Sayyidina Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW, dikenal sebagai salah satu gerbang ilmu (Madinatul 'Ilm). Pandangannya mengenai urgensi ilmu pengetahuan sangat mendalam dan sering diungkapkan dalam berbagai khotbah dan suratnya. Bagi beliau, ilmu bukanlah sekadar kumpulan fakta, melainkan fondasi utama dalam beragama dan bermasyarakat. Ilmu adalah cahaya yang membedakan antara petunjuk dan kesesatan.
Beliau menekankan bahwa ilmu harus dicari dengan ketekunan dan didasari oleh akhlak mulia. Ilmu tanpa amal dianggapnya sebagai penyakit, sementara amal tanpa ilmu dianggap kesesatan. Peran ilmu dalam membentuk karakter seseorang sangat ditekankan oleh Sayyidina Ali. Ia melihat ilmu sebagai senjata terkuat melawan kebodohan, kesombongan, dan kemunafikan.
Perbedaan fundamental antara ilmu dan harta ditekankan Ali. Harta benda dapat dicuri, hilang, atau habis terpakai. Namun, ilmu yang tertanam dalam jiwa akan terus berkembang dan menjadi bekal abadi. Inilah yang menjadikan ilmu sebagai aset tak ternilai harganya.
Sayyidina Ali membagi ilmu menjadi dua kategori besar: ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang merusak atau sia-sia. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membawa kebaikan dunia dan akhirat, yang mendorong pemiliknya untuk berbuat adil, bersyukur, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sebaliknya, ilmu yang ia peringatkan adalah ilmu yang digunakan untuk tipu daya, keangkuhan, atau sekadar perhiasan lisan tanpa diiringi perbuatan yang benar.
Seringkali, beliau mengingatkan pengikutnya untuk berhati-hati terhadap orang yang banyak bicara namun sedikit beramal. Ilmu harus tercermin dalam perilaku sehari-hari. Jika seseorang mengaku berilmu tetapi perilakunya tercela, maka ilmunya belum mencapai hakikatnya.
Proses menuntut ilmu, menurut pandangan Ali, memerlukan kerendahan hati yang luar biasa. Seorang pencari ilmu harus bersikap seperti tanah yang menerima air hujan tanpa merasa lebih tinggi dari sumber air itu sendiri. Kerendahan hati ini penting agar ilmu yang diterima dapat meresap dan tumbuh dengan baik.
Ia mengajarkan bahwa dalam majelis ilmu, tidak ada hierarki sosial. Semua orang, baik yang berkedudukan tinggi maupun yang rendah, harus menempatkan diri sebagai murid. Kesombongan adalah penghalang utama diterimanya ilmu sejati. Ketika hati sudah dipenuhi kesombongan, tempat bagi kebenaran menjadi sempit.
Pernyataan ini menegaskan bahwa hakikat ilmu adalah kesadaran akan luasnya samudra pengetahuan, yang membuat kita semakin menyadari betapa sedikitnya yang telah kita ketahui. Oleh karena itu, proses belajar adalah perjalanan seumur hidup yang harus terus menerus dilakukan dengan semangat dan ketulusan.
Bagi Sayyidina Ali, ilmu adalah prasyarat utama bagi kepemimpinan yang adil dan bijaksana. Seorang pemimpin yang tidak berilmu akan cenderung zalim dan membuat keputusan berdasarkan hawa nafsu, bukan berdasarkan kebenaran. Ilmu membekali seorang pemimpin dengan kemampuan melihat jauh ke depan, memahami dampak dari setiap kebijakan, dan menempatkan setiap orang pada haknya.
Penguasaan ilmu agama dan ilmu duniawi (seperti politik, strategi, dan kemasyarakatan) harus seimbang. Keseimbangan ini menghasilkan pemimpin yang tidak hanya disegani karena kekuasaannya, tetapi juga dicintai karena keadilannya yang bersumber dari ilmu yang murni.
Ungkapan ini menunjukkan betapa vitalnya kontribusi seorang yang berilmu bagi umat. Hilangnya satu orang berilmu sejati seperti hilangnya mercusuar yang memandu banyak orang. Oleh karenanya, menjaga dan menyebarkan ilmu adalah tanggung jawab kolektif masyarakat.
Secara keseluruhan, pandangan Sayyidina Ali tentang ilmu menekankan bahwa ia adalah cahaya penuntun, pembeda antara benar dan salah, serta fondasi dari setiap amal kebajikan. Ilmu harus dicari dengan kerendahan hati dan diamalkan dengan ketulusan untuk mencapai kebahagiaan hakiki.