Sinyal Langit di Penghujung Risalah: Membaca Zaman Setelah An-Nasr

Ilustrasi pertolongan ilahi dan persatuan umat

Dalam bentangan sejarah kemanusiaan, ada momen-momen yang berfungsi sebagai penanda, titik balik yang mengubah arah arus zaman. Bagi umat Islam, turunnya Surah An-Nasr adalah salah satu momen terpenting itu. Terdengar sebagai proklamasi kemenangan yang gemilang, surah ini sesungguhnya membawa pesan yang jauh lebih dalam, sebuah sinyal dari langit yang dipahami oleh jiwa-jiwa yang paling peka sebagai penanda akhir sebuah era agung. Ini bukanlah akhir dari Islam, melainkan akhir dari masa turunnya wahyu, akhir dari kehadiran fisik Sang Pembawa Risalah di tengah-tengah umatnya.

Artikel ini akan menelusuri jejak-jejak peristiwa, hikmah, dan pelajaran yang terhampar di masa-masa krusial setelah turunnya Surah An-Nasr. Kita akan menyelami bagaimana surah pendek ini menjadi kunci pembuka untuk memahami fase terakhir kehidupan Rasulullah Muhammad ﷺ, persiapan beliau untuk kembali ke haribaan Ilahi, dan warisan abadi yang beliau tinggalkan bagi semesta alam.

Membedah Makna Agung Surah An-Nasr

Untuk memahami dampak luar biasa dari surah ini, kita harus terlebih dahulu merenungi setiap kata dan kalimatnya. Surah An-Nasr (Pertolongan), surah ke-110 dalam Al-Qur'an, terdiri dari tiga ayat yang singkat namun padat makna.

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ
وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا

1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
2. dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,
3. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima taubat.

Ayat Pertama: Pertolongan dan Kemenangan yang Dijanjikan

"Apabila telah datang pertolongan Allah (An-Nasr) dan kemenangan (Al-Fath)..." Ayat ini merujuk secara spesifik pada sebuah peristiwa monumental: Fathu Makkah, pembebasan kota Mekkah. Selama lebih dari dua dekade, Rasulullah ﷺ dan para sahabat mengalami berbagai tekanan, pengusiran, boikot, dan peperangan. Fathu Makkah adalah puncak dari perjuangan tersebut, sebuah kemenangan tanpa pertumpahan darah yang signifikan. Kata "Nasrullah" (pertolongan Allah) menegaskan bahwa kemenangan ini bukanlah semata-mata hasil strategi militer atau kekuatan manusia, melainkan manifestasi dari bantuan langsung dari Allah. Ini adalah validasi ilahiah atas kebenaran risalah yang dibawa. Kemenangan ini bukan untuk menaklukkan, tetapi untuk membebaskan manusia dari belenggu jahiliyah dan membuka gerbang tauhid di jantung Jazirah Arab.

Ayat Kedua: Buah dari Kesabaran dan Dakwah

"...dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah (afwaja)..." Setelah Fathu Makkah, peta politik dan spiritual Jazirah Arab berubah total. Kabilah-kabilah yang sebelumnya ragu atau memusuhi Islam, kini melihat dengan mata kepala sendiri kebenaran dan kekuatan yang ada padanya. Mereka tidak lagi melihat Islam sebagai gerakan minoritas yang terancam, tetapi sebagai kekuatan dominan yang membawa rahmat. Akibatnya, delegasi dari berbagai penjuru Arab datang kepada Rasulullah ﷺ untuk menyatakan keislaman mereka. Fenomena inilah yang dimaksud dengan "afwaja" (berbondong-bondong). Ini adalah buah dari kesabaran, keteguhan, dan akhlak mulia yang ditunjukkan oleh Rasulullah ﷺ dan para pengikutnya selama bertahun-tahun. Dakwah yang dahulu dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan penuh risiko, kini menuai hasil yang luar biasa. Misi untuk menyampaikan risalah kepada seluruh Jazirah Arab telah mencapai puncaknya.

Ayat Ketiga: Respon Spiritual di Puncak Kejayaan

"...maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima taubat." Di sinilah letak inti pesan tersembunyi dari surah ini. Logika manusia biasa mungkin akan berkata bahwa setelah kemenangan besar, saatnya untuk berpesta, merayakan, atau mengkonsolidasikan kekuasaan. Namun, perintah Allah justru sebaliknya. Perintahnya adalah untuk kembali kepada-Nya dalam bentuk spiritualitas yang paling murni: tasbih (mensucikan Allah dari segala kekurangan), tahmid (memuji-Nya atas segala nikmat), dan istighfar (memohon ampunan). Mengapa istighfar di saat menang? Para ulama menjelaskan, ini adalah pengingat akan kerendahan hati. Kemenangan bisa memunculkan bibit kesombongan. Istighfar adalah penawarnya, sebuah pengakuan bahwa dalam setiap amal dan perjuangan, pasti ada kekurangan dan kelalaian. Ini adalah cara untuk mengembalikan semua kemuliaan hanya kepada Allah. Namun, makna yang lebih dalam dari perintah ini adalah sebagai penanda bahwa sebuah tugas besar telah selesai. Bagaikan seorang pekerja yang setelah menyelesaikan proyeknya, ia merapikan peralatannya dan melapor kepada atasannya, Rasulullah ﷺ diperintahkan untuk menyempurnakan misinya dengan tasbih dan istighfar, sebagai persiapan untuk kembali kepada Sang Pemberi Tugas, Allah SWT. Misi penyampaian risalah telah paripurna.

Reaksi Para Sahabat: Antara Suka Cita dan Air Mata

Turunnya Surah An-Nasr disambut dengan beragam reaksi oleh para sahabat. Mayoritas merasakan kegembiraan yang luar biasa. Bagi mereka, surah ini adalah konfirmasi akhir dari kemenangan Islam, sebuah kabar gembira yang telah lama mereka nantikan. Namun, di antara lautan suka cita itu, ada beberapa individu yang memiliki pandangan batin yang lebih tajam, yang mampu menangkap sinyal perpisahan yang terkandung di dalamnya.

Tangisan Sang Sahabat Terdekat: Abu Bakar Ash-Shiddiq

Diriwayatkan bahwa ketika Surah An-Nasr turun dan dibacakan oleh Rasulullah ﷺ, banyak sahabat yang bersorak gembira. Namun, Abu Bakar Ash-Shiddiq justru tertunduk dan menangis tersedu-sedu. Para sahabat lain merasa heran. "Wahai Abu Bakar, apa yang membuatmu menangis? Bukankah ini adalah kabar gembira tentang kemenangan dari Allah?" Abu Bakar, dengan suara bergetar, menjawab, "Ini adalah pertanda dekatnya ajal Rasulullah ﷺ."

Kecerdasan spiritual Abu Bakar mampu menembus makna literal dari ayat-ayat tersebut. Beliau memahami bahwa jika tugas sudah dianggap selesai oleh Allah, maka keberadaan sang utusan di dunia ini pun akan segera berakhir. Beliau tidak melihat surah ini sebagai awal dari era baru kekuasaan, melainkan sebagai penutup dari era kenabian. Tangisannya bukan tangisan kesedihan atas kekalahan, melainkan tangisan cinta dan kehilangan atas sosok yang paling beliau kasihi, yang cahayanya akan segera ditarik dari alam dunia. Ini menunjukkan betapa dalam hubungan dan pemahaman Abu Bakar terhadap Rasulullah ﷺ dan wahyu yang diturunkan kepadanya.

Tafsiran Sang Pemuda Jenius: Abdullah bin Abbas

Kisah lain yang sangat terkenal adalah tentang Abdullah bin Abbas, sepupu Rasulullah ﷺ yang masih sangat muda namun dijuluki "Turjumanul Qur'an" (Penerjemah Al-Qur'an) karena kedalaman ilmunya. Khalifah Umar bin Khattab sering mengundangnya dalam majelis para sahabat senior dari kalangan veteran Perang Badar. Sebagian dari mereka merasa sedikit janggal, mengapa seorang pemuda disertakan dalam majelis para sesepuh.

Suatu hari, Umar bertanya kepada para sahabat senior itu, "Apa pendapat kalian tentang firman Allah (Surah An-Nasr)?" Sebagian besar dari mereka menjawab, "Allah memerintahkan kita untuk memuji-Nya dan memohon ampunan ketika Dia memberikan kita pertolongan dan kemenangan." Ini adalah jawaban yang benar secara lahiriah. Kemudian, Umar berpaling kepada Ibnu Abbas dan bertanya, "Bagaimana pendapatmu, wahai Ibnu Abbas?"

Dengan penuh keyakinan, Ibnu Abbas menjawab, "Itu adalah pertanda ajal Rasulullah ﷺ yang Allah beritahukan kepadanya. Allah berfirman, 'Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,' yang merupakan tanda bahwa ajalmu telah dekat, 'maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya.'." Mendengar jawaban tersebut, Umar bin Khattab berkata, "Demi Allah, aku tidak mengetahui dari surah ini kecuali apa yang engkau katakan."

Jawaban Ibnu Abbas ini mengkonfirmasi pemahaman Abu Bakar dan menunjukkan bahwa pemahaman Al-Qur'an tidak hanya berdasarkan usia atau senioritas, tetapi berdasarkan karunia pemahaman (fahm) yang Allah berikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Peristiwa ini menjadi bukti kejeniusan Ibnu Abbas sekaligus menggarisbawahi makna tersembunyi dari Surah An-Nasr.

Peristiwa-Peristiwa Penting Setelah Turunnya Surah

Masa setelah turunnya Surah An-Nasr hingga wafatnya Rasulullah ﷺ adalah periode yang singkat namun sarat dengan peristiwa-peristiwa fundamental yang menjadi fondasi bagi masa depan umat Islam. Rasulullah ﷺ seakan-akan berlari dengan waktu untuk meletakkan pilar-pilar terakhir bagi bangunan Islam yang telah sempurna.

Haji Wada’: Pidato Perpisahan untuk Kemanusiaan

Puncak dari fase ini adalah pelaksanaan Haji Wada' (Haji Perpisahan). Ini adalah satu-satunya ibadah haji yang dilaksanakan oleh Rasulullah ﷺ setelah hijrah. Ratusan ribu umat Islam dari berbagai penjuru Jazirah Arab berkumpul di Mekkah untuk menunaikan rukun Islam kelima bersama sang Nabi. Momen ini menjadi kesempatan emas bagi Rasulullah ﷺ untuk menyampaikan wasiat terakhirnya kepada seluruh umat manusia.

Di Padang Arafah, di atas untanya, Al-Qaswa, Rasulullah ﷺ menyampaikan khutbahnya yang monumental, yang dikenal sebagai Khutbah Wada'. Khutbah ini bukan sekadar ceramah agama, melainkan sebuah deklarasi universal tentang hak asasi manusia, keadilan sosial, dan prinsip-prinsip moral yang melampaui batas waktu dan geografi.

Poin-Poin Agung dalam Khutbah Wada’:

Setelah menyampaikan setiap poin, beliau berulang kali bertanya kepada lautan manusia di hadapannya, "Hal ballaghtu? (Sudahkah aku sampaikan?)." Mereka menjawab serempak, "Na'am! (Ya!)." Lalu beliau menengadahkan wajahnya ke langit dan bersaksi, "Allahumma-shhad! (Ya Allah, saksikanlah!)." Momen ini adalah penyerahan tanggung jawab dari pundak Rasulullah ﷺ kepada pundak umatnya.

Pada hari itu juga, di Arafah, turunlah ayat yang menjadi segel kesempurnaan risalah Islam, Surah Al-Ma'idah ayat 3: "...Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu..." Ayat ini, bersama dengan Surah An-Nasr, menjadi penegasan ganda bahwa misi kenabian telah tuntas.

Ekspedisi Usamah bin Zaid: Regenerasi dan Kepercayaan pada Pemuda

Beberapa saat sebelum beliau jatuh sakit, Rasulullah ﷺ mempersiapkan sebuah pasukan untuk dikirim ke wilayah Syam (perbatasan Romawi). Tujuannya adalah untuk menunjukkan kekuatan Islam dan membalas para syuhada yang gugur di Perang Mu'tah, di mana ayah Usamah, Zaid bin Haritsah, gugur sebagai syahid.

Yang luar biasa adalah penunjukan komandan pasukan. Rasulullah ﷺ menunjuk Usamah bin Zaid, seorang pemuda yang usianya masih sangat belia, untuk memimpin pasukan yang di dalamnya terdapat para sahabat senior seperti Abu Bakar dan Umar. Keputusan ini sempat menimbulkan sedikit perbincangan di kalangan sebagian orang. Namun, Rasulullah ﷺ dengan tegas naik ke mimbar dan bersabda, "Jika kalian meragukan kepemimpinannya sekarang, maka kalian juga telah meragukan kepemimpinan ayahnya sebelumnya. Demi Allah, ayahnya pantas memimpin, dan anaknya pun pantas memimpin setelahnya."

Keputusan ini mengandung pelajaran strategis yang mendalam. Rasulullah ﷺ sedang mengajarkan tentang pentingnya regenerasi kepemimpinan, memberikan kepercayaan penuh kepada generasi muda, dan bahwa kapasitas serta kelayakan (kafa'ah) lebih utama daripada usia atau senioritas. Ini adalah investasi terakhir beliau dalam kaderisasi umat.

Masa-Masa Terakhir: Sakit Hingga Wafatnya Sang Kekasih Allah

Tak lama setelah persiapan pasukan Usamah, Rasulullah ﷺ mulai merasakan sakit. Demam tinggi menyerang tubuh mulianya. Namun, selama masih mampu, beliau tetap bersikeras untuk mengimami shalat berjamaah di masjid.

Ketika sakitnya semakin parah dan beliau tidak lagi sanggup berdiri untuk shalat, beliau memberikan isyarat yang sangat jelas tentang siapa yang akan menjadi penggantinya dalam memimpin umat. Beliau bersabda, "Perintahkan Abu Bakar untuk mengimami shalat orang-orang." Aisyah, putri Abu Bakar, mencoba mengusulkan yang lain karena khawatir ayahnya yang berperasaan lembut tidak akan sanggup menahan tangis saat menggantikan posisi Rasulullah ﷺ. Namun, Rasulullah ﷺ mengulang perintahnya dengan tegas. Selama beberapa hari, Abu Bakar-lah yang menjadi imam shalat, sebuah sinyal suksesi yang dipahami oleh seluruh sahabat.

Di hari-hari terakhirnya, beliau menghabiskan waktunya di kamar Aisyah. Salah satu momen paling mengharukan adalah ketika putrinya tercinta, Fatimah Az-Zahra, datang menjenguk. Rasulullah ﷺ membisikkan sesuatu kepadanya, yang membuatnya menangis. Kemudian, beliau membisikkan sesuatu lagi, dan Fatimah pun tersenyum. Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Aisyah bertanya kepada Fatimah tentang hal itu. Fatimah menjelaskan, "Bisikan pertama, beliau memberitahuku bahwa beliau akan segera wafat, maka aku menangis. Bisikan kedua, beliau memberitahuku bahwa akulah anggota keluarganya yang pertama kali akan menyusulnya, maka aku tersenyum."

Menjelang detik-detik terakhirnya, pada suatu hari Senin, ketika kaum muslimin sedang melaksanakan shalat Subuh yang diimami oleh Abu Bakar, Rasulullah ﷺ menyingkap tirai kamarnya dan memandang barisan shalat umatnya dengan senyuman bahagia. Itulah pemandangan terakhir beliau terhadap umat yang begitu beliau cintai. Beliau melihat buah dari perjuangannya selama puluhan tahun: sebuah komunitas yang bersatu, tunduk, dan menyembah Tuhan yang satu.

Pada hari itu, di pangkuan Aisyah, ruhnya yang suci kembali ke haribaan Sang Pencipta. Kata-kata terakhir yang terucap dari bibir mulianya adalah, "...Ar-Rafiiqal A'laa." (...Menuju Sahabat Yang Maha Tinggi). Langit Madinah pun diselimuti duka. Kehilangan ini begitu mengguncang hingga seorang Umar bin Khattab yang perkasa pun sempat tidak percaya dan menghunus pedangnya. Namun, Abu Bakar Ash-Shiddiq, dengan ketegaran iman yang luar biasa, tampil menenangkan umat dengan pidatonya yang abadi: "Barangsiapa di antara kalian yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah wafat. Dan barangsiapa menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tidak akan pernah mati." Lalu beliau membacakan firman Allah, yang seolah-olah baru pertama kali didengar oleh para sahabat: "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul..." (Ali 'Imran: 144).

Hikmah dan Pelajaran Abadi dari Era Setelah An-Nasr

Fase setelah turunnya Surah An-Nasr bukanlah sekadar kronologi akhir kehidupan seorang nabi. Ia adalah sebuah kurikulum ilahiah yang padat dengan pelajaran bagi setiap generasi.

1. Puncak Kejayaan adalah Awal dari Akhir

Surah An-Nasr mengajarkan sebuah kaidah kehidupan yang universal: setiap puncak membawa konsekuensi. Ketika sebuah misi telah mencapai klimaksnya, ketika kemenangan telah diraih, dan ketika tujuan telah tercapai, itu adalah pertanda bahwa babak tersebut akan segera berakhir. Pelajaran bagi kita adalah untuk tidak terbuai oleh kesuksesan. Saat berada di puncak, justru saat itulah kita harus lebih banyak merenung, bersyukur, dan mempersiapkan diri untuk fase berikutnya, termasuk mempersiapkan diri untuk kembali kepada Allah.

2. Kerendahan Hati di Tengah Kemenangan

Perintah untuk bertasbih, bertahmid, dan beristighfar setelah kemenangan besar adalah pelajaran tentang kerendahan hati (tawadhu'). Kemenangan sejati bukanlah milik kita, melainkan pertolongan dari Allah. Mengakui hal ini dan memohon ampun atas segala kekurangan dalam perjuangan kita adalah cara untuk menjaga hati dari penyakit sombong dan 'ujub (bangga diri). Ini relevan bagi individu dalam kesuksesan pribadi, maupun bagi sebuah bangsa dalam kejayaannya.

3. Pentingnya Menyiapkan Generasi Penerus

Keputusan Rasulullah ﷺ menunjuk Usamah bin Zaid adalah visi kenabian yang jauh ke depan. Seorang pemimpin sejati tidak hanya fokus pada masanya, tetapi juga memastikan adanya kesinambungan kepemimpinan setelahnya. Memberi kepercayaan dan tanggung jawab kepada generasi muda adalah cara terbaik untuk memastikan bahwa estafet perjuangan akan terus berlanjut di tangan-tangan yang cakap.

4. Kesempurnaan Risalah dan Tanggung Jawab Umat

Dengan turunnya ayat kesempurnaan agama dan wafatnya Rasulullah ﷺ, pintu wahyu telah tertutup. Ini berarti ajaran Islam telah paripurna. Tidak ada lagi nabi setelah beliau. Konsekuensinya, tanggung jawab untuk menjaga, mengamalkan, dan mendakwahkan risalah ini beralih sepenuhnya ke pundak umatnya. Warisan Al-Qur'an dan Sunnah adalah panduan yang cukup hingga akhir zaman.

5. Kemanusiaan Sang Nabi

Masa-masa sakit hingga wafatnya Rasulullah ﷺ menunjukkan sisi kemanusiaannya. Beliau merasakan sakit, demam, dan akhirnya menghadapi kematian seperti manusia lainnya. Ini mengajarkan kita bahwa setinggi apapun derajat seseorang di sisi Allah, ia tetaplah seorang hamba. Namun, cara beliau menghadapi semua itu—dengan kesabaran, ridha, dan zikir yang tak henti—adalah teladan tertinggi bagi kita dalam menghadapi ujian sakit dan sakaratul maut.


Pada akhirnya, periode setelah turunnya Surah An-Nasr adalah sebuah epilog yang indah dari sebuah kisah yang agung. Ia adalah transisi dari era bimbingan wahyu langsung ke era ijtihad dan tanggung jawab umat. Surah kemenangan ini, yang pada awalnya terdengar seperti pekik kegembiraan, sesungguhnya adalah simfoni perpisahan yang syahdu. Ia menandai terbenamnya matahari kenabian, namun pada saat yang sama, menyisakan cahayanya yang abadi—Al-Qur'an dan Sunnah—untuk menerangi jalan umat manusia hingga fajar kebangkitan tiba. Memahaminya berarti memahami esensi dari sebuah akhir yang sebenarnya adalah sebuah permulaan baru.

🏠 Homepage