenangan dalam kekekalan-Nya. Saat kita menyadari bahwa mustahil bersifat 'ajzun bagi-Nya, kita menaruh seluruh kepercayaan dan tawakal pada kekuatan-Nya yang tak terbatas. Saat kita mengerti bahwa mustahil bersifat ihtiyaju lighairihi bagi-Nya, kita menundukkan kesombongan kita dan mengakui ketergantungan total kita kepada-Nya.

Pada akhirnya, memahami Sifat Mustahil bukanlah tentang membatasi Tuhan dengan negasi. Sebaliknya, ini adalah tentang membebaskan konsepsi kita tentang Tuhan dari batasan-batasan akal dan pengalaman kita sebagai makhluk. Dengan menolak setiap bayangan kekurangan, kita secara tidak langsung menegaskan cahaya kesempurnaan-Nya yang tak terhingga. Inilah inti dari syahadat, pengakuan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah—sebuah pengakuan yang menafikan semua ilah-ilah palsu dan segala sifat kekurangan, sambil menegaskan keesaan dan kesempurnaan mutlak hanya bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam.

🏠 Homepage