Dalam Al-Qur'an, terdapat surah-surah yang meskipun pendek secara jumlah ayat, namun mengandung kedalaman makna yang luar biasa dan merangkum peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah Islam. Salah satu surah yang paling monumental adalah Surah An-Nasr. Dikenal sebagai salah satu surah pendek An-Nasr, surah ke-110 dalam mushaf ini terdiri dari tiga ayat yang sarat akan pesan kemenangan, rasa syukur, kerendahan hati, dan sebuah pertanda agung. Surah ini bukan sekadar pemberitahuan tentang sebuah kemenangan militer, melainkan sebuah panduan spiritual tentang bagaimana seorang mukmin seharusnya menyikapi puncak kesuksesan dan anugerah dari Allah SWT.
An-Nasr, yang berarti "Pertolongan", turun di Madinah dan tergolong sebagai surah Madaniyah. Para ulama sepakat bahwa surah ini merupakan salah satu surah terakhir yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, bahkan ada yang berpendapat inilah surah terakhir yang turun secara lengkap. Posisinya di akhir periode kenabian memberinya signifikansi yang unik. Ia menjadi penanda klimaks dari perjuangan dakwah selama 23 tahun, sebuah perjuangan yang penuh dengan pengorbanan, kesabaran, dan tawakal. Memahami surah ini berarti menyelami esensi dari kemenangan dalam Islam, sebuah kemenangan yang tidak melahirkan kesombongan, tetapi justru menuntun pada puncak ketundukan dan pertaubatan kepada Sang Pemberi Kemenangan.
Berikut adalah bacaan lengkap dari surah pendek An-Nasr, yang menjadi inti dari pembahasan kita. Merenungkan setiap kata dan kalimatnya akan membuka pintu pemahaman yang lebih dalam.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
إِذَا جَآءَ نَصْرُ ٱللَّهِ وَٱلْفَتْحُ (١)
iżā jā`a naṣrullāhi wal-fat-ḥ
1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
وَرَأَيْتَ ٱلنَّاسَ يَدْخُلُونَ فِى دِينِ ٱللَّهِ أَفْوَاجًا (٢)
wa ra`aitan-nāsa yadkhulụna fī dīnillāhi afwājā
2. dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَٱسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابًا (٣)
fa sabbiḥ biḥamdi rabbika wastagfir-h, innahụ kāna tawwābā
3. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima taubat.
Untuk memahami kedalaman sebuah ayat atau surah Al-Qur'an, mengetahui Asbabun Nuzul atau sebab-sebab turunnya adalah kunci yang sangat penting. Surah An-Nasr secara langsung berkaitan dengan salah satu peristiwa paling menentukan dalam sejarah Islam, yaitu Fathu Makkah (Penaklukan Kota Mekkah). Para ahli tafsir dan sejarawan Islam mencatat bahwa surah ini diwahyukan di Mina pada saat Haji Wada' (Haji Perpisahan) yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, sekitar dua atau tiga bulan sebelum beliau wafat. Konteksnya adalah puncak dari perjuangan panjang kaum muslimin.
Perjalanan menuju Fathu Makkah dimulai dari Perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian ini, meskipun pada awalnya tampak merugikan kaum Muslimin, disebut oleh Allah dalam Al-Qur'an sebagai "kemenangan yang nyata" (Fathan Mubina). Perjanjian ini menciptakan periode gencatan senjata antara kaum Muslimin di Madinah dan kaum Quraisy di Mekkah. Namun, kaum Quraisy dan sekutu mereka, Bani Bakr, melanggar perjanjian ini dengan menyerang sekutu kaum Muslimin, yaitu Bani Khuza'ah. Pelanggaran fatal ini memberikan legitimasi bagi Rasulullah SAW untuk memobilisasi pasukan dan bergerak menuju Mekkah.
Pada bulan Ramadhan, Rasulullah SAW memimpin pasukan terbesar yang pernah ada saat itu, sekitar 10.000 sahabat, menuju kota kelahirannya. Namun, tujuan utama beliau bukanlah pertumpahan darah atau balas dendam atas segala penganiayaan yang beliau dan para sahabat alami selama bertahun-tahun. Tujuan beliau adalah membebaskan Mekkah dari berhala dan kemusyrikan, serta mengembalikannya sebagai pusat tauhid.
Kemenangan yang terjadi nyaris tanpa pertumpahan darah. Para pemimpin Quraisy, termasuk Abu Sufyan yang dahulunya merupakan musuh paling gigih, akhirnya menyadari kekuatan Islam dan kebenaran risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Mereka menyerah, dan Rasulullah SAW memasuki kota Mekkah dengan penuh ketundukan, kepala beliau tertunduk di atas untanya sebagai tanda kerendahan hati kepada Allah. Beliau memberikan pengampunan massal kepada penduduk Mekkah, mengucapkan kalimat bersejarah, "Pergilah kalian semua, kalian bebas."
Peristiwa inilah yang menjadi latar belakang utama turunnya Surah An-Nasr. "Pertolongan Allah" (Nasrullah) telah tiba, dan "kemenangan" (al-Fath) telah diraih. Dampaknya sangat luar biasa. Setelah Mekkah, sebagai pusat spiritual dan kekuatan utama di Jazirah Arab, berada di bawah naungan Islam, suku-suku Arab lainnya yang sebelumnya ragu-ragu atau memusuhi, mulai melihat kebenaran Islam. Mereka pun datang dari berbagai penjuru untuk menyatakan keislaman mereka secara berbondong-bondong. Inilah pemandangan yang digambarkan pada ayat kedua.
إِذَا جَآءَ نَصْرُ ٱللَّهِ وَٱلْفَتْحُ
"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,"
Ayat pertama ini adalah sebuah proklamasi ilahi. Kata "إِذَا" (idza) yang berarti "apabila", dalam tata bahasa Arab seringkali digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang pasti akan terjadi. Ini bukanlah pengandaian, melainkan penegasan akan sebuah kepastian yang waktunya telah tiba.
Frasa "نَصْرُ ٱللَّهِ" (Nasrullah), atau "pertolongan Allah", memiliki makna yang sangat spesifik. Kata 'Nasr' bukan sekadar bantuan biasa. Ia merujuk pada pertolongan yang menentukan, yang mengalahkan musuh dan memberikan kemenangan mutlak. Penyandaran kata 'Nasr' kepada 'Allah' (Nasrullah) menggarisbawahi sumber sejati dari kemenangan tersebut. Ini adalah pelajaran fundamental dalam akidah: kemenangan kaum beriman bukanlah hasil dari kekuatan jumlah, strategi, atau persenjataan semata, tetapi murni karena pertolongan dari Allah SWT. Perjuangan manusia adalah sebab, namun hasil akhir berada sepenuhnya dalam genggaman-Nya. Ini adalah pengingat bagi umat Islam di setiap zaman bahwa sumber kekuatan mereka yang hakiki adalah Allah.
Kemudian, kata "وَٱلْفَتْحُ" (wal-Fath), yang berarti "dan kemenangan" atau lebih tepatnya "dan penaklukan/pembukaan". Meskipun secara spesifik merujuk pada Fathu Makkah, kata 'al-Fath' memiliki cakupan makna yang lebih luas. 'Fath' secara harfiah berarti 'membuka'. Fathu Makkah bukan hanya penaklukan sebuah kota, melainkan:
Kombinasi "Nasrullah" dan "al-Fath" menunjukkan sebuah proses yang saling terkait. Pertolongan Allah (Nasr) datang lebih dahulu, yang kemudian membuahkan hasil berupa kemenangan dan terbukanya berbagai pintu kebaikan (al-Fath). Ayat ini mengajarkan bahwa setiap kemenangan besar selalu diawali dengan intervensi dan pertolongan ilahi.
وَرَأَيْتَ ٱلنَّاسَ يَدْخُلُونَ فِى دِينِ ٱللَّهِ أَفْوَاجًا
"dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,"
Ayat kedua ini menggambarkan dampak langsung dan buah manis dari pertolongan dan kemenangan yang disebutkan di ayat pertama. Kata "وَرَأَيْتَ" (wa ra'ayta) yang berarti "dan engkau melihat" ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad SAW, namun juga berlaku bagi siapa saja yang menyaksikan fenomena agung ini. Penglihatan di sini bisa bermakna penglihatan mata kepala secara langsung maupun penglihatan dengan mata hati (pemahaman).
Objek yang dilihat adalah "ٱلنَّاسَ" (an-naas) atau "manusia". Ini menunjukkan universalitas pesan Islam. Bukan hanya satu suku atau klan, tetapi manusia secara umum. Ini adalah visualisasi dari apa yang terjadi setelah Fathu Makkah. Tahun setelah peristiwa itu dikenal sebagai 'Am al-Wufud atau "Tahun Delegasi". Berbagai kabilah dari seluruh penjuru Jazirah Arab mengirimkan utusan mereka ke Madinah untuk menyatakan ketundukan dan memeluk Islam.
Frasa "يَدْخُلُونَ فِى دِينِ ٱللَّهِ" (yadkhuluuna fii diinillah) berarti "mereka masuk ke dalam agama Allah". Perhatikan penggunaan kata kerja "yadkhuluuna", yang menunjukkan sebuah proses aktif dan berkelanjutan. Mereka masuk dengan kesadaran, bukan karena paksaan. Ini adalah bukti nyata bahwa kemenangan Islam yang sejati bukanlah dengan pedang, melainkan dengan menyentuh hati dan akal manusia. Ketika penghalang utama (kekuasaan Quraisy) sirna, kebenaran Islam menjadi begitu jelas sehingga orang-orang tidak bisa lagi menolaknya.
Kata kunci yang paling dramatis dalam ayat ini adalah "أَفْوَاجًا" (afwaajaa), yang berarti "berkelompok-kelompok" atau "berbondong-bondong". Ini adalah kontras yang luar biasa dengan fase awal dakwah di Mekkah. Dahulu, orang masuk Islam secara sembunyi-sembunyi, satu per satu, dan harus menanggung siksaan yang berat. Kini, setelah pertolongan Allah datang, mereka masuk Islam dalam rombongan besar, satu suku penuh, tanpa rasa takut. Ini adalah pemandangan yang mengharukan dan menjadi bukti kebenaran janji Allah kepada Rasul-Nya yang telah bersabar selama lebih dari dua dekade.
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَٱسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابًا
"maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima taubat."
Ayat ketiga adalah puncak dari surah ini dan berisi instruksi ilahi tentang bagaimana seharusnya seorang hamba merespons nikmat terbesar berupa kemenangan. Respon yang diajarkan bukanlah pesta pora, euforia, atau arogansi, melainkan tiga amalan spiritual yang mendalam.
1. Tasbih (فَسَبِّحْ - Fa sabbih): Perintah untuk bertasbih, yaitu mengucapkan "Subhanallah" (Maha Suci Allah). Makna tasbih adalah menyucikan Allah dari segala kekurangan, kelemahan, dan dari anggapan bahwa kemenangan ini adalah hasil jerih payah manusia semata. Saat berada di puncak kejayaan, godaan terbesar adalah merasa bahwa "aku" yang berhasil, "strategiku" yang hebat, atau "kekuatanku" yang menentukan. Tasbih adalah penangkal dari kesombongan ini. Dengan bertasbih, seorang hamba mengembalikan segala pujian dan kesempurnaan hanya kepada Allah. Ia mengakui bahwa kemenangan ini terjadi murni karena kehendak dan kekuasaan-Nya.
2. Tahmid (بِحَمْدِ رَبِّكَ - bihamdi Rabbika): Perintah ini menyatu dengan tasbih, "bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu". Tahmid adalah mengucapkan "Alhamdulillah" (Segala puji bagi Allah). Jika tasbih adalah penafian sifat buruk dari Allah, maka tahmid adalah penetapan segala sifat terpuji bagi-Nya. Ini adalah wujud rasa syukur yang mendalam atas nikmat pertolongan dan kemenangan yang telah dilimpahkan. Seorang mukmin melihat kemenangan bukan sebagai haknya, tetapi sebagai anugerah yang patut disyukuri. Gabungan antara tasbih dan tahmid menciptakan keseimbangan sempurna: menyucikan Allah dari kekurangan sekaligus memuji-Nya atas segala kesempurnaan dan karunia-Nya.
3. Istighfar (وَٱسْتَغْفِرْهُ - wastaghfirhu): Perintah untuk memohon ampunan. Ini adalah bagian yang paling menyentuh dan paling dalam maknanya. Mengapa di saat kemenangan terbesar, justru perintah yang datang adalah memohon ampun? Bukankah ini momen perayaan? Para ulama menjelaskan beberapa hikmah di baliknya:
Ayat ini ditutup dengan kalimat penegas yang penuh harapan: "إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابًا" (innahuu kaana tawwaabaa), "Sungguh, Dia Maha Penerima taubat." Kata "Tawwab" adalah bentuk superlatif yang berarti Allah tidak hanya menerima taubat, tetapi senantiasa dan berulang kali menerima taubat hamba-Nya dengan penuh kasih sayang. Ini adalah jaminan dan penghiburan bahwa sebanyak apapun kekurangan kita, pintu ampunan Allah selalu terbuka lebar.
Makna lahiriah dari surah pendek An-Nasr adalah tentang kemenangan Fathu Makkah. Namun, bagi para sahabat yang memiliki pemahaman mendalam, surah ini membawa sebuah berita yang lebih dalam dan mengharukan. Ia adalah na'yu atau pemberitahuan tersirat tentang dekatnya ajal Rasulullah SAW.
Sebuah riwayat yang sangat masyhur dari Ibnu Abbas RA menceritakan bahwa suatu ketika, Khalifah Umar bin Khattab RA mengundangnya untuk bergabung dalam majelis para sahabat senior dari Perang Badar. Sebagian dari mereka merasa janggal, mengapa seorang pemuda seperti Ibnu Abbas diikutsertakan. Umar kemudian menguji mereka dengan bertanya, "Apa pendapat kalian tentang firman Allah, 'idzaa jaa-a nashrullahi wal fath'?"
Sebagian dari mereka menjawab, "Kita diperintahkan untuk memuji Allah dan memohon ampun kepada-Nya ketika Dia memberikan pertolongan dan kemenangan kepada kita." Yang lain diam tidak berkomentar. Umar kemudian berpaling kepada Ibnu Abbas dan bertanya, "Apakah demikian pendapatmu, wahai Ibnu Abbas?" Ibnu Abbas menjawab, "Bukan." Umar bertanya lagi, "Lalu bagaimana pendapatmu?"
Ibnu Abbas menjelaskan, "Itu adalah pertanda ajal Rasulullah SAW yang Allah beritahukan kepada beliau. 'Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan' itu adalah tanda dari dekatnya ajalmu. 'Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya', sebagai persiapan untuk bertemu dengan-Nya." Mendengar jawaban itu, Umar bin Khattab berkata, "Demi Allah, aku tidak mengetahui makna lain dari surah itu selain dari apa yang engkau katakan."
Logikanya sangat jelas. Tujuan utama diutusnya seorang Rasul adalah untuk menyampaikan risalah dan memastikan agama Allah tegak. Ketika pertolongan Allah datang secara paripurna, kemenangan terbesar diraih, dan manusia berbondong-bondong memeluk Islam, itu artinya tugas kenabian telah tuntas. Misi telah selesai. Maka, sudah tiba waktunya bagi sang utusan untuk kembali kepada Sang Pengutus.
Aisyah RA juga meriwayatkan bahwa setelah turunnya surah ini, Rasulullah SAW memperbanyak bacaan tasbih, tahmid, dan istighfar dalam setiap gerakannya, terutama dalam ruku' dan sujudnya. Beliau sering membaca, "Subhanakallahumma Rabbana wa bihamdika, Allahummaghfir li" (Maha Suci Engkau ya Allah, Tuhan kami, dan dengan memuji-Mu. Ya Allah, ampunilah aku), sebagai bentuk pengamalan langsung dari perintah dalam surah ini. Ini adalah persiapan spiritual beliau untuk momen perpisahan.
Meskipun surah pendek An-Nasr turun dalam konteks sejarah yang spesifik, pelajarannya bersifat universal dan abadi. Setiap muslim dapat mengambil hikmah berharga untuk diterapkan dalam kehidupannya.
Surah An-Nasr, dengan tiga ayatnya yang ringkas, merangkum sebuah epik perjuangan, kemenangan, dan spiritualitas. Ia bukan hanya catatan sejarah Fathu Makkah, tetapi sebuah manifesto tentang bagaimana kemenangan sejati diraih dan disikapi. Ia mengajarkan bahwa pertolongan selalu datang dari Allah, dan buahnya adalah terbukanya hati manusia kepada kebenaran.
Lebih dari itu, surah pendek An-Nasr adalah pengingat abadi bahwa puncak dari segala pencapaian duniawi adalah kembali kepada Allah dengan hati yang bersih, penuh pujian, dan senantiasa memohon ampunan. Ia adalah surah tentang awal dari sebuah kemenangan besar dan akhir dari sebuah misi mulia, mengajarkan kita untuk selalu melihat melampaui kesuksesan duniawi menuju tujuan akhir kehidupan, yaitu keridhaan Allah SWT.