Di antara surat-surat dalam Al-Qur'an, terdapat satu surat yang pendek namun sarat dengan makna kemenangan, kerendahan hati, dan optimisme spiritual. Surat itu adalah An-Nasr, yang berarti "Pertolongan". Meskipun hanya terdiri dari tiga ayat, surat ini merangkum sebuah fase penting dalam sejarah Islam dan memberikan pelajaran abadi bagi seluruh umat manusia. Fokus utama pembahasan kita kali ini adalah ayat terakhirnya, sebuah perintah agung yang menjadi kunci sikap seorang mukmin dalam menghadapi kesuksesan.
Mari kita selami lebih dalam lafaz, terjemahan, dan tafsir dari ayat yang mulia ini.
"Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat."
Konteks Penurunan Surat An-Nasr (Asbabun Nuzul)
Untuk memahami kedalaman makna surat An Nasr ayat 3 beserta artinya, kita perlu menengok kembali kepada latar belakang penurunannya. Mayoritas ulama tafsir berpendapat bahwa Surat An-Nasr adalah surat terakhir yang diturunkan secara lengkap kepada Nabi Muhammad SAW. Surat ini turun di Mina pada saat Haji Wada' (haji perpisahan), hanya beberapa bulan sebelum wafatnya Rasulullah SAW.
Konteks utamanya adalah peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Kota Mekkah). Selama bertahun-tahun, kaum muslimin mengalami penindasan, pengusiran, dan peperangan. Fathu Makkah menjadi puncak dari pertolongan Allah (An-Nasr) dan kemenangan (Al-Fath) yang nyata. Kemenangan ini bukanlah kemenangan yang diraih dengan pertumpahan darah yang masif, melainkan sebuah kemenangan agung yang ditandai dengan pengampunan dan masuknya manusia secara berbondong-bondong ke dalam agama Islam.
Ketika ayat pertama dan kedua turun, yang berbunyi: "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah," banyak sahabat yang bergembira. Mereka melihatnya sebagai kabar baik atas keberhasilan dakwah. Namun, beberapa sahabat yang memiliki pemahaman mendalam, seperti Ibnu Abbas dan Umar bin Khattab, justru menangis. Mereka memahami isyarat yang lebih dalam: jika tugas seorang Rasul telah paripurna dengan kemenangan Islam, maka itu berarti waktu kembalinya sang Rasul kepada Sang Pencipta telah dekat.
Dalam konteks inilah ayat ketiga menjadi sebuah penutup yang sempurna. Ia bukan sekadar perintah, melainkan panduan tentang bagaimana menyikapi puncak kesuksesan dan bagaimana mempersiapkan diri untuk perjumpaan dengan Allah SWT.
Tafsir Mendalam Surat An-Nasr Ayat 3
Ayat ketiga ini terdiri dari tiga perintah inti yang saling berkaitan dan satu penegasan yang menenangkan hati. Mari kita bedah satu per satu.
1. Perintah Bertasbih: "Fasabbih" (فَسَبِّحْ)
Kata "Fasabbih" berasal dari akar kata sin-ba-ha (س-ب-ح) yang secara harfiah berarti berenang atau bergerak cepat. Secara istilah, tasbih berarti menyucikan Allah SWT dari segala bentuk kekurangan, kelemahan, sifat yang tidak pantas, dan dari segala sekutu. Ketika kita mengucapkan "Subhanallah" (Maha Suci Allah), kita sedang mendeklarasikan kesempurnaan mutlak milik-Nya.
Mengapa perintah pertama saat meraih kemenangan adalah bertasbih? Ini adalah pelajaran fundamental tentang kerendahan hati. Kemenangan dan kesuksesan seringkali memicu rasa bangga, sombong, dan arogansi dalam diri manusia. Seseorang mungkin merasa bahwa keberhasilan itu adalah murni karena kehebatan, strategi, atau kekuatannya sendiri.
Dengan bertasbih, kita segera "mengerem" potensi kesombongan itu. Kita mengembalikan segala pujian dan kehebatan kepada sumbernya yang hakiki, yaitu Allah SWT. Kita mengakui bahwa kemenangan yang diraih, baik Fathu Makkah pada zaman Nabi maupun kesuksesan personal di zaman sekarang (seperti kelulusan, promosi jabatan, atau keberhasilan proyek), sama sekali bukan karena kekuatan kita. Itu semua terjadi atas izin, kehendak, dan pertolongan Allah. Tasbih adalah pengakuan bahwa kita hanyalah makhluk yang lemah, dan segala kesempurnaan hanya milik-Nya.
2. Mengiringi Tasbih dengan Pujian: "Bihamdi Rabbika" (بِحَمْدِ رَبِّكَ)
Perintah bertasbih tidak berdiri sendiri. Ia digandengkan dengan frasa "Bihamdi Rabbika" yang berarti "dengan memuji Tuhanmu". Penggabungan ini memiliki makna yang sangat indah. Jika tasbih adalah penafian (menafikan kekurangan dari Allah), maka tahmid (memuji) adalah penetapan (menetapkan segala sifat kesempurnaan bagi Allah).
Tasbih adalah mengosongkan hati dari pengakuan akan kekuatan selain Allah, sedangkan Tahmid adalah mengisi hati dengan pengakuan bahwa segala pujian dan kesempurnaan hanya milik Allah.
Kombinasi ini mengajarkan sebuah adab yang luhur. Kita tidak hanya menyucikan Allah, tetapi juga secara aktif memuji-Nya atas nikmat dan karunia yang telah Dia berikan. Ucapan "Alhamdulillah" adalah ekspresi syukur yang mendalam. Jadi, ketika kemenangan datang, sikap seorang mukmin adalah: "Maha Suci Engkau ya Allah dari segala kekurangan, aku tidak punya andil apa-apa dalam hal ini, dan segala puji hanya bagi-Mu atas nikmat kemenangan yang Engkau anugerahkan ini."
Ini adalah sebuah formula anti-kesombongan yang sangat efektif. Ia mengubah euforia kemenangan menjadi momen introspeksi dan syukur yang mendalam, menghubungkan kembali hati seorang hamba kepada Tuhannya.
3. Perintah Beristighfar: "Wastaghfirhu" (وَاسْتَغْفِرْهُ)
Inilah bagian yang paling menyentuh dan seringkali menimbulkan pertanyaan. Mengapa di saat puncak kemenangan, setelah misi dakwah berhasil dengan gemilang, Nabi Muhammad SAW dan umatnya justru diperintahkan untuk memohon ampun (istighfar)? Bukankah ini momen perayaan?
Di sinilah letak keagungan ajaran Islam. Perintah istighfar di saat sukses mengandung beberapa hikmah yang luar biasa:
- Pengakuan atas Kekurangan Diri: Manusia, bahkan seorang Nabi sekalipun dalam kapasitasnya sebagai manusia, tidak pernah luput dari kekurangan. Dalam proses perjuangan mencapai kemenangan, mungkin ada niat yang tidak sepenuhnya lurus, ada strategi yang kurang sempurna, ada hak-hak orang lain yang mungkin terkurangi, atau ada cara yang lebih baik yang tidak terpikirkan. Istighfar adalah pengakuan bahwa dalam setiap usaha kita, pasti ada celah dan kekurangan. Kita memohon ampun kepada Allah atas segala hal yang tidak sempurna dalam perjuangan kita.
- Menjaga Hati dari Ujub (Kagum pada Diri Sendiri): Istighfar adalah benteng terkuat melawan penyakit hati bernama 'ujub. Ketika seseorang mulai mengagumi amal dan usahanya sendiri, ia berada di ambang kebinasaan spiritual. Dengan beristighfar, kita seolah berkata, "Ya Allah, jangan biarkan keberhasilan ini membuatku silau dan lupa diri. Ampuni aku jika ada sedikit saja rasa bangga pada diri sendiri yang menyelinap ke dalam hatiku."
- Penyempurna Ibadah dan Syukur: Tidak ada ibadah atau syukur yang bisa kita lakukan dengan sempurna sesuai dengan keagungan Allah SWT. Shalat kita, puasa kita, perjuangan kita, semuanya pasti memiliki kekurangan. Istighfar setelah menyelesaikan sebuah amal besar (seperti meraih kemenangan) berfungsi sebagai "penambal" atas segala kekurangan dalam amal tersebut, sehingga amal itu menjadi lebih sempurna di sisi Allah.
- Persiapan Menghadap Allah: Sebagaimana dipahami oleh para sahabat, surat ini adalah isyarat dekatnya ajal Rasulullah SAW. Perintah untuk memperbanyak istighfar adalah bekal terbaik untuk bertemu dengan Allah. Ini mengajarkan kita bahwa sebanyak apapun amal baik yang kita kumpulkan, bekal utama kita saat kembali kepada-Nya adalah hati yang bersih, yang senantiasa memohon ampunan dan rahmat-Nya.
Rasulullah SAW sendiri, yang dijamin ma'sum (terjaga dari dosa), adalah orang yang paling banyak beristighfar. Beliau bersabda, "Wahai sekalian manusia, bertobatlah kepada Allah dan memohonlah ampun kepada-Nya, sesungguhnya aku bertobat dalam sehari sebanyak seratus kali." (HR. Muslim). Jika beliau saja demikian, bagaimana dengan kita yang setiap hari bergelimang dengan dosa dan kelalaian?
4. Penegasan yang Menenangkan: "Innahu Kaana Tawwaabaa" (إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا)
Setelah tiga perintah yang menuntut kesadaran diri (tasbih, tahmid, istighfar), ayat ini ditutup dengan sebuah penegasan yang melapangkan dada dan memupuk harapan. "Innahu Kaana Tawwaabaa" artinya "Sesungguhnya Dia (Allah) adalah Maha Penerima tobat."
Kata "Tawwaab" dalam bahasa Arab adalah bentuk mubalaghah (superlatif), yang tidak hanya berarti "Penerima Tobat", tetapi "Maha Penerima Tobat". Ini menunjukkan bahwa Allah tidak hanya menerima tobat, tetapi Dia sangat suka menerima tobat hamba-Nya, berulang kali, sebanyak apapun dosa yang telah diperbuat, selama hamba tersebut datang dengan tulus.
Ayat penutup ini adalah jawaban langsung atas perintah sebelumnya. Seolah-olah Allah berfirman: "Lakukanlah tasbih, tahmid, dan istighfar, dan jangan pernah ragu atau putus asa, karena sesungguhnya Aku senantiasa membuka pintu ampunan-Ku selebar-lebarnya untukmu." Ini adalah pesan optimisme yang luar biasa. Ia menghapus segala kekhawatiran akan kekurangan dalam amal kita dan ketakutan akan dosa-dosa kita. Selama ada kemauan untuk kembali dan memohon ampun, di sana ada Allah, Sang At-Tawwaab, yang siap menyambut.
Pelajaran Universal dari Surat An-Nasr Ayat 3 untuk Kehidupan Modern
Meskipun turun dalam konteks sejarah yang spesifik, pesan dari surat An Nasr ayat 3 beserta artinya bersifat abadi dan sangat relevan bagi kehidupan kita saat ini. Setiap dari kita pasti mengalami "kemenangan-kemenangan" kecil maupun besar dalam hidup.
Sikap Saat Meraih Kesuksesan Akademik
Seorang pelajar yang lulus dengan nilai cumlaude atau diterima di universitas impiannya. Kemenangan ini adalah buah dari pertolongan Allah. Sikap yang tepat bukanlah menyombongkan kecerdasan diri, melainkan segera mengucapkan "Subhanallah, walhamdulillah", menyucikan Allah dari anggapan bahwa ini murni karena kepintarannya, dan memuji Allah atas nikmat ilmu dan kesempatan. Kemudian ia beristighfar, memohon ampun atas segala kelalaian selama belajar, mungkin ada waktu yang terbuang atau niat yang terkadang bengkok. Ia sadar bahwa kesuksesan ini adalah amanah, bukan akhir dari segalanya.
Sikap Saat Meraih Kesuksesan Karir
Seorang profesional yang mendapatkan promosi jabatan atau berhasil menutup proyek besar. Euforia sesaat adalah hal yang wajar. Namun, ajaran An-Nasr ayat 3 mengingatkannya untuk segera bertasbih, mengakui bahwa posisi dan keberhasilan itu adalah karunia Allah. Ia bertahmid, bersyukur atas rezeki tersebut. Dan ia beristighfar, memohon ampun jika dalam proses meraihnya ada rekan kerja yang tersakiti, ada cara-cara yang kurang etis, atau ada kesombongan yang terbersit di hati. Ini akan membuatnya menjadi pemimpin yang rendah hati dan amanah.
Sikap Saat Meraih Kesuksesan dalam Dakwah dan Sosial
Seorang aktivis dakwah atau sosial yang melihat programnya berhasil dan memberikan dampak luas bagi masyarakat. Ini adalah manifestasi dari "melihat manusia masuk ke dalam kebaikan secara berbondong-bondong". Reaksi pertama bukanlah menepuk dada dan mengklaim keberhasilan organisasi atau dirinya. Reaksi yang benar adalah sujud syukur, memperbanyak tasbih, tahmid, dan istighfar. Mengakui bahwa hidayah dan perubahan positif itu datangnya dari Allah, sementara usahanya hanyalah wasilah (perantara) yang penuh dengan kekurangan.
Kesimpulan: Formula Abadi Seorang Pemenang Sejati
Surat An-Nasr, khususnya ayat ketiganya, memberikan kita sebuah formula spiritual yang komprehensif untuk menjadi seorang pemenang sejati di mata Allah. Kemenangan sejati bukanlah sekadar pencapaian duniawi, melainkan kemampuan untuk menyikapi pencapaian itu dengan cara yang diridhai-Nya.
Formula tersebut adalah: Tasbih (Menyucikan Allah) + Tahmid (Memuji Allah) + Istighfar (Memohon Ampun).
Ini adalah resep untuk menjaga hati agar tetap terhubung dengan Allah di puncak kesuksesan, melindungi diri dari penyakit sombong yang membinasakan, dan menyempurnakan amal kita yang penuh kekurangan. Ayat ini ditutup dengan jaminan terindah, bahwa pintu tobat Allah selalu terbuka. Ini mengajarkan kita bahwa perjalanan seorang mukmin adalah perjalanan dari kemenangan menuju kerendahan hati, dan dari kerendahan hati menuju ampunan-Nya yang tak terbatas. Inilah esensi dari makna agung surat An Nasr ayat 3 beserta artinya, sebuah pedoman singkat namun padat untuk mengarungi lautan kehidupan.