Sayyidina Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW, dikenal luas sebagai gerbang ilmu dan lautan hikmah. Perkataan-perkataannya yang termuat dalam Nahj al-Balaghah dan sumber-sumber sejarah lainnya menjadi panduan moral dan filosofis yang tak ternilai harganya bagi umat Islam hingga kini. Kata-katanya seringkali singkat, padat, namun mengandung makna yang mendalam mengenai etika, politik, ilmu pengetahuan, dan hakikat kehidupan.
Menggali perkataan Sayyidina Ali berarti kita sedang menapaki jejak kebijaksanaan yang bersumber langsung dari didikan kenabian. Nasihat beliau selalu relevan, mengingatkan kita pada pentingnya introspeksi diri dan menjaga lisan dari hal-hal yang sia-sia.
Dalam menghadapi gejolak dunia, Ali mengajarkan bahwa kesabaran adalah kunci penyeimbang jiwa. Beliau pernah bersabda mengenai sifat manusia di hadapan kesulitan:
"Kesabaran itu ada dua macam: sabar atas sesuatu yang tidak kamu sukai, dan sabar untuk menahan diri dari sesuatu yang kamu sukai."
Pernyataan ini menekankan bahwa ujian bukan hanya datang dalam bentuk kesulitan yang tampak, tetapi juga dalam bentuk godaan kenikmatan duniawi yang seringkali menjauhkan kita dari jalan kebenaran. Mengendalikan hawa nafsu saat sedang senang adalah bentuk kesabaran yang lebih berat daripada menahan derita.
Ali sangat menjunjung tinggi ilmu, memandangnya sebagai cahaya yang menerangi kegelapan kebodohan. Ia membedakan antara orang yang berilmu dan orang yang hanya pandai bicara. Salah satu kutipan terkenalnya mengenai ilmu adalah:
"Kebodohan adalah kemiskinan yang paling buruk, sementara kebijaksanaan adalah kekayaan yang paling tinggi."
Beliau juga mengingatkan bahwa ilmu sejati tidak diukur dari banyaknya buku yang dibaca, melainkan dari buahnya dalam perilaku. Jika ilmu tidak menghasilkan kebaikan dan kerendahan hati, maka ilmu itu belum sempurna. Kerendahan hati seorang yang berilmu jauh lebih berharga daripada kesombongan orang yang mengaku pandai namun hatinya keras.
Perhatian Sayyidina Ali terhadap hati dan lisan sangat menonjol. Beliau melihat keduanya sebagai sumber utama segala perbuatan manusia. Lisan yang tidak terkendali seringkali menjadi akar dari penyesalan. Mengenai bahaya lisan, beliau berpesan:
"Jaga lidahmu dari perkataan yang buruk, karena perkataan buruk itu adalah racun yang mematikan hati."
Lebih lanjut, beliau mengajarkan bahwa hati yang bersih adalah cerminan dari kualitas amal kita. Hati adalah benteng spiritual. Jika benteng itu roboh karena keserakahan atau iri hati, maka seluruh bangunan amal akan terancam. Oleh karena itu, membersihkan hati dari penyakit hati menjadi prioritas utama dalam ajaran beliau. Beliau pernah berkata bahwa harta sejati bukanlah emas dan perak, melainkan hati yang tenteram dan ilmu yang bermanfaat.
Inti dari ajaran Ahlul Bait, termasuk Sayyidina Ali, selalu menekankan aspek amal nyata. Beliau seringkali mengkritik kemunafikan yang tersembunyi di balik ucapan manis tanpa tindakan nyata. Untuk memberikan ilustrasi tentang pentingnya konsistensi, beliau menyatakan:
"Janganlah kamu terlalu banyak bicara, karena sesungguhnya banyak bicara itu mengarah pada kekeliruan, dan barangsiapa yang banyak keliru, maka hilanglah harga dirinya."
Pernyataan ini mendorong kita untuk berpikir sebelum berbicara. Setiap kata yang keluar adalah amanah dan akan dipertanggungjawabkan. Menimbang kata-kata dan memprioritaskan tindakan yang sesuai dengan keyakinan adalah ciri khas dari akhlak mulia yang beliau contohkan sepanjang hidupnya. Kearifan ini terus menggema, menuntut umat untuk menjadi pribadi yang jujur, berilmu, dan beramal saleh tanpa henti.