Misteri Lokasi Turunnya Surah Al-Fatihah
Surah Al-Fatihah, yang dikenal sebagai "Ummul Kitab" atau induk dari Al-Qur'an, merupakan surah yang paling agung dan paling sering dibaca oleh setiap Muslim di seluruh dunia. Keagungannya tidak hanya terletak pada kandungannya yang padat makna, tetapi juga pada posisinya sebagai pembuka Kitab Suci. Namun, sebuah pertanyaan mendasar yang sering menjadi bahan diskusi di kalangan para ulama adalah mengenai status pewahyuannya: surah Al-Fatihah diturunkan di kota mana? Apakah ia tergolong surah Makkiyah, yang turun sebelum hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah, atau Madaniyah, yang turun setelah hijrah?
Pertanyaan ini bukan sekadar perdebatan geografis atau historis. Memahami konteks turunnya sebuah surah (asbabun nuzul) membantu kita menyelami lebih dalam pesan dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Konteks Makkiyah umumnya berfokus pada penanaman akidah, tauhid, dan dasar-dasar keimanan, sementara konteks Madaniyah lebih banyak berkaitan dengan hukum syariat, muamalah, dan tatanan masyarakat Islam yang baru terbentuk. Oleh karena itu, menelusuri di mana Al-Fatihah diturunkan akan membuka wawasan kita tentang peran fundamental surah ini dalam dakwah Islam.
Perbedaan Pendapat Ulama: Mekkah atau Madinah?
Dalam literatur tafsir dan ulumul qur'an, terdapat beberapa pandangan utama mengenai lokasi turunnya Surah Al-Fatihah. Masing-masing pendapat didasarkan pada riwayat dan argumentasi yang kuat, menjadikan diskusi ini sangat kaya akan ilmu. Mari kita telaah satu per satu pandangan tersebut.
Pendapat Pertama: Surah Makkiyah
Ini adalah pendapat mayoritas ulama (jumhur ulama), termasuk tokoh-tokoh besar seperti Ibnu Abbas, Qatadah, dan Abu al-Aliyah. Mereka berkeyakinan penuh bahwa Surah Al-Fatihah diturunkan di kota Mekkah. Argumentasi mereka sangat kokoh dan bersandar pada beberapa dalil utama.
Dalil pertama dan yang paling sering dikutip adalah firman Allah dalam Surah Al-Hijr ayat 87:
وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِّنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ
"Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang (As-Sab'ul Matsani) dan Al-Qur'an yang agung."
Para ulama tafsir sepakat bahwa "As-Sab'ul Matsani" (tujuh yang berulang) adalah nama lain untuk Surah Al-Fatihah. Surah Al-Hijr sendiri disepakati secara ijma' (konsensus) sebagai surah Makkiyah. Logikanya, jika Allah SWT menyatakan telah memberikan "As-Sab'ul Matsani" dalam sebuah surah yang turun di Mekkah, maka "As-Sab'ul Matsani" itu sendiri (yaitu Al-Fatihah) pastilah sudah diturunkan sebelumnya, juga di Mekkah. Ini adalah argumen kronologis yang sangat kuat.
Dalil kedua adalah kewajiban membaca Al-Fatihah dalam shalat. Shalat lima waktu diwajibkan kepada kaum Muslimin pada peristiwa Isra' Mi'raj, yang terjadi pada periode Mekkah. Hadis shahih riwayat Ubadah bin Shamit menegaskan, "Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (pembuka kitab)." Jika shalat telah diwajibkan di Mekkah dan bacaan Al-Fatihah menjadi rukun di dalamnya, maka secara otomatis surah ini harus sudah diwahyukan di Mekkah. Mustahil suatu kewajiban ditetapkan tanpa perangkatnya disediakan terlebih dahulu.
Oleh karena itu, pandangan yang menyatakan Surah Al-Fatihah diturunkan di kota Mekkah menjadi pendapat yang paling populer dan dipegang oleh mayoritas ahli tafsir dan sejarah Islam. Hal ini selaras dengan fungsi Al-Fatihah sebagai intisari ajaran Islam yang fundamental, yang sangat cocok dengan fase penanaman akidah di awal periode kenabian.
Pendapat Kedua: Surah Madaniyah
Meskipun minoritas, terdapat pandangan dari sebagian ulama, seperti Mujahid bin Jabr, yang menyatakan bahwa Surah Al-Fatihah diturunkan di kota Madinah. Pendapat ini juga memiliki dasar, meskipun tidak sepopuler pendapat pertama.
Salah satu riwayat yang dijadikan sandaran adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Abbas. Dalam hadis tersebut dikisahkan, suatu ketika Jibril sedang duduk bersama Nabi Muhammad SAW, tiba-tiba terdengar suara pintu langit terbuka. Jibril berkata, "Ini adalah sebuah pintu di langit yang baru dibuka hari ini dan belum pernah dibuka sebelumnya." Kemudian turunlah seorang malaikat. Jibril menjelaskan, "Ini adalah malaikat yang turun ke bumi, ia belum pernah turun sebelumnya." Malaikat itu kemudian memberi salam dan berkata, "Bergembiralah dengan dua cahaya yang diberikan kepadamu, yang belum pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelummu: Fatihatul Kitab dan ayat-ayat terakhir Surah Al-Baqarah."
Karena ayat-ayat terakhir Surah Al-Baqarah disepakati turun di Madinah, maka sebagian ulama menafsirkan bahwa peristiwa dalam hadis ini terjadi di Madinah. Dengan demikian, mereka menyimpulkan bahwa Surah Al-Fatihah juga turun di Madinah bersamaan dengan momen tersebut. Namun, ulama dari kelompok mayoritas menanggapi riwayat ini dengan interpretasi berbeda. Mereka mengatakan bahwa hadis ini tidak berbicara tentang waktu turunnya wahyu (nuzul), melainkan tentang pemberitahuan mengenai keutamaan (fadhilah) agung dari surah tersebut, yang sebelumnya belum pernah diungkapkan. Jadi, surah-nya sudah turun di Mekkah, tetapi keistimewaannya yang spesifik baru diinformasikan secara resmi di Madinah.
Pendapat Ketiga: Diturunkan Dua Kali
Ada pula pendapat yang mencoba menggabungkan kedua pandangan di atas. Pendapat ini, yang di antaranya dinisbatkan kepada Al-Mawardi, menyatakan bahwa Surah Al-Fatihah diturunkan dua kali: sekali di kota Mekkah dan sekali lagi di kota Madinah. Pandangan ini diajukan sebagai bentuk penghormatan terhadap keagungan dan pentingnya surah ini.
Argumentasinya adalah, karena Al-Fatihah memiliki kedudukan yang sangat sentral, Allah SWT menurunkannya kembali di Madinah untuk menegaskan kembali posisinya dan mengingatkan kaum Muslimin akan pentingnya surah ini dalam fase pembangunan masyarakat Islam. Penurunan kedua ini dianggap sebagai bentuk takrim (pemuliaan) dan tazkir (pengingat). Meskipun pandangan ini menarik sebagai jalan tengah, ia dianggap lemah oleh sebagian ulama karena tidak ada dalil yang secara eksplisit menyatakan terjadinya penurunan berulang.
Kajian Mendalam Setiap Ayat Al-Fatihah dan Relevansinya
Terlepas dari perdebatan di mana surah Al-Fatihah diturunkan di kota mana, yang paling penting adalah merenungi kandungan maknanya yang luar biasa. Surah ini adalah sebuah dialog agung antara hamba dengan Penciptanya. Mari kita bedah keindahan dan kedalaman makna setiap ayatnya.
Ayat 1: بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
"Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang."
Ayat ini adalah gerbang pembuka. Memulai segala sesuatu dengan nama Allah adalah pengakuan bahwa setiap tindakan, napas, dan pikiran kita bersumber dari-Nya dan bertujuan untuk-Nya. Ini adalah deklarasi tauhid yang paling dasar. Kata "Ar-Rahman" merujuk pada kasih sayang Allah yang melimpah ruah dan mencakup seluruh makhluk-Nya, baik yang beriman maupun yang tidak. Ini adalah rahmat universal. Sementara "Ar-Rahim" merujuk pada kasih sayang-Nya yang khusus, yang abadi, dan tercurah bagi orang-orang yang beriman di akhirat kelak. Memulai dengan Basmalah menanamkan kesadaran akan kehadiran dan kasih sayang Allah dalam setiap aspek kehidupan.
Ayat 2: اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ
"Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam."
"Al-Hamdu" bukan sekadar "pujian" biasa. Ia mengandung makna pujian yang disertai dengan rasa cinta, pengagungan, dan syukur yang tulus. Pujian ini mutlak hanya milik Allah ("lillah"). Mengapa? Karena Dia adalah "Rabbil 'alamin". Kata "Rabb" memiliki makna yang sangat luas: Pencipta, Pemilik, Pemelihara, Pengatur, Pemberi rezeki, dan Pendidik. Dia bukan hanya Tuhan bagi manusia, tetapi Tuhan bagi "seluruh alam" ('alamin), mencakup malaikat, jin, hewan, tumbuhan, galaksi, dan segala sesuatu yang ada, yang kita ketahui maupun yang tidak kita ketahui. Ayat ini membangun fondasi akidah yang kokoh, menempatkan Allah sebagai pusat dari segala eksistensi.
Ayat 3: الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
"Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang."
Pengulangan dua sifat agung ini setelah penyebutan "Rabbil 'alamin" memiliki hikmah yang mendalam. Ia mengingatkan kita bahwa kekuasaan Allah yang absolut sebagai Penguasa alam semesta tidaklah dijalankan dengan sewenang-wenang atau menakutkan, melainkan dilandasi oleh kasih sayang yang tak terbatas. Sifat Rububiyah (ketuhanan) Allah diikat erat dengan sifat Rahman dan Rahim-Nya. Ini memberikan ketenangan bagi hamba-Nya; kita berada di bawah pemeliharaan Tuhan yang Maha Kuasa sekaligus Maha Pengasih. Ini adalah keseimbangan sempurna antara keagungan (jalal) dan keindahan (jamal).
Ayat 4: مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ
"Pemilik hari pembalasan."
Setelah menetapkan kekuasaan-Nya di dunia ("Rabbil 'alamin"), ayat ini mengalihkan fokus kita pada kekuasaan-Nya yang mutlak di akhirat. "Yaumid Din" adalah Hari Kiamat, hari di mana semua amal perbuatan akan dihisab dan dibalas. Kata "Malik" (Pemilik/Raja) di sini menegaskan bahwa pada hari itu, tidak ada kekuasaan lain selain kekuasaan-Nya. Tidak ada raja, presiden, atau penguasa duniawi yang memiliki otoritas. Semua tunduk pada pengadilan-Nya yang adil. Ayat ini menanamkan rasa harap (raja') akan rahmat-Nya dan rasa takut (khauf) akan azab-Nya, dua sayap yang harus seimbang dalam diri seorang mukmin untuk terbang menuju ridha-Nya. Ini adalah pilar akuntabilitas dan keadilan ilahi.
Ayat 5: اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُۗ
"Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan."
Ayat ini adalah puncak dan inti dari Al-Fatihah. Terjadi pergeseran gaya bahasa dari orang ketiga ("Dia") menjadi orang kedua ("Engkau"). Ini menandakan sebuah dialog langsung, sebuah ikrar suci dari hamba kepada Tuhannya. "Iyyaka na'budu" (hanya kepada-Mu kami beribadah) adalah deklarasi pembebasan diri dari segala bentuk perbudakan kepada selain Allah. Ibadah di sini mencakup segala hal yang dicintai dan diridhai Allah, baik ucapan maupun perbuatan. Kemudian diikuti "wa iyyaka nasta'in" (dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan). Ini adalah pengakuan atas kelemahan diri dan kesadaran bahwa kita tidak mampu beribadah dengan sempurna tanpa pertolongan dan taufik dari Allah. Ayat ini adalah esensi dari tauhid uluhiyah dan tauhid rububiyah, sebuah komitmen total untuk mengabdi hanya kepada-Nya.
Ayat 6: اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَۙ
"Tunjukilah kami jalan yang lurus."
Setelah memuji, mengagungkan, dan berikrar, inilah permohonan terpenting seorang hamba. Permintaan "hidayah" (petunjuk) menuju "Ash-Shiratal Mustaqim" (jalan yang lurus). Jalan yang lurus ini adalah jalan yang paling dekat, paling jelas, dan paling benar untuk sampai kepada Allah. Ia adalah Islam itu sendiri, ajaran yang dibawa oleh para nabi dan rasul. Permohonan ini kita ulang minimal 17 kali sehari dalam shalat, menunjukkan betapa vitalnya hidayah dalam hidup kita. Hidayah bukanlah sesuatu yang didapat sekali lalu selesai; ia harus terus-menerus diminta, dipelihara, dan diperbarui, karena setiap saat kita berpotensi untuk menyimpang.
Ayat 7: صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ
"(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat."
Ayat terakhir ini memberikan penjelasan lebih rinci tentang "jalan yang lurus" itu. Ia bukanlah sebuah konsep abstrak, melainkan jalan yang telah terbukti dan telah dilalui oleh orang-orang sukses sebelum kita. Siapakah mereka? Al-Qur'an di tempat lain (An-Nisa: 69) menjelaskan bahwa mereka adalah para nabi, para shiddiqin (orang-orang yang jujur dan benar imannya), para syuhada (orang-orang yang mati syahid), dan para shalihin (orang-orang saleh). Mereka adalah teladan kita. Sebaliknya, doa ini juga memohon perlindungan agar kita tidak mengikuti dua jalan yang menyimpang: jalan "al-maghdhubi 'alaihim" (mereka yang dimurkai), yaitu orang-orang yang mengetahui kebenaran tetapi sengaja menolaknya dan tidak mengamalkannya; dan jalan "adh-dhallin" (mereka yang sesat), yaitu orang-orang yang beramal tanpa ilmu sehingga tersesat dari kebenaran. Doa ini adalah permohonan paket lengkap: meminta petunjuk ke jalan yang benar dan perlindungan dari jalan-jalan yang salah.
Nama-Nama Lain Al-Fatihah dan Maknanya
Keagungan surah ini juga tercermin dari banyaknya nama lain yang disandangkan padanya, setiap nama menyoroti salah satu aspek keistimewaannya:
- Ummul Kitab / Ummul Qur'an (Induk Kitab / Induk Al-Qur'an): Disebut demikian karena seluruh pokok ajaran Al-Qur'an (tauhid, kenabian, hari akhir, ibadah, dan kisah) terangkum secara ringkas di dalamnya. Ia seperti sebuah daftar isi atau abstrak dari keseluruhan Al-Qur'an.
- As-Sab'ul Matsani (Tujuh yang Berulang): Karena terdiri dari tujuh ayat yang selalu diulang-ulang dalam setiap rakaat shalat. Pengulangan ini menunjukkan betapa pentingnya pesan yang dikandungnya untuk selalu direnungkan.
- Ash-Shalah (Shalat): Dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman, "Aku membagi shalat (Al-Fatihah) antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian." Ini menunjukkan hubungan yang tak terpisahkan antara Al-Fatihah dan shalat.
- Asy-Syifa' (Penyembuh): Al-Fatihah diyakini memiliki kekuatan penyembuh, baik untuk penyakit fisik maupun penyakit hati (spiritual), dengan izin Allah.
- Ar-Ruqyah (Mantera/Doa Perlindungan): Berdasarkan hadis di mana seorang sahabat meruqyah kepala suku yang tersengat kalajengking dengan membaca Al-Fatihah dan ia pun sembuh.
- Al-Asas (Fondasi): Karena surah ini adalah fondasi bagi seluruh bangunan ajaran Islam. Tanpa pemahaman yang benar terhadap Al-Fatihah, pemahaman terhadap Al-Qur'an secara keseluruhan akan goyah.
Kesimpulan: Sebuah Pesan Universal
Pada akhirnya, perdebatan mengenai surah Al-Fatihah diturunkan di kota Mekkah atau Madinah menunjukkan betapa para ulama sangat teliti dalam menjaga otentisitas dan konteks Al-Qur'an. Pendapat terkuat dan yang dipegang oleh mayoritas adalah bahwa ia diturunkan di Mekkah, sejalan dengan perannya sebagai penanam fondasi akidah dan pilar utama dalam ibadah shalat yang diwajibkan di sana.
Namun, yang jauh lebih esensial adalah pesan universal yang dibawanya. Al-Fatihah adalah jantung Al-Qur'an. Ia mengajarkan kita adab berdoa: memulai dengan pujian, pengagungan, lalu ikrar komitmen, baru kemudian menyampaikan permohonan. Ia adalah ringkasan perjalanan hidup seorang Muslim: mengenal Tuhannya, mengabdi hanya kepada-Nya, dan terus-menerus memohon bimbingan-Nya di jalan yang lurus hingga akhir hayat. Baik di Mekkah maupun di Madinah, di masa lalu maupun masa kini, pesan Al-Fatihah tetap relevan, agung, dan menjadi sumber cahaya bagi siapa saja yang membacanya dengan hati yang tulus.