Memahami Posisi dan Makna Agung: Urutan Surat An-Nasr dalam Al-Qur'an
Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bukanlah sekadar kumpulan wahyu yang diturunkan secara acak. Ia adalah sebuah mukjizat agung yang tersusun dengan struktur ilahiah yang sempurna. Setiap surat, setiap ayat, bahkan setiap huruf memiliki posisi dan urutan yang penuh hikmah. Salah satu pertanyaan yang sering muncul di benak kaum muslimin adalah mengenai penempatan surat-surat pendek di akhir mushaf. Di antara surat-surat tersebut, Surat An-Nasr memegang posisi yang unik dan sarat makna. Untuk menjawab pertanyaan inti, urutan Surat An-Nasr dalam Al-Qur'an terletak pada urutan ke-110. Ia berada di antara Surat Al-Kafirun (urutan ke-109) dan Surat Al-Masad (urutan ke-111).
Namun, sekadar mengetahui nomor urutannya belumlah cukup untuk menyelami kedalaman samudra hikmah yang terkandung di dalamnya. Posisi ke-110 ini bukan sebuah kebetulan. Ia adalah bagian dari sebuah desain arsitektur Al-Qur'an yang menakjubkan, yang menceritakan sebuah kisah perjuangan, kemenangan, dan refleksi mendalam. Artikel ini akan mengupas secara komprehensif mengenai posisi Surat An-Nasr, tidak hanya dari segi urutan mushaf, tetapi juga dari perspektif urutan turunnya wahyu (nuzul), konteks sejarah (asbabun nuzul), tafsir mendalam, serta pelajaran abadi yang bisa kita petik untuk kehidupan sehari-hari.
Membedakan Dua Jenis Urutan: Mushafi dan Nuzuli
Untuk memahami mengapa Surat An-Nasr berada di urutan ke-110, kita perlu memahami dua konsep penting dalam studi Al-Qur'an (Ulumul Qur'an), yaitu tartib mushafi (urutan dalam mushaf) dan tartib nuzuli (urutan turunnya wahyu).
Tartib Mushafi: Urutan Pembukuan Al-Qur'an
Tartib mushafi adalah urutan surat sebagaimana yang kita temukan dalam Al-Qur'an cetak hari ini, dimulai dari Surat Al-Fatihah hingga Surat An-Nas. Urutan ini diyakini bersifat tauqifi, artinya ditetapkan berdasarkan petunjuk langsung dari Allah SWT melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Setiap kali wahyu turun, Jibril akan memberitahu Nabi di mana ayat atau surat tersebut harus diletakkan. Kemudian, Nabi SAW menyampaikannya kepada para sahabat penulis wahyu.
Proses ini mencapai puncaknya pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, di mana Al-Qur'an dikodifikasi menjadi satu mushaf standar yang dikenal sebagai Mushaf Utsmani. Kompilasi ini dilakukan dengan sangat teliti, berdasarkan hafalan para sahabat senior dan catatan-catatan yang ada, serta mengonfirmasi kembali urutan yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Jadi, posisi Surat An-Nasr sebagai surat ke-110 adalah hasil dari petunjuk ilahi yang dijaga kemurniannya dari generasi ke generasi.
Tartib Nuzuli: Kronologi Turunnya Wahyu
Di sisi lain, tartib nuzuli merujuk pada urutan kronologis turunnya surat atau ayat kepada Nabi Muhammad SAW selama periode kenabian yang berlangsung sekitar 23 tahun. Urutan ini tidak sama dengan urutan dalam mushaf. Sebagai contoh, surat pertama yang turun adalah lima ayat pertama dari Surat Al-'Alaq, namun dalam mushaf, Surat Al-'Alaq berada di urutan ke-96.
Dalam konteks tartib nuzuli, Surat An-Nasr memiliki status yang sangat istimewa. Para ulama tafsir dan sejarah sepakat bahwa surat ini termasuk dalam kategori surat-surat yang turun paling akhir. Sebagian besar riwayat menyebutkan bahwa Surat An-Nasr turun secara lengkap pada masa Haji Wada' (haji perpisahan) Nabi Muhammad SAW, hanya beberapa bulan sebelum beliau wafat. Bahkan, ada pendapat yang menyatakan inilah surat terakhir yang turun secara utuh. Kenyataan ini memberikan bobot makna yang luar biasa pada isi kandungannya.
"Perbedaan antara urutan mushafi dan nuzuli ini bukanlah sebuah kontradiksi, melainkan dua dimensi dari kesempurnaan Al-Qur'an. Urutan nuzuli mengikuti alur dakwah dan perjuangan Nabi, sementara urutan mushafi menyajikan sebuah bangunan ilmu dan hikmah yang utuh untuk dibaca dan direnungkan oleh umat manusia hingga akhir zaman."
Dengan demikian, penempatan Surat An-Nasr yang secara kronologis turun di akhir masa kenabian, namun diletakkan pada urutan ke-110 dalam mushaf, mengisyaratkan sebuah pesan tersembunyi. Pesan tentang puncak sebuah perjuangan yang kemudian diikuti oleh refleksi dan persiapan untuk kembali kepada Sang Pencipta.
Asbabun Nuzul: Latar Belakang Sejarah Turunnya Surat An-Nasr
Memahami konteks sejarah atau asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya wahyu) adalah kunci untuk membuka tabir makna sebuah surat. Surat An-Nasr secara spesifik berkaitan dengan salah satu peristiwa paling monumental dalam sejarah Islam: Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah).
Peristiwa Fathu Makkah
Setelah bertahun-tahun mengalami penindasan, pengusiran, dan peperangan, kaum muslimin di bawah pimpinan Rasulullah SAW akhirnya kembali ke kota kelahiran mereka, Makkah, bukan sebagai orang-orang yang terusir, melainkan sebagai pemenang. Namun, kemenangan ini bukanlah kemenangan yang diwarnai arogansi dan pertumpahan darah. Fathu Makkah yang terjadi pada bulan Ramadhan tahun ke-8 Hijriah adalah sebuah penaklukan yang penuh dengan kedamaian dan pengampunan.
Ketika Rasulullah SAW dan puluhan ribu pasukan muslim memasuki Makkah, beliau menundukkan kepala di atas untanya sebagai wujud kerendahan hati di hadapan Allah SWT. Beliau memberikan pengampunan massal kepada penduduk Makkah yang dahulu memusuhinya. Beliau membersihkan Ka'bah dari berhala-berhala yang selama berabad-abad telah menodai kesuciannya. Peristiwa ini menjadi bukti nyata dari janji Allah yang disebutkan dalam banyak ayat sebelumnya.
Surat An-Nasr turun sebagai konfirmasi dan penegasan atas peristiwa agung ini. Ayat pertama, "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan (Fath)," secara langsung merujuk pada pertolongan Allah yang membuahkan hasil berupa penaklukan Makkah. Kata "Al-Fath" di sini tidak hanya bermakna kemenangan fisik, tetapi juga "terbukanya" kota Makkah bagi cahaya Islam dan terbukanya hati penduduknya untuk menerima kebenaran.
Isyarat Dekatnya Ajal Rasulullah SAW
Meskipun surat ini berisi kabar gembira tentang kemenangan, para sahabat senior yang memiliki pemahaman mendalam justru menangkap isyarat lain yang lebih subtil. Ketika surat ini turun, banyak sahabat yang bergembira, namun Abu Bakar Ash-Shiddiq justru menangis. Ketika ditanya, beliau menjawab, "Ini adalah pertanda dekatnya ajal Rasulullah SAW."
Bagaimana Abu Bakar bisa sampai pada kesimpulan tersebut? Logikanya sederhana: jika tugas utama seorang rasul, yaitu menyampaikan risalah dan menegakkan agama Allah, telah sempurna dengan ditaklukkannya pusat paganisme Arab dan berbondong-bondongnya manusia masuk Islam, maka misinya di dunia telah selesai. Selesainya sebuah misi berarti waktunya telah tiba untuk kembali kepada Sang Pemberi Misi, yaitu Allah SWT.
Ibnu Abbas, sepupu Nabi yang dijuluki "penerjemah Al-Qur'an", juga memiliki pemahaman serupa. Beliau menjelaskan bahwa surat ini adalah pengumuman tentang wafatnya Nabi Muhammad SAW. Perintah di akhir surat untuk memperbanyak tasbih, tahmid, dan istighfar adalah bentuk persiapan spiritual seorang hamba untuk bertemu dengan Tuhannya setelah menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya. Benar saja, tidak lama setelah turunnya surat ini, Rasulullah SAW wafat, meninggalkan warisan abadi bagi seluruh umat manusia.
Tafsir Mendalam Ayat per Ayat Surat An-Nasr
Surat An-Nasr hanya terdiri dari tiga ayat pendek, namun setiap kata di dalamnya mengandung makna yang sangat dalam dan berlapis. Mari kita bedah satu per satu.
Ayat 1: إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ
"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan."
- Idza (إِذَا): Kata ini dalam bahasa Arab digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang pasti akan terjadi di masa depan. Penggunaannya di sini memberikan kepastian bahwa janji pertolongan dan kemenangan Allah itu mutlak dan tidak bisa diragukan.
- Jaa'a (جَاءَ): Berarti "telah datang". Ini menggambarkan bahwa pertolongan itu bukan sesuatu yang abstrak, melainkan sebuah realitas yang hadir dan dapat disaksikan.
- Nasrullah (نَصْرُ اللَّهِ): "Pertolongan Allah". Frasa ini sangat penting. Kemenangan yang diraih bukanlah karena kekuatan militer, strategi perang, atau kehebatan manusia. Ia murni datang dari "Nasrullah". Ini adalah pelajaran fundamental tentang tauhid, bahwa segala daya dan kekuatan hanya bersumber dari Allah. Manusia hanya berusaha, namun hasil akhir ada di tangan-Nya.
- Wal-Fath (وَالْفَتْحُ): "Dan kemenangan". Kata "Fath" secara harfiah berarti "pembukaan". Ini lebih dari sekadar "ghalabah" (mengalahkan musuh). Ia menyiratkan terbukanya pintu-pintu kebaikan, terbukanya benteng-benteng kekufuran, dan yang terpenting, terbukanya hati manusia untuk menerima hidayah. Fathu Makkah adalah simbol dari semua "pembukaan" ini.
Ayat 2: وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا
"Dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah."
- Wa ra'aita (وَرَأَيْتَ): "Dan engkau melihat". Kata ganti "engkau" ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Ini adalah sebuah pengakuan dan penghargaan atas kesabaran dan perjuangan beliau. Allah seolah berkata, "Lihatlah, wahai Muhammad, buah dari jerih payahmu selama ini."
- An-Naas (النَّاسَ): "Manusia". Penggunaan kata ini bersifat umum, menunjukkan bahwa yang masuk Islam bukan hanya dari satu suku atau klan, tetapi dari berbagai kalangan manusia di Jazirah Arab.
- Yadkhuluuna fii diinillah (يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ): "Mereka masuk ke dalam agama Allah". Frasa ini menggambarkan sebuah proses yang sukarela dan penuh kesadaran. Mereka tidak dipaksa, melainkan "masuk" dengan pilihan sendiri setelah melihat kebenaran dan keindahan Islam yang tercermin dari akhlak Rasulullah SAW saat Fathu Makkah.
- Afwaajaa (أَفْوَاجًا): "Berbondong-bondong" atau "dalam kelompok-kelompok besar". Ini adalah kontras yang tajam dengan periode awal dakwah di Makkah, di mana orang masuk Islam secara sembunyi-sembunyi dan satu per satu. Kata ini melukiskan pemandangan yang luar biasa, di mana delegasi dari berbagai kabilah datang silih berganti untuk menyatakan keislaman mereka.
Ayat 3: فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
"Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat."
Inilah puncak dan respons yang seharusnya dilakukan saat menerima nikmat terbesar. Logika manusia mungkin akan berkata, "Saatnya berpesta dan merayakan kemenangan!" Namun, logika Al-Qur'an mengajarkan hal yang sebaliknya. Respons terbaik atas kemenangan adalah kembali kepada Allah dengan kerendahan hati.
- Fa sabbih (فَسَبِّحْ): "Maka bertasbihlah". Tasbih berarti menyucikan Allah dari segala kekurangan. Dengan bertasbih, kita mengakui bahwa kemenangan ini terjadi bukan karena ada kekurangan pada-Nya (sehingga Dia butuh waktu lama untuk menolong), melainkan karena semua terjadi sesuai dengan waktu dan ketetapan-Nya yang sempurna. Ini juga cara menafikan segala bentuk kesombongan dari dalam diri.
- Bihamdi Rabbika (بِحَمْدِ رَبِّكَ): "Dengan memuji Tuhanmu". Tahmid adalah pujian kepada Allah atas segala nikmat dan karunia-Nya. Jika tasbih adalah menafikan kekurangan, maka tahmid adalah menetapkan segala kesempurnaan dan pujian hanya bagi-Nya. Kemenangan ini adalah nikmat-Nya, maka sudah selayaknya Dia yang dipuji.
- Wastaghfirhu (وَاسْتَغْفِرْهُ): "Dan mohonlah ampun kepada-Nya". Ini adalah bagian yang paling menyentuh. Mengapa Rasulullah SAW yang ma'shum (terjaga dari dosa) diperintahkan untuk beristighfar di puncak kejayaannya? Para ulama menjelaskan, istighfar di sini memiliki beberapa makna:
- Sebagai wujud puncak ketawadhuan (kerendahan hati) seorang hamba. Mengakui bahwa dalam menjalankan tugas agung ini, mungkin masih ada kekurangan atau hal yang tidak sempurna.
- Sebagai pengajaran bagi umatnya. Jika Nabi saja di puncak kemenangan diperintahkan beristighfar, apalagi kita yang penuh dengan dosa dan kekurangan ini.
- Sebagai penutup yang sempurna. Sebagaimana sebuah majelis ditutup dengan doa kafaratul majelis yang berisi tasbih dan istighfar, maka misi besar kenabian pun ditutup dengan amalan yang sama.
- Innahu kaana Tawwaabaa (إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا): "Sungguh, Dia Maha Penerima tobat". Ayat ini ditutup dengan sebuah penegasan yang menenangkan hati. Sifat Allah sebagai "At-Tawwab" (Yang senantiasa menerima tobat) menjadi jaminan bahwa setiap tasbih, tahmid, dan istighfar yang kita panjatkan tidak akan sia-sia. Pintu ampunan-Nya selalu terbuka lebar bagi hamba-hamba yang kembali kepada-Nya.
Hikmah Penempatan Surat An-Nasr di Urutan Ke-110
Setelah memahami makna dan konteksnya, kini kita bisa merenungkan kembali pertanyaan awal: mengapa surat ini diletakkan di urutan ke-110, di antara Surat Al-Kafirun dan Al-Masad?
Hubungan Tematik dengan Surat Al-Kafirun (109)
Surat Al-Kafirun yang berada tepat sebelumnya adalah surat tentang deklarasi pemisahan (bara'ah) yang tegas antara tauhid dan syirik. "Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku." Ini adalah prinsip dasar yang ditanamkan sejak awal dakwah di Makkah. Surat An-Nasr kemudian hadir sebagai buah dari keteguhan memegang prinsip tersebut. Ia menunjukkan bahwa setelah deklarasi pemisahan yang jelas, Allah akan memberikan pertolongan (nasr) dan kemenangan (fath) kepada barisan tauhid. Rangkaian ini mengajarkan bahwa kemenangan sejati hanya bisa diraih dengan memurnikan akidah dan tidak berkompromi dalam urusan prinsip keimanan.
Hubungan Tematik dengan Surat Al-Masad (111)
Surat Al-Masad yang berada tepat sesudahnya menceritakan tentang kebinasaan Abu Lahab dan istrinya, simbol dari penentang dakwah yang paling keras dari kalangan keluarga Nabi sendiri. Penempatan ini seolah memberikan sebuah kontras yang tajam. Di satu sisi, Surat An-Nasr menunjukkan hasil akhir yang gemilang bagi pembela kebenaran (kemenangan dan manusia berbondong-bondong masuk Islam). Di sisi lain, Surat Al-Masad menunjukkan hasil akhir yang tragis bagi penentang kebenaran (kebinasaan di dunia dan akhirat). Susunan ini memberikan pesan yang kuat: perjuangan di jalan Allah akan berujung pada pertolongan-Nya, sementara permusuhan terhadap agama-Nya akan berakhir dengan kehancuran.
Urutan Al-Kafirun -> An-Nasr -> Al-Masad seakan menjadi sebuah trilogi naratif yang ringkas namun padat: Deklarasi Prinsip -> Realisasi Kemenangan -> Konsekuensi bagi Penentang.
Pelajaran Abadi dari Surat An-Nasr untuk Kehidupan Modern
Meskipun Surat An-Nasr turun dalam konteks sejarah yang spesifik, pesan-pesannya bersifat universal dan abadi. Berikut adalah beberapa pelajaran penting yang bisa kita terapkan dalam kehidupan kita saat ini:
- Hakikat Kemenangan Sejati: Kemenangan, kesuksesan, atau pencapaian apa pun dalam hidup (baik itu lulus ujian, mendapat pekerjaan, sukses dalam bisnis, atau mengatasi masalah) bukanlah semata-mata hasil usaha kita. Itu semua adalah "Nasrullah", pertolongan Allah. Menyadari hal ini akan menjauhkan kita dari sifat sombong dan angkuh.
- Sikap Saat Berada di Puncak: Surat ini mengajarkan adab tertinggi saat meraih keberhasilan. Bukan dengan pesta pora yang melalaikan, melainkan dengan meningkatkan ibadah: sucikan nama-Nya (tasbih), puji Dia atas karunia-Nya (tahmid), dan mohon ampun atas segala kekurangan kita (istighfar). Inilah formula untuk menjaga agar nikmat tidak berubah menjadi bencana.
- Pentingnya Kerendahan Hati: Rasulullah SAW, manusia paling mulia, mengajarkan kita untuk tetap rendah hati bahkan di saat paling jaya sekalipun. Istighfar di kala sukses adalah pengingat bahwa kita hanyalah hamba yang lemah dan selalu membutuhkan ampunan-Nya.
- Optimisme dalam Perjuangan: Surat ini memberikan harapan kepada setiap orang yang berjuang di jalan kebaikan. Seberat apa pun tantangan yang dihadapi, janji "Nasrullah wal Fath" akan selalu ada bagi mereka yang sabar dan teguh memegang prinsip.
- Persiapan Menghadapi "Akhir Misi": Setiap fase dalam kehidupan kita memiliki "misi"-nya masing-masing. Saat sebuah target besar tercapai, itu adalah pertanda bahwa satu fase telah berakhir. Surat An-Nasr mengingatkan kita untuk selalu mempersiapkan diri menghadapi akhir dari setiap misi, dan puncaknya adalah akhir dari misi kehidupan kita di dunia ini, yaitu dengan kembali kepada Allah SWT.
Kesimpulan
Sebagai penutup, dapat kita simpulkan bahwa pertanyaan "urutan surat an nasr dalam al quran terletak pada urutan ke berapa?" memiliki jawaban yang sederhana namun membuka pintu kepada pemahaman yang sangat luas dan mendalam. Terletak pada urutan ke-110 dalam mushaf, Surat An-Nasr bukanlah sekadar penanda numerik. Posisinya yang strategis, diapit oleh surat tentang prinsip dan surat tentang konsekuensi, menjadikannya puncak dari sebuah narasi besar tentang perjuangan tauhid.
Surat ini adalah proklamasi kemenangan Islam, pengingat bahwa pertolongan hanya datang dari Allah, dan sebuah pedoman etika bagi seorang mukmin dalam menyikapi kesuksesan. Lebih dari itu, ia adalah lonceng pengingat bahwa setiap tugas yang paripurna adalah isyarat untuk bersiap kembali kepada-Nya dengan bekal tasbih, tahmid, dan istighfar. Semoga kita semua dapat mengambil ibrah dari surat yang agung ini dan menerapkannya dalam setiap jenjang kehidupan kita.