Ilustrasi visual konsep ahli waris Dzawil Arham.
Dalam hukum waris Islam, pembagian harta peninggalan pewaris memiliki aturan yang jelas untuk menentukan siapa saja yang berhak menerimanya. Umumnya, ahli waris dibagi menjadi dua kategori utama: ahli waris yang memiliki hubungan nasab langsung (dzawil furudl dan ashabah) dan ahli waris yang hubungannya tidak langsung atau lebih jauh. Kelompok kedua inilah yang dikenal dengan istilah ahli waris Dzawil Arham.
Dzawil Arham merupakan istilah dalam fikih mawaris (ilmu waris) yang merujuk pada kerabat pewaris yang tidak termasuk dalam golongan ahli waris nasab langsung yang diakui sebagai penerima warisan dalam kondisi normal. Mereka baru akan mendapatkan hak waris ketika tidak ada lagi ahli waris nasab langsung yang berhak menerima harta warisan. Pengertian ini sangat penting dipahami untuk menghindari kesalahpahaman dalam proses pembagian waris, terutama di masyarakat yang terkadang memiliki pandangan dan tradisi yang berbeda mengenai siapa yang seharusnya menerima harta keluarga.
Kelompok Dzawil Arham mencakup berbagai tingkatan kerabat yang memiliki hubungan darah dengan pewaris, namun tidak masuk dalam kategori ahli waris inti. Secara umum, Dzawil Arham dapat dikategorikan sebagai berikut:
Penting untuk dicatat bahwa urutan dan prioritas dalam pembagian waris Dzawil Arham bisa menjadi kompleks dan seringkali memerlukan ijtihad atau pandangan dari para ulama atau lembaga fikih yang kompeten, terutama ketika terdapat kerabat dari berbagai jalur.
Prinsip dasar dalam hukum waris Islam adalah bahwa harta warisan akan diberikan kepada ahli waris yang paling dekat kedudukannya dengan pewaris. Oleh karena itu, Dzawil Arham baru berhak menerima warisan apabila:
Perbedaan mendasar antara Dzawil Arham dengan ahli waris lain seperti dzawil furudl dan ashabah terletak pada tingkat kedekatan hubungan dan prioritas hak waris.
Mereka adalah ahli waris yang bagian warisannya telah ditetapkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, seperti suami/istri, anak perempuan, ibu, ayah, saudari kandung, dan lain-lain. Bagian mereka bersifat pasti.
Mereka adalah ahli waris yang berhak menerima sisa harta setelah dibagikan kepada dzawil furudl. Jika tidak ada sisa harta, mereka tidak mendapatkan apa-apa. Ashabah biasanya adalah kerabat laki-laki dari pewaris, seperti anak laki-laki, ayah, saudara laki-laki, dan paman.
Dalam hierarki waris, Dzawil Arham berada di urutan terbawah. Hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat mengutamakan ikatan kekeluargaan yang paling dekat dalam hal distribusi harta warisan, demi menjaga tatanan sosial dan ekonomi keluarga.
Penentuan siapa saja yang termasuk Dzawil Arham dan bagaimana pembagiannya merupakan topik yang cukup mendalam dalam kajian fikih mawaris. Para ulama telah merumuskan beberapa kaidah untuk menentukan urutan Dzawil Arham, yang biasanya berdasarkan tiga tingkatan:
Implementasi hukum waris yang melibatkan Dzawil Arham seringkali memerlukan konsultasi dengan ahli hukum waris atau majelis ulama untuk memastikan keabsahan dan keadilan pembagiannya sesuai dengan ajaran Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di suatu negara.
Memahami konsep ahli waris Dzawil Arham sangat penting untuk menyelesaikan persoalan waris secara tuntas dan adil. Ini mencerminkan prinsip kehati-hatian dan keadilan dalam Islam, di mana setiap anggota keluarga yang memiliki ikatan darah diperhitungkan, meskipun dengan urutan prioritas yang berbeda.