Cahaya dari Dua Nasab Mulia: Kisah Abdullah dan Aminah

Di tengah hamparan padang pasir Jazirah Arab, di sebuah kota bernama Makkah yang menjadi pusat spiritual dan perdagangan, takdir agung sedang dirajut oleh Sang Maha Pencipta. Ini adalah kisah tentang dua jiwa suci, dua pribadi luhur yang dipilih untuk menjadi gerbang bagi kehadiran manusia paling mulia di muka bumi. Mereka adalah Abdullah bin Abdul Muthalib dan Aminah binti Wahb, orang tua Nabi Muhammad SAW.

Ilustrasi simbolis Ka'bah dan cahaya kenabian Nasab Mulia

Ilustrasi simbolis Ka'bah dan cahaya kenabian yang terpancar dari nasab yang suci.

Bagian Pertama: Akar yang Kokoh dari Bani Hasyim

Abdullah: Permata Quraisy yang Hampir Terkorbankan

Untuk memahami keistimewaan Abdullah, kita harus terlebih dahulu mengenal ayahnya, Abdul Muthalib bin Hasyim. Beliau adalah pemimpin suku Quraisy yang disegani, penjaga Ka'bah dan penanggung jawab mata air Zamzam. Abdul Muthalib memiliki kedudukan yang sangat tinggi di Makkah, dikenal karena kedermawanan, kebijaksanaan, dan keberaniannya. Namun, di balik wibawanya, tersimpan sebuah nazar yang kelak akan menguji hatinya sebagai seorang ayah.

Dikisahkan bahwa ketika Abdul Muthalib menggali kembali sumur Zamzam yang telah lama terkubur, ia hanya memiliki satu putra, al-Harits. Ia merasa lemah dan rentan di hadapan para pembesar Quraisy lainnya yang seringkali menentangnya. Dalam kesendirian dan harapannya, ia bernazar kepada Tuhan Ka’bah: jika kelak ia dikaruniai sepuluh orang putra yang tumbuh dewasa dan dapat melindunginya, ia akan mengorbankan salah satu dari mereka di sisi Ka'bah.

Doanya terkabul. Tuhan menganugerahinya putra-putra yang gagah perkasa, hingga jumlah mereka genap sepuluh. Di antara mereka semua, Abdullah adalah yang paling tampan, paling berbudi pekerti luhur, dan paling ia sayangi. Wajahnya memancarkan cahaya yang berbeda, ketenangannya meneduhkan, dan tutur katanya memikat siapa saja yang mendengarnya. Ia adalah permata di antara putra-putra Abdul Muthalib.

Ketika tiba waktunya untuk menunaikan nazar, hati Abdul Muthalib dilanda kegundahan yang luar biasa. Namun, sebagai seorang pemimpin yang memegang teguh janjinya, ia mengumpulkan kesepuluh putranya dan memberitahukan perihal nazarnya. Dengan penuh kepasrahan, mereka semua setuju untuk mengikuti kehendak ayah mereka. Untuk menentukan siapa yang akan dikorbankan, undian pun dilakukan dengan menggunakan anak panah di hadapan berhala Hubal, sesuai tradisi masa itu.

Dengan tangan gemetar, Abdul Muthalib mengambil anak panah. Setiap kali diundi, nama yang keluar adalah Abdullah. Hatinya hancur. Orang-orang Quraisy yang menyaksikan ikut merasakan kesedihan yang mendalam. Bagaimana mungkin pemuda sebaik dan semulia Abdullah harus dikorbankan? Para ibu menangis, para pemuda menunduk, dan suasana Makkah diselimuti duka.

Abdul Muthalib mengulang undian itu lagi dan lagi, berharap takdir berpihak lain. Namun, anak panah itu seolah telah ditakdirkan untuk menunjuk pada putra kesayangannya. Ketika ia hendak menghunus pisaunya, para pemuka Quraisy, terutama dari kabilah Bani Makhzum (kerabat dari pihak ibu Abdullah), menahannya. Mereka menyarankan agar Abdul Muthalib meminta nasihat dari seorang perempuan bijak di Khaibar.

Pergilah Abdul Muthalib menemuinya. Sang perempuan bijak bertanya, "Berapa diyat (denda) untuk seorang laki-laki di antara kalian?" Mereka menjawab, "Sepuluh ekor unta." Ia pun memberikan solusi: "Kembalilah, dan buatlah undian antara putramu dengan sepuluh ekor unta. Jika yang keluar adalah nama putramu, tambahkan sepuluh ekor unta lagi, lalu undi kembali. Teruslah begitu hingga Tuhan kalian rida dan yang keluar adalah nama unta-unta itu. Setelah itu, sembelihlah unta-unta itu sebagai tebusan."

Abdul Muthalib kembali ke Makkah dengan secercah harapan. Proses undian yang menegangkan pun dimulai. Di satu sisi, nama Abdullah. Di sisi lain, sepuluh ekor unta. Undian pertama, keluar nama Abdullah. Ditambah menjadi dua puluh ekor unta. Tetap nama Abdullah yang keluar. Tiga puluh, empat puluh, lima puluh, hingga sembilan puluh ekor unta, anak panah itu tetap menunjuk pada Abdullah. Setiap kali nama putranya disebut, jantung Abdul Muthalib seakan berhenti berdetak.

Akhirnya, ketika jumlah unta mencapai seratus ekor, undian pun dilakukan untuk kesekian kalinya. Dengan napas tertahan, seluruh Makkah menyaksikan. Kali ini, yang keluar adalah nama seratus ekor unta. Gema takbir dan sorak kegembiraan membahana di sekitar Ka'bah. Abdullah telah diselamatkan! Seratus ekor unta kemudian disembelih sebagai tebusan, dan dagingnya dibagikan kepada seluruh penduduk Makkah. Sejak saat itu, Abdullah dikenal dengan julukan "adz-Dzabih" atau "Yang Disembelih", merujuk pada peristiwa penebusannya. Peristiwa ini bukan sekadar drama keluarga, melainkan sebuah isyarat dari langit bahwa jiwa yang agung ini dilindungi untuk sebuah tujuan yang lebih besar: menjadi ayah bagi penutup para nabi.

Bagian Kedua: Bunga dari Bani Zuhrah

Aminah: Wanita Paling Mulia di Zamannya

Jika Abdullah adalah permata dari Bani Hasyim, maka Aminah binti Wahb adalah bunga paling semerbak dari Bani Zuhrah, salah satu klan terhormat dalam suku Quraisy. Ayahnya, Wahb bin Abdu Manaf, adalah seorang pemimpin di klannya. Dari garis keturunan ibu dan ayah, nasab Aminah bertemu dengan nasab Abdullah pada kakek buyut mereka, Kilab bin Murrah. Ini menunjukkan bahwa keduanya berasal dari pohon keluarga yang sama, murni, dan terhormat.

Aminah tumbuh menjadi seorang gadis yang terkenal akan kecantikan, kecerdasan, dan kesuciannya. Ia menjaga kehormatan dirinya dengan sangat baik, sehingga ia dikenal sebagai "Sayyidah Quraisy" atau pemimpin para wanita Quraisy pada masanya. Karakternya yang agung dan nasabnya yang mulia menjadikannya dambaan banyak pemuda terpandang di Makkah. Banyak lamaran datang kepadanya, namun takdir telah memilihkan jodoh terbaik untuknya.

Dikisahkan bahwa cahaya kenabian yang terpancar dari wajah Abdullah menjadi begitu terang setelah peristiwa penebusan. Banyak wanita Makkah yang berharap bisa menjadi istrinya, bukan hanya karena ketampanannya, tetapi juga karena merasakan ada sesuatu yang istimewa pada dirinya. Namun, hati dan pilihan Abdul Muthalib telah tertuju pada satu nama: Aminah binti Wahb. Ia melihat pada diri Aminah kesempurnaan akhlak dan kemuliaan nasab yang sepadan untuk putra kesayangannya.

Bagian Ketiga: Pernikahan yang Diberkahi

Bersatunya Dua Cahaya

Abdul Muthalib pun membawa putranya, Abdullah, untuk melamar Aminah. Lamaran itu diterima dengan tangan terbuka oleh keluarga Bani Zuhrah. Pernikahan agung pun dilangsungkan. Seluruh Makkah turut merayakan penyatuan dua insan dari klan terbaik Quraisy ini. Pernikahan ini bukan sekadar penyatuan dua keluarga, melainkan pertemuan dua takdir yang telah digariskan.

Ketika Abdullah dan Aminah resmi menjadi suami istri, cahaya yang selama ini terpancar dari dahi Abdullah berpindah kepada rahim Aminah. Inilah isyarat simbolis bahwa benih suci manusia paling mulia telah dititipkan dalam kandungan wanita paling terhormat di zamannya. Kehidupan rumah tangga mereka, meskipun singkat, dipenuhi dengan cinta, kasih sayang, dan penghormatan. Abdullah adalah suami yang lembut dan bertanggung jawab, sementara Aminah adalah istri yang setia dan penuh pengertian.

Masa-masa awal kehamilan Aminah terasa sangat istimewa. Berbeda dengan kehamilan pada umumnya, ia tidak merasakan beban atau kesulitan yang berarti. Sebaliknya, ia merasakan ketenangan dan kedamaian yang luar biasa. Selama masa itu pula, ia sering mendapatkan isyarat-isyarat melalui mimpi. Dalam salah satu mimpinya, ia didatangi seseorang yang berkata, "Sesungguhnya engkau tengah mengandung pemimpin umat ini." Orang itu kemudian memberitahukan bahwa jika anak itu lahir, ia harus menamainya "Muhammad" (Yang Terpuji) dan memohon perlindungan baginya dari kejahatan setiap pendengki.

Dalam riwayat lain, Aminah bermimpi melihat seberkas cahaya keluar dari dirinya. Cahaya itu begitu terang hingga ia bisa melihat istana-istana di Busra, negeri Syam. Ini adalah pertanda bahwa kelak, risalah yang akan dibawa oleh putranya akan menyebar luas hingga ke ujung dunia, menerangi kegelapan dan membawa petunjuk bagi seluruh umat manusia.

Bagian Keempat: Perpisahan yang Mengharukan

Kepergian Abdullah yang Tak Pernah Kembali

Sebagai seorang pedagang Quraisy, sudah menjadi tradisi bagi Abdullah untuk melakukan perjalanan dagang ke negeri Syam. Tak lama setelah pernikahannya, dan saat Aminah tengah mengandung buah hati mereka, Abdullah pun berangkat bersama kafilah dagang Makkah. Dengan berat hati, Aminah melepaskan kepergian suaminya, berharap ia akan segera kembali dengan selamat dan membawa rezeki yang berkah. Ia tidak pernah menyangka bahwa itu adalah pertemuan terakhir mereka.

Setelah menyelesaikan urusan dagangnya di Syam, kafilah Quraisy pun bersiap untuk kembali ke Makkah. Namun, dalam perjalanan pulang, ketika singgah di kota Yatsrib (yang kelak menjadi Madinah), Abdullah jatuh sakit. Kondisinya semakin melemah, sehingga ia tidak mampu melanjutkan perjalanan. Kafilah dagang terpaksa meninggalkannya di Yatsrib untuk dirawat oleh kerabat dari pihak neneknya, yaitu dari kabilah Bani Najjar.

Berita tentang sakitnya Abdullah sampai ke telinga Abdul Muthalib di Makkah. Hatinya cemas luar biasa. Ia segera mengutus putra sulungnya, al-Harits, untuk menyusul ke Yatsrib dan membawa Abdullah pulang. Namun, takdir berkata lain. Ketika al-Harits tiba di Yatsrib, ia mendapati kabar duka yang meremukkan hati: Abdullah telah wafat dan dimakamkan di sana.

Abdullah, pemuda yang ditebus dengan seratus ekor unta, pemuda yang wajahnya memancarkan cahaya, telah pergi untuk selamanya. Ia wafat tanpa pernah sempat melihat wajah putranya yang masih dalam kandungan, putra yang kelak akan menjadi rahmat bagi semesta alam. Ia hanya meninggalkan beberapa ekor unta, beberapa ekor kambing, dan seorang budak perempuan bernama Ummu Aiman sebagai warisan.

Berita kematian Abdullah mengguncang Makkah, terutama bagi dua hati yang paling mencintainya. Abdul Muthalib merasakan duka yang amat dalam, kehilangan putra kesayangannya. Namun, kesedihan yang paling perih tentu dirasakan oleh Aminah. Wanita muda yang tengah menanti kelahiran anak pertamanya kini harus menyandang status sebagai seorang janda. Di tengah kesendiriannya, ia harus menguatkan hati, karena di dalam rahimnya terdapat amanah terbesar dari langit. Kesedihannya ia pendam dalam-dalam, demi menjaga janin yang dikandungnya.

Bagian Kelima: Kelahiran Sang Cahaya dan Peran Ibunda

Aminah, Ibunda Tunggal Sang Nabi

Dalam kesedihan dan penantian, tibalah saat yang dinanti-nantikan. Di sebuah pagi yang cerah, Aminah melahirkan seorang putra. Kelahirannya diiringi dengan berbagai peristiwa luar biasa yang menjadi pertanda akan keagungannya. Cahaya yang pernah ia lihat dalam mimpinya kini benar-benar memancar, menerangi seisi rumahnya. Putranya lahir dalam keadaan bersih, sudah berkhitan, dan dengan tali pusar yang telah terpotong.

Aminah segera mengirim utusan untuk memberitakan kabar gembira ini kepada sang kakek, Abdul Muthalib. Dengan langkah bergegas dan hati yang meluap karena bahagia bercampur haru, Abdul Muthalib datang menemui cucunya. Ia memeluk bayi mungil itu, membawanya ke Ka'bah, dan bertawaf seraya memanjatkan doa syukur. Di sanalah, ia memberikan nama yang belum pernah ada sebelumnya di kalangan Arab: Muhammad. Nama yang berarti "Yang Terpuji".

Aminah membesarkan putranya dengan penuh cinta. Ia adalah ibu sekaligus ayah bagi Muhammad kecil. Ia melihat tanda-tanda keistimewaan pada diri putranya sejak dini. Namun, sesuai tradisi bangsa Arab saat itu, anak-anak dari keluarga terpandang akan disusukan kepada wanita dari pedesaan (badui). Tujuannya agar mereka dapat tumbuh di lingkungan yang udaranya lebih bersih, fisiknya lebih kuat, dan fasih dalam berbahasa Arab murni.

Maka, datanglah para wanita dari Bani Sa'ad untuk mencari bayi susuan. Salah satunya adalah Halimah as-Sa'diyah. Awalnya, banyak yang menolak Muhammad karena ia seorang anak yatim, khawatir tidak akan mendapatkan imbalan yang layak. Namun, Halimah, yang belum juga mendapatkan bayi, merasakan dorongan kuat di hatinya untuk mengambil anak yatim ini. Keputusannya ternyata membawa keberkahan yang tak terhingga bagi keluarganya. Sejak Muhammad tinggal bersamanya, ternaknya menjadi gemuk, air susunya melimpah, dan kehidupannya dipenuhi keberkahan.

Perjalanan Terakhir Bersama Ibunda

Setelah beberapa masa berlalu dan Muhammad kembali ke pangkuan ibunya, Aminah merasakan kerinduan yang mendalam pada suaminya. Ia ingin mengajak putranya untuk berziarah ke makam sang ayah di Yatsrib, sekaligus mengunjungi sanak saudara dari Bani Najjar. Maka, berangkatlah Aminah bersama putranya dan didampingi oleh Ummu Aiman.

Perjalanan itu menjadi kenangan indah bagi Muhammad kecil. Di Yatsrib, ia belajar berenang di sebuah kolam milik Bani Najjar dan bermain dengan anak-anak sebayanya. Aminah menunjukkan kepadanya rumah tempat ayahnya dirawat hingga wafat, dan membawanya ke tempat peristirahatan terakhir Abdullah. Di sisi makam suaminya, Aminah menumpahkan segala kerinduannya, mengenang kembali masa-masa singkat yang penuh kebahagiaan. Perjalanan ini seolah menjadi cara Aminah untuk menghubungkan putranya dengan sosok ayah yang tak pernah ia temui.

Setelah sebulan berada di Yatsrib, mereka pun bersiap untuk kembali ke Makkah. Namun, lagi-lagi, takdir menyisipkan duka dalam perjalanan itu. Di tengah jalan, di sebuah tempat bernama Abwa', Aminah jatuh sakit. Kondisinya cepat sekali memburuk. Di pangkuan putranya yang masih begitu kecil, Aminah mengembuskan napas terakhirnya.

Dapat dibayangkan betapa besar guncangan yang dialami Muhammad kecil. Setelah kehilangan ayah sebelum ia lahir, kini ia harus menyaksikan ibunda tercinta pergi meninggalkannya untuk selamanya. Di tengah padang pasir yang sunyi, di bawah tatapan mata Ummu Aiman yang berduka, Muhammad menjadi seorang yatim piatu. Aminah dimakamkan di tempat ia wafat, di Abwa'. Ummu Aiman kemudian membawa Muhammad kecil kembali ke Makkah, menyerahkannya ke dalam dekapan sang kakek, Abdul Muthalib.

Bagian Keenam: Kedudukan Mulia di Sisi Tuhan

Pandangan Ulama tentang Nasib Orang Tua Nabi

Sebuah pertanyaan yang sering muncul di benak umat adalah mengenai status atau nasib orang tua Nabi Muhammad di akhirat. Mengingat keduanya wafat sebelum masa kenabian dan sebelum ajaran Islam diturunkan secara resmi, bagaimana pandangan ulama mengenai hal ini? Ini adalah topik yang sangat sensitif dan memerlukan adab yang tinggi dalam pembahasannya. Secara umum, terdapat beberapa pandangan di kalangan ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

Pandangan yang paling utama dan dipegang oleh mayoritas ulama adalah bahwa orang tua Nabi termasuk dalam kategori Ahlul Fatrah. Ahlul Fatrah adalah orang-orang yang hidup pada masa kekosongan (interval) antara dua nabi, di mana ajaran nabi sebelumnya telah kabur dan ajaran nabi selanjutnya belum datang. Mereka tidak menerima dakwah yang jelas dan lurus. Menurut prinsip keadilan Allah SWT, seseorang tidak akan diazab sebelum diutus seorang rasul kepada mereka. Karena Abdullah dan Aminah tidak pernah menerima dakwah Islam, maka mereka tidak dibebani syariat dan dianggap selamat (najin). Ini adalah pandangan yang paling menenangkan dan paling sejalan dengan sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang Allah.

Pandangan kedua adalah bahwa mereka wafat dalam keadaan fitrah, yaitu memegang sisa-sisa ajaran tauhid Nabi Ibrahim AS. Meskipun masyarakat Makkah pada umumnya adalah penyembah berhala, terdapat bukti bahwa Abdullah dan Aminah berasal dari garis keturunan yang suci dan terpelihara dari perbuatan syirik yang keji. Abdul Muthalib sendiri dalam beberapa riwayat menunjukkan keyakinan kepada Tuhan Yang Esa, terutama saat peristiwa pasukan gajah Abrahah. Diyakini bahwa Allah telah menjaga kesucian nasab Nabi-Nya dari generasi ke generasi, sehingga orang tua dan leluhurnya terpelihara dari kesyirikan. Mereka adalah penganut ajaran hanif yang lurus.

Ada pula beberapa hadis yang secara zahir (tekstual) seolah-olah menunjukkan nasib yang berbeda. Namun, para ulama besar telah memberikan penjelasan mendalam mengenai hadis-hadis tersebut. Mereka menjelaskan bahwa hadis-hadis itu mungkin diucapkan pada periode awal Islam sebelum Nabi diberi tahu oleh Allah mengenai status orang tuanya, atau memiliki konteks spesifik yang tidak bisa digeneralisasi. Banyak ulama terkemuka, seperti Imam As-Suyuthi, menulis karya khusus yang membela pandangan bahwa orang tua Nabi adalah ahli surga, bahkan mengemukakan riwayat bahwa Allah menghidupkan kembali keduanya agar bisa beriman kepada kenabian putranya, meskipun riwayat ini diperdebatkan kesahihannya.

Kesimpulannya, adab yang paling utama bagi seorang Muslim adalah meyakini bahwa orang tua Nabi Muhammad SAW adalah orang-orang yang mulia dan diselamatkan oleh Allah SWT. Kita harus berbaik sangka (husnuzan) kepada mereka, mengingat kemuliaan nasab dan peran agung mereka sebagai "wadah" bagi hadirnya manusia termulia. Memperdebatkan nasib mereka secara berlebihan adalah tindakan yang tidak pantas dan bisa menyakiti hati Rasulullah SAW. Cukuplah kita meyakini bahwa Allah, dengan keadilan dan rahmat-Nya, tidak akan menyia-nyiakan dua insan suci yang telah Dia pilih untuk menjadi orang tua kekasih-Nya.

Warisan Abadi Abdullah dan Aminah

Abdullah dan Aminah tidak meninggalkan warisan harta yang melimpah. Namun, mereka meninggalkan warisan yang jauh lebih berharga dari seluruh isi dunia: seorang putra bernama Muhammad. Melalui mereka berdua, Allah menjaga silsilah nasab yang paling murni dan paling mulia di muka bumi, yang puncaknya adalah kehadiran Sang Penutup Para Nabi.

Kisah mereka adalah cerminan dari pengorbanan, kesabaran, dan ketulusan. Abdullah, yang hampir dikorbankan, menunjukkan kepasrahan. Aminah, yang menanggung kehamilan dan kesendirian, menunjukkan ketegaran. Kehidupan mereka yang singkat di dunia menjadi pengantar bagi sebuah misi yang abadi. Mereka adalah akar yang tersembunyi di dalam tanah, yang tanpanya, pohon Islam yang agung tidak akan pernah bisa tumbuh menjulang ke langit.

Kecintaan Rasulullah kepada kedua orang tuanya pun abadi. Diriwayatkan bahwa suatu saat, ketika beliau melewati Abwa' dalam sebuah perjalanan, beliau berhenti dan menziarahi makam ibundanya. Beliau menangis di sisi makam itu hingga membuat para sahabat yang menyertainya ikut menangis. Beliau bersabda bahwa beliau meminta izin kepada Tuhannya untuk memohonkan ampun bagi ibunya, namun tidak diizinkan, tetapi beliau diizinkan untuk menziarahinya. Tangisan beliau adalah tangisan cinta, rindu, dan kasih sayang seorang anak kepada ibunya. Sebuah bukti bahwa ikatan suci antara mereka tak lekang oleh waktu.

Mereka adalah permulaan dari sebuah kisah agung. Dari nasab mereka yang suci, lahirlah cahaya yang menerangi seluruh alam. Semoga salam dan rahmat senantiasa tercurah kepada Abdullah bin Abdul Muthalib dan Aminah binti Wahb, kedua orang tua mulia dari junjungan kita, Nabi Muhammad SAW.
🏠 Homepage