Kajian Dua Surat: Al-Lahab dan An-Nasr

Al-Qur'an adalah kitab suci yang agung, setiap surat dan ayatnya mengandung lautan hikmah yang tak pernah kering untuk digali. Di antara sekian banyak surat, terdapat dua surat yang sangat kontras namun saling melengkapi dalam memberikan pelajaran tentang perjalanan dakwah, yaitu Surat Al-Lahab dan Surat An-Nasr. Keduanya singkat, tetapi padat makna. Surat Al-Lahab (Surat ke-111) turun di awal periode kenabian di Makkah, menggambarkan penentangan keras dan kebinasaan bagi musuh Allah. Sementara itu, Surat An-Nasr (Surat ke-110) turun di akhir periode kenabian di Madinah, menandai puncak kemenangan dan pertolongan Allah. Mempelajari keduanya secara berdampingan memberikan kita perspektif yang utuh tentang sunnatullah dalam perjuangan: ada masa kesulitan dan permusuhan yang hebat, namun di ujungnya ada kemenangan gemilang bagi mereka yang sabar dan taat.

Artikel ini akan mengupas tuntas kedua surat mulia ini. Kita akan menyelami latar belakang turunnya (asbabun nuzul), menelaah tafsir setiap ayatnya, dan yang terpenting, menarik ibrah atau pelajaran berharga yang relevan bagi kehidupan kita sebagai seorang Muslim di zaman modern. Dari kisah kebinasaan Abu Lahab, kita belajar tentang akibat dari kesombongan dan permusuhan terhadap kebenaran. Dari kabar gembira dalam Surat An-Nasr, kita belajar tentang hakikat kemenangan sejati dan adab yang harus dijaga ketika meraih kesuksesan, yaitu dengan senantiasa bertasbih, memuji, dan memohon ampunan kepada Allah SWT.

Surat Al-Lahab: Potret Kebinasaan Akibat Penentangan

Ilustrasi api menyala melambangkan Surat Al-Lahab
Simbol api yang bergejolak, sesuai dengan nama 'Al-Lahab'.

Surat Al-Lahab, yang juga dikenal dengan nama Surat Al-Masad, adalah surat ke-111 dalam mushaf Al-Qur'an. Terdiri dari lima ayat, surat ini tergolong Makkiyah, artinya diturunkan di Makkah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW. Nama "Al-Lahab" berarti "gejolak api", diambil dari salah satu tokoh utama yang diceritakan di dalamnya, yaitu Abu Lahab. Surat ini adalah sebuah anomali yang luar biasa dalam Al-Qur'an; ia menjadi satu-satunya surat yang secara spesifik menyebut nama dan mengutuk musuh Islam secara personal. Ini menunjukkan betapa besar permusuhan dan kejahatan yang dilakukan oleh Abu Lahab dan istrinya terhadap dakwah Rasulullah SAW.

Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Surat)

Latar belakang turunnya surat ini sangat dramatis dan menunjukkan keberanian Rasulullah SAW dalam memulai dakwah secara terang-terangan. Setelah menerima perintah dari Allah untuk menyeru kerabat terdekatnya (sebagaimana dalam Surat Asy-Syu'ara ayat 214), Rasulullah SAW naik ke atas Bukit Shafa. Beliau kemudian memanggil suku-suku Quraisy untuk berkumpul. Ini adalah cara tradisional orang Arab untuk memberikan peringatan akan adanya bahaya besar yang mengancam.

Ketika mereka telah berkumpul, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Bagaimana pendapat kalian jika aku memberitahu kalian bahwa ada pasukan berkuda di lembah yang ingin menyerang kalian, apakah kalian akan memercayaiku?" Mereka serempak menjawab, "Tentu kami percaya. Kami tidak pernah mendapati engkau berdusta." Jawaban ini adalah pengakuan kolektif atas integritas dan kejujuran Nabi Muhammad SAW yang telah teruji selama puluhan tahun, sehingga beliau digelari "Al-Amin" (Yang Terpercaya).

Setelah mendapatkan pengakuan tersebut, Rasulullah SAW melanjutkan dengan inti pesannya, "Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian sebelum datangnya azab yang sangat pedih." Beliau mengajak mereka untuk menyembah Allah Yang Maha Esa dan meninggalkan berhala-berhala.

Mendengar seruan tauhid ini, suasana menjadi tegang. Tiba-tiba, paman beliau sendiri, Abu Lahab, bangkit dengan wajah penuh amarah dan berkata dengan suara lantang, "تَبًّا لَكَ سَائِرَ الْيَوْمِ، أَلِهَذَا جَمَعْتَنَا؟" (Celakalah engkau sepanjang hari ini! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?). Perkataan yang sangat kasar dan menghina ini dilontarkan di hadapan publik, bertujuan untuk merendahkan martabat keponakannya dan menggagalkan dakwahnya sejak awal. Sebagai respons langsung atas tindakan Abu Lahab inilah, Allah SWT menurunkan Surat Al-Lahab.

Teks, Terjemahan, dan Transliterasi

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
تَبَّتْ يَدَآ اَبِيْ لَهَبٍ وَّتَبَّ (١) مَآ اَغْنٰى عَنْهُ مَالُهٗ وَمَا كَسَبَ (٢) سَيَصْلٰى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (٣) وَّامْرَاَتُهٗ ۗ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (٤) فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ (٥)

Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm(i).
1. Tabbat yadā abī lahabiw wa tabb(a).
2. Mā agnā ‘anhu māluhū wa mā kasab(a).
3. Sayaṣlā nāran żāta lahab(in).
4. Wamra'atuh(ū), ḥammālatal-ḥaṭab(i).
5. Fī jīdihā ḥablum mim masad(in).

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

1. Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia!
2. Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan.
3. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka).
4. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).
5. Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal.

Tafsir Mendalam Surat Al-Lahab

Ayat 1: تَبَّتْ يَدَآ اَبِيْ لَهَبٍ وَّتَبَّ

"Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia!"

Ayat ini adalah jawaban langsung dari Allah terhadap ucapan Abu Lahab di Bukit Shafa. Kata "Tabbat" (تَبَّتْ) berasal dari kata tabāb yang berarti kebinasaan, kerugian, dan kehancuran total. Penggunaan bentuk lampau (fi'il madhi) di sini memberikan makna kepastian, seolah-olah kebinasaan itu sudah terjadi dan tidak bisa diubah lagi. Ini adalah vonis ilahi.

Penyebutan "yadā" (يَدَا) yang berarti "kedua tangan" bersifat metonimi, yaitu majas yang mewakili keseluruhan diri dan perbuatannya. Tangan adalah simbol usaha, kekuasaan, dan tindakan. Jadi, yang dibinasakan bukan hanya tangannya secara fisik, tetapi seluruh usahanya, kekuasaannya, rencananya, dan dirinya sendiri dalam menentang dakwah Islam.

Frasa "wa tabb" (وَتَبَّ) di akhir ayat adalah penegasan (ta'kid). Jika bagian pertama adalah doa kebinasaan atau berita tentang kebinasaan usahanya, maka bagian kedua ini adalah konfirmasi bahwa dirinya sendiri secara personal juga pasti binasa. Ini menunjukkan kemurkaan Allah yang luar biasa. Abu Lahab, yang bernama asli Abdul Uzza (hamba berhala Uzza), dijuluki Abu Lahab (Bapak Gejolak Api) karena wajahnya yang kemerahan. Ironisnya, julukan duniawinya justru menjadi gambaran tempat kembalinya di akhirat.

Ayat 2: مَآ اَغْنٰى عَنْهُ مَالُهٗ وَمَا كَسَبَ

"Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan."

Ayat ini menyoroti sumber kesombongan Abu Lahab: harta dan status sosial. Sebagai seorang bangsawan Quraisy, ia sangat kaya dan berpengaruh. Ia merasa bahwa kekayaan dan keturunannya (anak-anaknya) dapat melindunginya dari segala ancaman, termasuk ancaman azab yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Diriwayatkan bahwa ia pernah berkata, "Jika apa yang dikatakan keponakanku itu benar, maka aku akan menebus diriku dari azab dengan harta dan anak-anakku."

Kata "māluhū" (مَالُهٗ) merujuk pada hartanya yang diwariskan atau yang sudah dimilikinya. Sedangkan "mā kasab" (وَمَا كَسَبَ) bisa memiliki dua makna: (1) Harta yang ia peroleh dari hasil usahanya sendiri. (2) Anak-anaknya, karena dalam tradisi Arab, anak dianggap sebagai "kasab" (hasil usaha) orang tuanya. Kedua interpretasi ini benar, dan ayat ini secara komprehensif menyatakan bahwa segala hal yang ia banggakan di dunia—baik harta, jabatan, maupun keturunan—sama sekali tidak akan bisa menolongnya dari ketetapan Allah. Ini adalah pelajaran universal bahwa di hadapan Allah, tolok ukur kemuliaan bukanlah materi, melainkan takwa.

Ayat 3: سَيَصْلٰى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ

"Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka)."

Ini adalah deskripsi eksplisit tentang nasib Abu Lahab di akhirat. Kata "Sayaṣlā" (سَيَصْلٰى) berarti dia akan memasuki, merasakan panasnya, dan terbakar di dalamnya. Penggunaan huruf 'sin' (سَ) di awal kata kerja menunjukkan kepastian di masa depan.

Frasa "nāran żāta lahab" (نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ) berarti "api yang memiliki gejolak". Ada permainan kata yang luar biasa di sini (jinas). Namanya adalah Abu Lahab (Bapak Gejolak Api), dan ia akan masuk ke dalam api yang juga memiliki "lahab" (gejolak). Ini menunjukkan kesesuaian yang sempurna antara perbuatannya di dunia dan balasan yang diterimanya di akhirat. Penentangannya yang berapi-api terhadap kebenaran akan dibalas dengan api neraka yang sesungguhnya.

Surat ini merupakan salah satu mukjizat Al-Qur'an. Ia turun sekitar sepuluh tahun sebelum kematian Abu Lahab. Surat ini memvonis bahwa ia akan mati dalam keadaan kafir dan masuk neraka. Selama sepuluh tahun itu, Abu Lahab punya kesempatan untuk "membuktikan Al-Qur'an salah" hanya dengan berpura-pura masuk Islam. Namun, ia tidak pernah melakukannya. Ia tetap dalam kekafirannya hingga akhir hayatnya, membuktikan kebenaran firman Allah SWT.

Ayat 4: وَّامْرَاَتُهٗ ۗ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ

"Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah)."

Ayat ini menunjukkan bahwa kejahatan tidak dilakukan sendirian. Istri Abu Lahab, yang bernama Arwa binti Harb dan dijuluki Ummu Jamil, adalah saudara perempuan dari Abu Sufyan. Ia adalah mitra sejati suaminya dalam memusuhi Islam. Ia tidak hanya mendukung, tetapi juga aktif berpartisipasi.

Gelar "ḥammālatal-ḥaṭab" (حَمَّالَةَ الْحَطَبِ), "pembawa kayu bakar", memiliki makna ganda:

  1. Makna harfiah: Beberapa riwayat menyebutkan bahwa ia benar-benar membawa duri dan kayu bakar lalu menyebarkannya di jalan yang biasa dilalui oleh Nabi Muhammad SAW di malam hari untuk mencelakai beliau. Ini menunjukkan kebencian yang sangat mendalam dan tindakan fisik yang nyata.
  2. Makna kiasan: Dalam sastra Arab, ungkapan "membawa kayu bakar" adalah kiasan untuk menyebar fitnah, mengadu domba, dan menyulut api permusuhan di antara manusia. Inilah peran utamanya: ia berjalan ke sana kemari, menyebarkan gosip, fitnah, dan kebohongan tentang Nabi Muhammad SAW untuk membuat orang-orang membencinya. Ia "membakar" hubungan sosial dengan lidahnya yang tajam.

Kedua makna ini saling melengkapi. Ia adalah sosok yang jahat baik dalam perbuatan fisik maupun lisan. Di akhirat, ia akan benar-benar membawa kayu bakar untuk api neraka yang akan membakar suaminya dan dirinya sendiri.

Ayat 5: فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ

"Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal."

Ayat terakhir ini memberikan gambaran yang sangat hina tentang nasib Ummu Jamil. Kata "jīdihā" (جِيْدِهَا) berarti "lehernya". Penggunaan kata ini, bukan 'unuq, seringkali merujuk pada leher yang indah yang biasa dihiasi perhiasan. Ummu Jamil dikenal sebagai wanita bangsawan yang suka memakai kalung mewah.

Allah menyatakan bahwa kalung kebanggaannya di dunia akan diganti dengan "ḥablum mim masad" (حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ), yaitu tali kasar yang terbuat dari sabut atau serat pohon kurma yang dipintal dengan sangat kuat. Ada beberapa penafsiran mengenai gambaran ini:

Gambaran ini memberikan kontras yang tajam antara kemewahan dan status sosial yang fana di dunia dengan kehinaan dan siksaan abadi di akhirat.

Surat An-Nasr: Simfoni Kemenangan dan Kerendahan Hati

Ilustrasi gerbang terbuka dengan cahaya melambangkan kemenangan dalam Surat An-Nasr
Simbol gerbang Makkah yang terbuka, menyambut cahaya kebenaran.

Jika Surat Al-Lahab adalah potret kegelapan, penentangan, dan kebinasaan di awal dakwah, maka Surat An-Nasr adalah potret cahaya, pertolongan, dan kemenangan di puncaknya. Surat An-Nasr adalah surat ke-110 dalam Al-Qur'an dan terdiri dari tiga ayat. Menurut pendapat mayoritas ulama, surat ini adalah surat terakhir yang diturunkan secara lengkap, dan tergolong sebagai surat Madaniyah. Ia turun pada masa Haji Wada' (haji perpisahan Nabi Muhammad SAW), hanya beberapa bulan sebelum beliau wafat. Namanya, "An-Nasr", berarti "Pertolongan", yang merujuk pada pertolongan Allah yang membawa kemenangan besar bagi kaum Muslimin.

Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Surat)

Surat ini turun setelah peristiwa Fathu Makkah (Pembebasan Kota Makkah) pada tahun 8 Hijriyah. Selama lebih dari dua dekade, Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya menghadapi penindasan, pengusiran, dan peperangan dari kaum kafir Quraisy. Makkah, kota kelahiran Nabi dan pusat Ka'bah, berada di bawah kendali mereka. Fathu Makkah adalah momen klimaks dari seluruh perjuangan tersebut. Kaum Muslimin berhasil memasuki Makkah tanpa pertumpahan darah yang berarti, membersihkan Ka'bah dari 360 berhala, dan menegakkan panji tauhid.

Setelah Fathu Makkah, suku-suku Arab yang sebelumnya ragu-ragu atau memusuhi Islam mulai melihat kebenaran dan kekuatan Islam. Mereka menyadari bahwa jika Allah telah memberikan kemenangan kepada Muhammad atas kaumnya sendiri (Quraisy), maka ia pastilah seorang Nabi yang benar. Akibatnya, terjadilah fenomena yang luar biasa: delegasi dari berbagai kabilah di seluruh Jazirah Arab berbondong-bondong datang ke Madinah untuk menyatakan keislaman mereka. Periode ini dikenal sebagai 'Am al-Wufud (Tahun Delegasi). Surat An-Nasr turun untuk merangkum peristiwa agung ini dan memberikan arahan kepada Nabi tentang apa yang harus dilakukan setelah meraih kemenangan puncak.

Namun, di balik kabar gembira ini, para sahabat senior seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Ibnu Abbas memahami ada isyarat lain yang lebih dalam. Mereka mengartikan surat ini sebagai pertanda bahwa tugas Rasulullah SAW di dunia telah selesai dan ajalnya sudah dekat. Kemenangan sempurna adalah sinyal bahwa misi telah tuntas, dan sudah waktunya bagi sang utusan untuk kembali kepada Rabb-nya.

Teks, Terjemahan, dan Transliterasi

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
اِذَا جَاۤءَ نَصْرُ اللّٰهِ وَالْفَتْحُ (١) وَرَاَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اَفْوَاجًا (٢) فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُۗ اِنَّهٗ كَانَ تَوَّابًا (٣)

Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm(i).
1. Iżā jā'a naṣrullāhi wal-fatḥ(u).
2. Wa ra'aitan-nāsa yadkhulūna fī dīnillāhi afwājā(n).
3. Fasabbiḥ biḥamdi rabbika wastagfirh(u), innahū kāna tawwābā(n).

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
2. dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,
3. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.

Tafsir Mendalam Surat An-Nasr

Ayat 1: اِذَا جَاۤءَ نَصْرُ اللّٰهِ وَالْفَتْحُ

"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,"

Ayat ini dimulai dengan kata "Iżā" (اِذَا), yang dalam bahasa Arab digunakan untuk suatu kondisi di masa depan yang pasti akan terjadi. Ini memberikan nuansa kepastian dan optimisme.

"Naṣrullāh" (نَصْرُ اللّٰهِ) berarti "pertolongan Allah". Pertolongan ini disandarkan langsung kepada Allah untuk menekankan bahwa kemenangan yang diraih bukanlah semata-mata karena kekuatan militer, strategi, atau jumlah pasukan kaum Muslimin. Kemenangan itu murni anugerah dan pertolongan dari Allah. Ini adalah pelajaran penting tentang tauhid dalam kemenangan: segala keberhasilan hakikatnya berasal dari Allah.

"wal-fatḥ" (وَالْفَتْحُ) secara harfiah berarti "pembukaan". Para ulama tafsir sepakat bahwa yang dimaksud di sini adalah Fathu Makkah, yaitu pembebasan atau "pembukaan" kota Makkah untuk Islam. Disebut "pembukaan" karena peristiwa ini membuka jalan bagi tersebarnya Islam secara masif ke seluruh Jazirah Arab dan membuka hati manusia untuk menerima kebenaran. Makkah adalah pusat spiritual dan simbol kekuatan Quraisy. Dengan jatuhnya Makkah, runtuhlah penghalang utama dakwah.

Ayat 2: وَرَاَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اَفْوَاجًا

"dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah,"

Ayat ini menggambarkan buah dari pertolongan dan kemenangan tersebut. Kata "ra'aita" (وَرَأَيْتَ), "engkau melihat", ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Ini adalah pemandangan yang disaksikan langsung oleh beliau, buah dari kesabaran dan perjuangannya selama 23 tahun.

Frasa "yadkhulūna fī dīnillāhi" (يَدْخُلُوْنَ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ), "mereka masuk ke dalam agama Allah", menunjukkan penerimaan Islam secara sukarela dan tulus. Mereka tidak dipaksa, tetapi hati mereka terbuka setelah melihat kebenaran dan kemuliaan akhlak yang ditunjukkan oleh Nabi dan para sahabatnya saat Fathu Makkah, terutama dengan adanya pengampunan massal terhadap musuh-musuh yang dulu menindas mereka.

Kata kuncinya adalah "afwājā" (اَفْوَاجًا), yang berarti "berbondong-bondong", "dalam rombongan besar", atau "berkelompok-kelompok". Ini kontras dengan kondisi di awal dakwah di Makkah, di mana orang masuk Islam secara sembunyi-sembunyi dan satu per satu. Kini, seluruh suku dan kabilah datang untuk memeluk Islam. Ini adalah bukti nyata dari janji Allah yang telah terpenuhi.

Ayat 3: فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُۗ اِنَّهٗ كَانَ تَوَّابًا

"maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat."

Ini adalah bagian terpenting dari surat ini, yaitu adab atau etika dalam menyikapi kemenangan. Setelah meraih puncak kesuksesan, manusia cenderung menjadi sombong, lupa diri, atau merasa itu adalah hasil jerih payahnya sendiri. Allah justru memerintahkan hal yang sebaliknya.

"Fasabbiḥ biḥamdi rabbika" (فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ): "maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu". Perintah ini mengandung dua hal:

"wastagfirh" (وَاسْتَغْفِرْهُ): "dan mohonlah ampunan kepada-Nya". Ini adalah perintah yang sangat mendalam. Mengapa setelah mencapai kemenangan besar, Nabi yang ma'shum (terjaga dari dosa) justru diperintahkan untuk beristighfar? Ada beberapa hikmah di baliknya:

  1. Sebagai teladan bagi umatnya. Jika Rasulullah SAW saja diperintahkan beristighfar di puncak kejayaan, apalagi kita yang penuh dengan dosa dan kekurangan.
  2. Untuk menyempurnakan ibadah. Dalam setiap perjuangan dan ibadah, pasti ada kekurangan dan kelalaian yang tidak kita sadari. Istighfar menutupi kekurangan tersebut.
  3. Sebagai bentuk kerendahan hati. Istighfar adalah pengakuan bahwa kita adalah hamba yang lemah dan senantiasa membutuhkan ampunan Allah. Ia mencegah munculnya sifat ujub (bangga diri) dan sombong setelah meraih sukses.
  4. Sebagai persiapan kembali kepada Allah. Seperti yang dipahami para sahabat, surat ini adalah isyarat wafatnya Nabi. Istighfar adalah amalan penutup terbaik untuk mengakhiri sebuah perjalanan hidup yang agung.

Ayat ini ditutup dengan kalimat penegas "innahū kāna tawwābā" (اِنَّهٗ كَانَ تَوَّابًا), "Sungguh, Dia Maha Penerima tobat." Nama Allah "At-Tawwab" berarti Dia senantiasa dan berulang kali menerima tobat hamba-Nya, tidak peduli seberapa sering mereka berbuat salah selama mereka mau kembali kepada-Nya. Ini adalah pintu harapan yang selalu terbuka, memberikan ketenangan dan motivasi untuk terus memohon ampunan.

Kontras dan Harmoni: Pelajaran dari Al-Lahab dan An-Nasr

Membaca kedua surat ini secara berdampingan memberikan pemahaman yang holistik tentang dinamika dakwah dan kehidupan. Keduanya seperti dua sisi dari satu koin perjuangan di jalan Allah.

1. Kontras antara Penolakan Personal dan Penerimaan Massal

Surat Al-Lahab mengisahkan penolakan yang datang dari orang terdekat, yaitu paman Nabi sendiri. Abu Lahab memiliki hubungan darah, tetapi ikatan itu putus karena kekufuran dan permusuhan. Ini adalah pelajaran pahit bahwa hidayah tidak bisa diwariskan dan hubungan nasab tidak menjamin keimanan. Sebaliknya, Surat An-Nasr menggambarkan penerimaan massal dari orang-orang yang jauh, dari berbagai suku yang sebelumnya tidak memiliki ikatan kekerabatan. Ini menunjukkan bahwa ikatan sejati adalah ikatan akidah (ukhuwah imaniyah), yang melampaui batas-batas kesukuan dan keluarga.

2. Kontras antara Awal Perjuangan dan Akhir Kemenangan

Al-Lahab adalah potret fase awal dakwah di Makkah yang penuh dengan cemoohan, intimidasi, dan penolakan keras. Itu adalah masa yang sangat sulit, di mana kaum Muslimin adalah minoritas yang tertindas. An-Nasr adalah potret fase akhir di Madinah, di mana Islam telah menjadi kekuatan yang disegani, dan kemenangan gemilang diraih. Perjalanan dari "Al-Lahab" ke "An-Nasr" adalah cerminan dari janji Allah dalam Surat Al-Insyirah: "Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan."

3. Kontras antara Kesombongan Harta dan Kerendahan Hati dalam Kemenangan

Abu Lahab dan istrinya adalah simbol kesombongan yang bersandar pada harta, status, dan kekuatan duniawi. Mereka merasa semua itu bisa melindungi mereka. Allah menunjukkan bahwa semua itu tidak bernilai sedikit pun (Mā agnā ‘anhu māluhū). Sebaliknya, Surat An-Nasr mengajarkan bahwa ketika kemenangan yang sesungguhnya datang dari Allah, respons yang tepat bukanlah kesombongan, melainkan kerendahan hati yang diwujudkan dalam tasbih, tahmid, dan istighfar. Kemenangan sejati adalah ketika seseorang semakin dekat dan tunduk kepada Allah.

4. Ibrah dan Relevansi di Era Modern

Kisah dalam kedua surat ini bukan sekadar catatan sejarah, melainkan sumber pelajaran abadi bagi setiap Muslim di setiap zaman:

🏠 Homepage