Mengupas Tuntas ANBK Literasi dan Survei Karakter

Dunia pendidikan terus bergerak dinamis, mencari format evaluasi yang tidak hanya mengukur kemampuan akademis semata, tetapi juga memotret kualitas proses pembelajaran secara menyeluruh. Salah satu terobosan penting dalam sistem evaluasi pendidikan nasional adalah Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK). ANBK dirancang bukan untuk menghakimi individu siswa, melainkan sebagai alat diagnosis untuk memetakan dan meningkatkan mutu pendidikan di setiap satuan pendidikan. Fokusnya bukan lagi pada kelulusan perorangan, melainkan pada perbaikan kolektif.

Di dalam kerangka besar ANBK, terdapat dua komponen krusial yang langsung melibatkan siswa: Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) yang mencakup literasi membaca dan numerasi, serta Survei Karakter. Artikel ini akan menggali secara mendalam dua pilar tersebut, yaitu ANBK Literasi dan Survei Karakter. Keduanya merupakan dua sisi dari mata uang yang sama, yang bertujuan untuk membentuk generasi penerus yang tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga unggul dalam karakter dan bijaksana dalam menyikapi kehidupan. Memahami esensi keduanya adalah langkah awal bagi siswa, pendidik, dan orang tua untuk bersinergi dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang holistik dan berdaya saing.

Bagian I: Membedah Tuntas ANBK Literasi Membaca

Ketika mendengar kata "literasi", banyak yang masih mengasosiasikannya sebatas pada kemampuan membaca dan menulis. Namun, dalam konteks ANBK, konsep literasi jauh lebih luas dan mendalam. Ini bukan sekadar tes kecepatan membaca atau ketepatan menjawab soal berdasarkan teks. Literasi membaca dalam ANBK adalah tentang kemampuan untuk memahami, menggunakan, mengevaluasi, dan merefleksikan beragam jenis teks untuk mencapai tujuan tertentu, mengembangkan pengetahuan, serta berpartisipasi aktif dalam masyarakat.

1. Definisi Literasi yang Lebih dari Sekadar Membaca

Literasi dalam ANBK adalah sebuah kompetensi hidup. Bayangkan literasi sebagai sebuah perangkat serbaguna yang memungkinkan seseorang tidak hanya menyerap informasi, tetapi juga mengolahnya secara kritis. Kemampuan ini mencakup:

Dengan demikian, tujuan asesmen literasi bukanlah untuk menguji hafalan, melainkan untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills - HOTS) siswa saat berinteraksi dengan teks.

2. Ragam Konten Teks dalam Asesmen Literasi

Untuk mengukur kompetensi literasi secara komprehensif, ANBK menyajikan dua jenis konten teks utama, masing-masing dengan karakteristik dan tujuan yang berbeda.

A. Teks Fiksi (Sastra)

Teks fiksi bertujuan untuk melibatkan emosi, imajinasi, dan kemampuan interpretasi siswa. Teks ini tidak hanya memberikan hiburan, tetapi juga sarana untuk memahami kompleksitas pengalaman manusia, nilai-nilai moral, dan keindahan bahasa. Jenis teks yang mungkin muncul antara lain:

Melalui teks fiksi, siswa dilatih untuk berempati, memahami sudut pandang yang berbeda, dan mengapresiasi karya seni.

B. Teks Informasi (Non-Fiksi)

Teks informasi bertujuan untuk menyampaikan fakta, data, konsep, dan argumen secara objektif. Kemampuan memahami teks jenis ini sangat krusial di era informasi saat ini. Jenis teks yang disajikan sangat beragam, mencakup:

Teks informasi melatih siswa untuk menjadi konsumen informasi yang cerdas, kritis, dan tidak mudah terpengaruh oleh berita bohong atau misinformasi.

3. Proses Kognitif yang Diukur

ANBK Literasi tidak hanya melihat apa yang dibaca siswa, tetapi juga bagaimana mereka memproses informasi tersebut. Ada tiga tingkatan proses kognitif yang diukur, dari yang paling dasar hingga yang paling kompleks.

A. Menemukan Informasi (Access and Retrieve)

Ini adalah level paling fundamental. Kemampuan ini melibatkan pencarian dan identifikasi informasi yang tersurat secara eksplisit di dalam teks. Siswa diminta untuk menemukan detail spesifik seperti nama, tanggal, lokasi, atau definisi istilah. Pertanyaan pada level ini biasanya dimulai dengan "Siapa...", "Kapan...", "Di mana...", atau "Apa...". Meskipun terkesan dasar, kecepatan dan ketepatan dalam menemukan informasi adalah fondasi untuk pemahaman yang lebih dalam.

B. Menginterpretasi dan Mengintegrasikan (Interpret and Integrate)

Pada level ini, siswa harus melampaui apa yang tertulis secara harfiah. Mereka harus mampu menghubungkan berbagai bagian informasi di dalam teks untuk membangun pemahaman yang koheren. Ini mencakup:

C. Mengevaluasi dan Merefleksi (Evaluate and Reflect)

Ini adalah puncak dari kompetensi literasi, yang menunjukkan pemikiran kritis tingkat tinggi. Pada level ini, siswa tidak lagi hanya berinteraksi dengan teks, tetapi juga mengambil posisi terhadap teks tersebut. Kemampuan yang diukur antara lain:

Bagian II: Memahami Jiwa Pendidikan Melalui Survei Karakter

Jika literasi adalah otak dari pendidikan, maka karakter adalah jiwanya. Pendidikan yang berhasil tidak hanya menghasilkan individu yang pintar, tetapi juga individu yang baik, berintegritas, dan peduli. Inilah peran sentral dari Survei Karakter dalam ANBK. Penting untuk ditekankan sejak awal: ini adalah survei, bukan tes. Tidak ada jawaban benar atau salah, dan hasilnya tidak akan muncul sebagai nilai individu di rapor siswa.

Tujuan Survei Karakter adalah untuk memetakan kondisi ekosistem karakter di sebuah sekolah. Hasilnya menjadi umpan balik berharga bagi sekolah untuk merancang program-program pembinaan karakter yang lebih efektif dan sesuai dengan kebutuhan nyata siswanya. Landasan dari survei ini adalah Profil Pelajar Pancasila.

1. Enam Dimensi Profil Pelajar Pancasila

Profil Pelajar Pancasila adalah rumusan karakter dan kompetensi yang menjadi tujuan akhir dari sistem pendidikan nasional. Survei Karakter dirancang untuk mengukur sejauh mana nilai-nilai dalam enam dimensi ini telah terinternalisasi dalam diri siswa.

A. Beriman, Bertakwa kepada Tuhan YME, dan Berakhlak Mulia

Dimensi ini adalah fondasi spiritual dan moral. Ini bukan hanya tentang ritual keagamaan, tetapi tentang bagaimana keyakinan diwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Elemen kuncinya meliputi:

B. Berkebinekaan Global

Di tengah dunia yang saling terhubung, kemampuan untuk hidup berdampingan secara harmonis dengan berbagai perbedaan budaya adalah sebuah keharusan. Dimensi ini menekankan:

C. Bergotong Royong

Ini adalah nilai luhur bangsa Indonesia yang sangat relevan di zaman modern. Gotong royong lebih dari sekadar kerja sama; ia mencakup kemampuan untuk berkolaborasi secara sukarela demi mencapai tujuan bersama. Aspek-aspeknya adalah:

D. Mandiri

Kemandirian adalah kunci untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat. Siswa yang mandiri tidak selalu bergantung pada instruksi orang lain, tetapi memiliki inisiatif dan tanggung jawab atas proses belajarnya sendiri. Dimensi ini meliputi:

E. Bernalar Kritis

Dimensi ini sangat erat kaitannya dengan kompetensi literasi. Bernalar kritis adalah kemampuan untuk memproses informasi secara objektif, menganalisisnya dari berbagai sudut pandang, dan membuat keputusan yang beralasan. Ini mencakup:

F. Kreatif

Kreativitas bukan hanya milik seniman. Ini adalah kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang baru, orisinal, dan bermanfaat, baik berupa gagasan, solusi, maupun karya nyata. Kreativitas melibatkan:

2. Bagaimana Survei Karakter Bekerja?

Survei ini disajikan dalam bentuk soal-soal situasional. Siswa akan dihadapkan pada sebuah skenario singkat dari kehidupan sehari-hari, kemudian diminta untuk memilih respons atau menyatakan tingkat persetujuan terhadap pernyataan yang diberikan.

Contoh skenario: "Saat kerja kelompok, salah satu temanmu terlihat tidak aktif dan hanya diam. Apa yang kemungkinan besar akan kamu lakukan?"

Pilihan jawabannya akan dirancang untuk merefleksikan dimensi-dimensi Profil Pelajar Pancasila. Misalnya:

Sekali lagi, tidak ada jawaban yang akan dinilai benar atau salah secara akademis. Jawaban siswa akan diakumulasikan secara anonim untuk memberikan gambaran umum tentang iklim karakter di sekolah tersebut. Kejujuran dalam menjawab adalah kunci agar data yang diperoleh akurat dan bermanfaat.

Bagian III: Sinergi Erat Antara Literasi dan Karakter

Literasi dan karakter bukanlah dua hal yang terpisah. Keduanya saling memperkuat dan membentuk individu yang utuh. ANBK, dengan mengukur keduanya secara bersamaan, menegaskan bahwa kecerdasan intelektual harus berjalan beriringan dengan kebijaksanaan moral.

1. Literasi sebagai Fondasi Nalar Kritis dan Kebinekaan

Seseorang tidak dapat bernalar kritis (dimensi karakter) tanpa memiliki kemampuan literasi yang kuat. Bagaimana mungkin seseorang mengevaluasi sebuah argumen jika ia bahkan tidak mampu memahami ide pokok dari teks yang memuat argumen tersebut? Kemampuan literasi untuk membedakan fakta dan opini, mengidentifikasi bias, dan menilai kredibilitas sumber adalah perangkat utama untuk bernalar kritis.

Lebih jauh lagi, literasi membuka jendela menuju dunia. Dengan membaca beragam teks fiksi dan informasi dari berbagai budaya, siswa dapat mengembangkan empati dan pemahaman yang lebih dalam terhadap orang lain. Ini adalah inti dari dimensi berkebinekaan global. Membaca cerita dari perspektif orang lain adalah salah satu cara paling efektif untuk "berjalan dengan sepatu orang lain" dan menumbuhkan toleransi.

2. Karakter sebagai Pemandu Penggunaan Literasi

Di sisi lain, kemampuan literasi yang tinggi tanpa dilandasi karakter yang baik bisa menjadi berbahaya. Seseorang yang literat tetapi tidak jujur bisa menggunakan kemampuannya untuk memanipulasi informasi. Seseorang yang cerdas tetapi tidak memiliki empati bisa menggunakan pengetahuannya untuk merugikan orang lain.

Karakterlah yang menjadi kompas moral. Dimensi "Beriman, Bertakwa kepada Tuhan YME, dan Berakhlak Mulia" memandu agar pengetahuan digunakan untuk kebaikan. Dimensi "Gotong Royong" mendorong agar kecerdasan digunakan untuk menyelesaikan masalah bersama, bukan untuk kepentingan egois. Dimensi "Mandiri" memastikan bahwa siswa menggunakan kemampuan literasinya untuk terus belajar dan berkembang, bahkan tanpa pengawasan.

Kesimpulan: Menuju Generasi Emas

ANBK, dengan fokusnya pada literasi dan survei karakter, menandai sebuah pergeseran fundamental dalam paradigma pendidikan kita. Evaluasi tidak lagi semata-mata tentang angka dan peringkat, tetapi tentang pertumbuhan dan perbaikan yang berkelanjutan. Tujuannya bukan untuk menciptakan robot penghafal, melainkan untuk membina manusia seutuhnya.

Memahami secara mendalam konsep literasi membaca sebagai kemampuan berpikir tingkat tinggi dan survei karakter sebagai cerminan nilai-nilai luhur adalah esensial bagi semua pemangku kepentingan pendidikan. Bagi siswa, ini adalah panggilan untuk menjadi pembelajar yang kritis dan individu yang berintegritas. Bagi pendidik, ini adalah peta untuk merancang pembelajaran yang lebih bermakna. Dan bagi bangsa, ini adalah investasi jangka panjang untuk melahirkan generasi emas yang tidak hanya kompeten secara global, tetapi juga berakar kuat pada nilai-nilai Pancasila.

🏠 Homepage