Dalam khazanah keilmuan Islam, terdapat banyak istilah yang menjadi kunci untuk memahami esensi ajaran agamanya. Salah satu istilah yang paling fundamental dan seringkali menjadi pusat pembahasan adalah tasyri'. Kata ini mungkin terdengar akademis, namun sesungguhnya ia menyentuh setiap aspek kehidupan seorang Muslim. Tasyri adalah ruh yang menggerakkan, membentuk, dan memberi arah bagi peradaban Islam. Ia bukan sekadar kumpulan aturan, melainkan sebuah proses dinamis yang menjembatani wahyu ilahi dengan realitas kemanusiaan yang senantiasa berubah. Memahami tasyri' berarti menyelami samudra kearifan di balik penetapan hukum Islam, dari mulai ibadah ritual hingga transaksi keuangan modern.
Artikel ini akan mengupas secara mendalam tentang apa itu tasyri', membedakannya dari konsep serupa seperti syariah dan fikih, menelusuri sumber-sumbernya yang agung, mengikuti jejak sejarah perkembangannya yang panjang, menganalisis prinsip-prinsip dasarnya yang universal, serta melihat relevansinya dalam menghadapi tantangan zaman kontemporer. Ini adalah perjalanan intelektual untuk memahami bagaimana hukum Islam dibentuk, dijaga, dan diadaptasikan demi kemaslahatan umat manusia.
Pengertian Mendasar: Membedah Konsep Tasyri'
Untuk memahami sebuah konsep secara utuh, kita perlu memulainya dari akar katanya. Pendekatan ini sangat relevan dalam studi Islam, di mana bahasa Arab memegang peranan sentral. Demikian pula dengan istilah tasyri', yang pemahamannya dimulai dari etimologi hingga terminologi yang disepakati oleh para ulama.
Etimologi dan Terminologi
Secara etimologi (bahasa), kata tasyri' (التشريع) berasal dari akar kata Arab syara'a (شرع). Kata ini memiliki beberapa makna dasar, di antaranya adalah "membuat jalan", "membuka", "memulai", atau "menetapkan suatu jalan yang lurus". Dalam konteks perairan, syara'a bisa berarti membuat jalan menuju sumber air. Dari makna literal ini, kita dapat menangkap sebuah filosofi mendalam: tasyri' adalah proses membuat dan menunjukkan "jalan" (syari'ah) yang lurus dan jelas bagi manusia untuk menjalani kehidupannya, layaknya sebuah jalan yang mengantarkan kepada sumber kehidupan.
Secara terminologi (istilah), tasyri' memiliki makna yang lebih spesifik. Para ulama mendefinisikannya sebagai proses penetapan, pembuatan, dan pembentukan hukum-hukum oleh Sang Pembuat Hukum (Asy-Syari'), yaitu Allah SWT, untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik yang menyangkut hubungan dengan Tuhan (hablun minallah) maupun hubungan dengan sesama manusia (hablun minannas) dan alam semesta.
Dalam definisi ini, terkandung beberapa poin penting. Pertama, subjek utama dari tasyri' adalah Allah SWT. Dialah legislator absolut. Kedua, objeknya adalah hukum-hukum yang bersifat komprehensif, mencakup akidah (keyakinan), ibadah (ritual), muamalah (interaksi sosial), jinayah (pidana), dan akhlak (etika). Ketiga, tujuannya adalah untuk memberikan panduan dan aturan demi tercapainya kemaslahatan (maslahah) dan terhindarnya kerusakan (mafsadah) di dunia dan akhirat.
Perbedaan Krusial: Tasyri', Syari'ah, dan Fiqh
Dalam diskusi sehari-hari, istilah tasyri', syari'ah, dan fiqh sering digunakan secara tumpang tindih, padahal ketiganya memiliki makna yang berbeda namun saling berkaitan erat. Memahami perbedaannya adalah kunci untuk menghindari kesalahpahaman tentang hukum Islam.
- Syari'ah (الشريعة): Secara harfiah berarti "jalan menuju sumber air". Dalam istilah Islam, Syari'ah adalah keseluruhan ajaran Islam yang bersumber dari wahyu Allah, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah yang otentik. Syari'ah bersifat ilahiah (ketuhanan), abadi, universal, dan tidak dapat diubah. Ia adalah sumber hukum itu sendiri, berisi prinsip-prinsip umum dan hukum-hukum yang terperinci. Singkatnya, Syari'ah adalah "teks suci" atau "blue print" ilahi.
- Tasyri' (التشريع): Seperti dijelaskan sebelumnya, ini adalah proses legislasi atau penetapan hukum. Proses ini memiliki dua dimensi. Dimensi pertama adalah tasyri' ilahi, yaitu ketika Allah SWT menetapkan hukum melalui wahyu kepada Nabi Muhammad SAW. Proses ini telah berakhir dengan wafatnya Rasulullah. Dimensi kedua adalah tasyri' dalam arti upaya manusia (ijtihad) untuk menggali, merumuskan, dan menerapkan hukum dari sumber-sumber Syari'ah (Al-Qur'an dan Sunnah). Proses kedua inilah yang terus berjalan.
- Fiqh (الفقه): Secara harfiah berarti "pemahaman yang mendalam". Dalam istilah Islam, Fiqh adalah hasil dari pemahaman dan ijtihad para ulama (mujtahid) terhadap dalil-dalil Syari'ah. Fiqh adalah produk intelektual manusia dalam upaya memahami kehendak Allah. Karena merupakan pemahaman manusia, fiqh bersifat dinamis, dapat berbeda-beda antar ulama (mazhab), dan bisa berubah sesuai dengan konteks waktu dan tempat, selama tidak menyimpang dari prinsip dasar Syari'ah. Singkatnya, Fiqh adalah "produk hukum" atau "interpretasi" manusia terhadap Syari'ah.
Jika Syari'ah adalah samudra yang luas dan dalam, maka tasyri' adalah proses menyelam dan mengambil mutiara dari samudra tersebut, dan Fiqh adalah mutiara-mutiara indah yang berhasil diangkat ke permukaan.
Sumber-Sumber Tasyri' Islam: Fondasi Penetapan Hukum
Proses tasyri' tidak berjalan di ruang hampa. Ia bersandar pada sumber-sumber otoritatif yang telah disepakati oleh mayoritas ulama (jumhur ulama). Sumber-sumber ini menjadi rujukan utama dalam menetapkan hukum dan memastikan bahwa setiap aturan yang dihasilkan tetap berada dalam koridor ilahi. Secara umum, sumber-sumber ini dibagi menjadi dua kategori besar: sumber primer yang disepakati (muttafaq 'alaih) dan sumber sekunder yang merupakan hasil ijtihad (mukhtalaf fih).
Sumber Primer (Disepakati)
Ini adalah dua pilar utama yang menjadi fondasi bagi seluruh bangunan hukum Islam. Otoritasnya bersifat absolut dan tidak dapat diganggu gugat.
1. Al-Qur'an
Al-Qur'an adalah firman Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril. Ia adalah sumber tasyri' yang pertama dan tertinggi. Setiap hukum harus merujuk dan tidak boleh bertentangan dengannya. Ayat-ayat hukum (ayat al-ahkam) dalam Al-Qur'an menjadi dasar bagi berbagai ketentuan. Sifat hukum dalam Al-Qur'an ada dua macam:
- Qath'i (definitif): Ayat-ayat yang maknanya sangat jelas, tegas, dan tidak memiliki kemungkinan interpretasi lain. Contohnya adalah hukum waris (An-Nisa: 11-12), hukuman bagi pezina (An-Nur: 2), dan kewajiban shalat lima waktu. Hukum-hukum ini bersifat tetap dan tidak bisa diijtihadkan.
- Zhanni (interpretatif): Ayat-ayat yang maknanya bersifat umum atau memiliki beberapa kemungkinan interpretasi. Contohnya adalah perintah "dirikanlah shalat" yang tidak merinci tata caranya, atau perintah "berpegang teguhlah pada tali (agama) Allah" (Ali 'Imran: 103) yang memerlukan penafsiran lebih lanjut. Di sinilah peran sumber kedua, yaitu Sunnah, dan ijtihad menjadi sangat penting.
2. As-Sunnah (Al-Hadis)
As-Sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan (qauliyah), perbuatan (fi'liyah), maupun ketetapan atau persetujuan (taqririyah). Sunnah berfungsi sebagai penjelas, penguat, dan perinci bagi Al-Qur'an. Kedudukannya sebagai sumber tasyri' kedua setelah Al-Qur'an didasarkan pada perintah Allah sendiri untuk menaati Rasul-Nya (misalnya, An-Nisa: 59). Fungsi Sunnah terhadap Al-Qur'an adalah sebagai berikut:
- Bayan At-Taqrir: Menguatkan dan menegaskan kembali hukum yang sudah ada dalam Al-Qur'an. Contoh, hadis tentang kewajiban puasa Ramadhan menguatkan ayat Al-Qur'an tentang hal yang sama.
- Bayan At-Tafsir: Menjelaskan dan merinci ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat global (mujmal). Contoh paling jelas adalah hadis-hadis yang merinci tata cara shalat, jumlah rakaat, dan waktu-waktunya, yang tidak dijelaskan detail dalam Al-Qur'an.
- Bayan At-Tasyri': Menetapkan hukum baru yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an, namun tetap sejalan dengan ruh dan prinsipnya. Contohnya adalah pengharaman memakai emas dan sutra bagi laki-laki.
Sumber Sekunder (Hasil Ijtihad)
Ketika suatu masalah tidak ditemukan hukumnya secara eksplisit dalam Al-Qur'an dan Sunnah, para ulama melakukan ijtihad dengan menggunakan metodologi tertentu. Sumber-sumber yang lahir dari ijtihad ini diakui sebagai sumber hukum sekunder.
3. Ijma' (Konsensus Ulama)
Ijma' adalah kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Islam pada suatu masa setelah wafatnya Nabi SAW atas suatu hukum syar'i. Jika para ahli hukum Islam pada satu generasi sepakat atas suatu masalah, maka kesepakatan mereka menjadi hujjah (argumen) yang mengikat. Contoh ijma' adalah kesepakatan para sahabat untuk mengumpulkan Al-Qur'an dalam satu mushaf pada masa Khalifah Abu Bakar dan Utsman bin Affan.
4. Qiyas (Analogi)
Qiyas adalah metode penetapan hukum suatu kasus baru yang belum ada dalilnya dengan cara membandingkannya dengan kasus lama yang sudah ada hukumnya dalam Nash (Al-Qur'an/Sunnah) karena adanya kesamaan 'illah (sebab hukum). Qiyas memiliki empat rukun: (1) Ashl (kasus pokok yang ada hukumnya), (2) Far'u (kasus baru yang dicari hukumnya), (3) Hukm al-Ashl (hukum dari kasus pokok), dan (4) 'Illah (sifat atau sebab yang sama antara keduanya). Contoh klasik qiyas adalah pengharaman narkotika (kasus baru) dianalogikan dengan pengharaman khamr (minuman keras, kasus pokok) karena keduanya memiliki 'illah yang sama, yaitu memabukkan dan menghilangkan akal sehat.
Sumber Tambahan (Metodologi Ijtihad Lainnya)
Selain Ijma' dan Qiyas, terdapat metodologi lain yang digunakan oleh sebagian mazhab sebagai sumber hukum, yang pada hakikatnya merupakan turunan dari ijtihad.
- Istihsan: Diadopsi terutama oleh Mazhab Hanafi, Istihsan berarti beralih dari hukum yang dihasilkan oleh qiyas yang jelas kepada hukum lain karena ada dalil yang lebih kuat yang menuntutnya, demi kemudahan dan keadilan.
- Maslahah Mursalah: Diadopsi oleh Mazhab Maliki, ini adalah penetapan hukum berdasarkan pertimbangan kemaslahatan umum (kepentingan publik) yang tidak diatur secara spesifik oleh nash, namun sejalan dengan tujuan umum syariah (Maqashid Syariah). Contohnya adalah pencatatan pernikahan di lembaga negara untuk melindungi hak-hak keluarga.
- 'Urf (Adat Kebiasaan): Adat kebiasaan suatu masyarakat yang tidak bertentangan dengan prinsip Syari'ah dapat diakui sebagai sumber hukum dalam perkara muamalah.
- Sadd adz-Dzari'ah: Menutup jalan atau sarana yang dapat membawa kepada perbuatan yang dilarang (mafsadah), meskipun sarana itu pada dasarnya mubah.
Sejarah dan Fase-Fase Perkembangan Tasyri'
Proses tasyri' tidak terjadi dalam sekejap. Ia melalui evolusi dan perkembangan seiring dengan perjalanan sejarah umat Islam. Memahami fase-fase ini memberikan wawasan tentang bagaimana hukum Islam merespons tantangan zaman yang berbeda.
Fase Pertama: Periode Nabi Muhammad SAW (Tasyri' Wahyu)
Ini adalah fase fondasi, di mana sumber tasyri' adalah wahyu semata. Nabi Muhammad SAW adalah satu-satunya legislator yang menerima petunjuk langsung dari Allah. Tasyri' pada periode ini memiliki karakteristik unik:
- Sumber Tunggal: Al-Qur'an dan Sunnah yang merupakan penjelasan langsung dari Nabi.
- Gradual (Tadarruj): Hukum diturunkan secara bertahap untuk memudahkan umat dalam menerima dan mengamalkannya. Contoh paling terkenal adalah proses pengharaman khamr yang melalui beberapa tahapan.
- Konteks Makkah dan Madinah: Ayat-ayat Makkiyah (turun di Makkah) lebih fokus pada pembangunan akidah, tauhid, dan akhlak. Sementara ayat-ayat Madaniyah (turun di Madinah), setelah negara Islam terbentuk, lebih banyak mengandung hukum-hukum terkait ibadah, muamalah, kenegaraan, dan pidana.
- Solusi Langsung: Jika ada masalah hukum, para sahabat bisa langsung bertanya kepada Nabi, dan jawabannya datang melalui wahyu atau penjelasan langsung dari beliau. Tidak ada ijtihad dalam pengertian modern karena sumber hukum masih hidup.
Fase Kedua: Periode Khulafaur Rasyidin (Awal Ijtihad)
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, wahyu terputus. Umat Islam dihadapkan pada berbagai persoalan baru yang tidak dijumpai di masa Nabi, seiring dengan meluasnya wilayah Islam. Di sinilah proses ijtihad mulai mengambil peran sentral. Para sahabat, terutama Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali), menjadi pionir dalam tasyri' pasca-kenabian.
Metodologi mereka adalah: pertama, mencari solusi dalam Al-Qur'an. Jika tidak ditemukan, mereka mencari dalam Sunnah Nabi. Jika masih tidak ditemukan, mereka berkumpul, bermusyawarah, dan melakukan ijtihad kolektif. Inilah cikal bakal dari Ijma'. Khalifah Umar bin Khattab dikenal sangat inovatif dalam ijtihadnya, seperti menetapkan kalender Hijriah dan membentuk lembaga peradilan (qadhi).
Fase Ketiga: Periode Sahabat Kecil dan Tabi'in (Perkembangan Awal Mazhab)
Pada periode ini, para sahabat menyebar ke berbagai penjuru wilayah Islam seperti Kufah, Basrah, Syam, dan Mesir. Mereka menjadi rujukan hukum di daerah masing-masing. Perbedaan kondisi sosial, budaya, dan ketersediaan hadis di setiap wilayah menyebabkan munculnya perbedaan pendapat (ikhtilaf) dalam beberapa masalah fiqh. Ini melahirkan dua aliran besar pemikiran hukum:
- Ahl al-Hadits (Madrasah Hijaz): Berpusat di Madinah, mereka sangat berpegang teguh pada teks hadis karena Madinah adalah pusat periwayatan hadis.
- Ahl ar-Ra'yi (Madrasah Iraq): Berpusat di Kufah, di mana hadis tidak sebanyak di Madinah, mereka lebih banyak menggunakan logika dan rasio (qiyas) dalam menyelesaikan masalah-masalah baru.
Perbedaan ini bukanlah perpecahan, melainkan kekayaan intelektual yang menjadi dasar bagi lahirnya mazhab-mazhab besar di kemudian hari.
Fase Keempat: Periode Keemasan Fiqh (Masa Para Imam Mazhab)
Periode ini, yang berlangsung sekitar abad ke-2 hingga ke-4 Hijriah, dianggap sebagai puncak kejayaan intelektual dalam sejarah tasyri' Islam. Pada masa inilah para imam mujtahid besar muncul dan melakukan kodifikasi serta sistematisasi metodologi hukum Islam (Ushul Fiqh). Mereka mendirikan mazhab-mazhab fiqh yang pengaruhnya masih terasa hingga kini.
Para imam besar seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal berhasil merumuskan kerangka kerja ijtihad yang komprehensif. Imam Asy-Syafi'i, melalui karyanya "Ar-Risalah", dianggap sebagai peletak dasar ilmu Ushul Fiqh yang sistematis, yang menyusun hierarki sumber-sumber hukum (Al-Qur'an, Sunnah, Ijma', Qiyas) secara rapi.
Fase Kelima: Periode Stagnasi dan Taqlid
Setelah era keemasan, semangat ijtihad perlahan-lahan menurun. Banyak ulama yang merasa cukup dengan hasil ijtihad para imam sebelumnya dan cenderung mengikuti (taqlid) salah satu mazhab yang sudah ada. Pintu ijtihad seolah-olah dianggap tertutup. Faktor-faktor seperti stabilitas politik yang menurun dan kehancuran pusat-pusat keilmuan Islam (seperti jatuhnya Baghdad) turut berkontribusi pada fase stagnasi ini.
Fase Keenam: Periode Kebangkitan Modern
Dimulai sekitar abad ke-19, dunia Islam berhadapan dengan tantangan modernitas, kolonialisme, dan globalisasi. Muncul kesadaran baru akan perlunya membuka kembali pintu ijtihad untuk merespons persoalan-persoalan kontemporer yang sangat kompleks, seperti sistem perbankan, asuransi, transplantasi organ, kloning, isu lingkungan, dan hak asasi manusia. Para pemikir modernis Islam seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha menyerukan reformasi pemikiran hukum Islam dan kembali kepada sumber-sumber primer dengan semangat ijtihad yang baru.
Prinsip dan Karakteristik Tasyri' Islam
Tasyri' Islam dibangun di atas serangkaian prinsip dan karakteristik fundamental yang membuatnya unik dan relevan di setiap zaman. Prinsip-prinsip ini menjadi panduan bagi para mujtahid dalam proses penggalian hukum, memastikan bahwa setiap produk fiqh tetap selaras dengan tujuan luhur Syari'ah.
1. Rabbaniyyah (Bersumber dari Tuhan)
Karakteristik utama tasyri' Islam adalah sumbernya yang ilahi. Hukum-hukum dasarnya berasal dari Allah SWT, Sang Pencipta yang Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi makhluk-Nya. Sifat Rabbaniyah ini memberikan hukum Islam otoritas spiritual dan moral yang tinggi, membedakannya dari hukum buatan manusia yang seringkali dipengaruhi oleh kepentingan sesaat dan hawa nafsu.
2. Insaniyyah wa 'Alamiyyah (Humanis dan Universal)
Meskipun bersumber dari Tuhan, tasyri' Islam ditujukan untuk kemaslahatan manusia ('insaniyyah') dan berlaku untuk seluruh umat manusia tanpa memandang ras, suku, atau bangsa ('alamiyyah'). Ajarannya menghormati martabat kemanusiaan, melindungi hak-hak dasar, dan menawarkan solusi bagi permasalahan universal.
3. Al-Waqi'iyyah (Realistis dan Praktis)
Hukum Islam tidak berada di awang-awang. Ia sangat realistis (waqi'i) dan mempertimbangkan fitrah serta kemampuan manusia. Islam tidak membebani manusia di luar batas kemampuannya. Adanya konsep rukhsah (keringanan), seperti diperbolehkannya tayamum saat tidak ada air atau menjamak shalat saat bepergian, adalah bukti nyata dari sifat realistis ini.
4. Tadarruj (Gradualisme dalam Penerapan)
Sebagaimana dicontohkan pada masa Nabi, tasyri' memperhatikan aspek psikologis dan sosiologis masyarakat. Penerapan hukum dilakukan secara bertahap untuk memungkinkan adaptasi dan penerimaan yang lebih baik, bukan dengan cara yang revolusioner dan memaksa.
5. Taqliilut Takaliif (Meminimalisir Beban)
Prinsip dasar dalam tasyri' adalah kemudahan dan meminimalisir beban (taklif). Allah tidak ingin menyulitkan hamba-Nya. Oleh karena itu, hukum asal dari segala sesuatu (di luar ibadah) adalah mubah atau boleh (al-ashlu fil asyya' al-ibahah), kecuali ada dalil yang melarangnya. Ini memberikan ruang gerak yang luas bagi manusia untuk berinovasi dan berkembang.
6. Al-Wasathiyyah (Moderat dan Seimbang)
Tasyri' Islam menekankan jalan tengah (wasathiyyah), keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat, antara hak dan kewajiban, antara spiritualitas dan materialitas, serta antara individu dan masyarakat. Ia menghindari ekstremisme, baik dalam bentuk meremehkan (ifrath) maupun berlebih-lebihan (tafrith).
7. Menjaga Lima Kemaslahatan Dasar (Maqashid asy-Syari'ah)
Ini adalah puncak dan tujuan dari seluruh proses tasyri'. Seluruh hukum Islam, pada esensinya, bertujuan untuk melindungi dan memelihara lima hal pokok yang menjadi pilar kehidupan manusia (ad-dharuriyyat al-khamsah):
- Hifdz ad-Din (Menjaga Agama): Melindungi kebebasan berkeyakinan dan menjalankan ibadah. Disyariatkannya jihad (dalam arti defensif) dan hukuman bagi penistaan agama bertujuan untuk ini.
- Hifdz an-Nafs (Menjaga Jiwa): Melindungi hak hidup setiap individu. Diharamkannya pembunuhan dan disyariatkannya hukum qishash adalah untuk menjaga jiwa.
- Hifdz al-'Aql (Menjaga Akal): Melindungi kesehatan akal dan pikiran. Diharamkannya khamr dan segala yang memabukkan bertujuan untuk menjaga akal.
- Hifdz an-Nasl (Menjaga Keturunan): Melindungi institusi keluarga dan kejelasan garis keturunan. Disyariatkannya pernikahan dan diharamkannya perzinaan adalah untuk tujuan ini.
- Hifdz al-Mal (Menjaga Harta): Melindungi hak kepemilikan. Diharamkannya pencurian, riba, dan korupsi serta disyariatkannya hukuman potong tangan bagi pencuri adalah untuk melindungi harta.
Tasyri' dalam Konteks Kontemporer
Di era modern yang ditandai dengan perubahan sosial yang cepat, kemajuan teknologi yang pesat, dan interaksi global yang intens, proses tasyri' menghadapi tantangan sekaligus peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bagaimana prinsip-prinsip tasyri' yang dirumuskan berabad-abad lalu dapat menjawab persoalan masa kini?
Tantangan Globalisasi dan Teknologi
Dunia kontemporer memunculkan berbagai isu kompleks yang membutuhkan jawaban hukum Islam (fiqh) yang baru. Persoalan seperti rekayasa genetika, kecerdasan buatan (AI), transaksi keuangan digital (cryptocurrency), etika media sosial, dan isu-isu lingkungan global menuntut para ulama untuk melakukan ijtihad yang cermat dan komprehensif. Dalam hal ini, metodologi seperti Maslahah Mursalah dan Maqashid Syariah menjadi sangat relevan. Para ulama tidak lagi bisa hanya melihat teks secara harfiah, tetapi harus memahami tujuan di balik teks tersebut untuk merumuskan hukum yang membawa kemaslahatan terbesar.
Ijtihad Kolektif (Jama'i)
Kompleksitas masalah modern seringkali tidak bisa diselesaikan oleh ijtihad perorangan (fardi). Diperlukan ijtihad kolektif (jama'i) yang melibatkan para ahli dari berbagai disiplin ilmu—ulama fiqh, ilmuwan, ekonom, dokter, sosiolog, dan ahli teknologi. Lembaga-lembaga fatwa modern dan majelis-majelis ulama internasional, seperti Majma' al-Fiqh al-Islami (OKI) atau dewan syariah nasional di berbagai negara, menjadi wadah penting bagi proses tasyri' kontemporer. Mereka bersidang untuk membahas isu-isu baru dan mengeluarkan fatwa kolektif yang lebih komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dinamika Ekonomi dan Keuangan Syariah
Salah satu manifestasi paling nyata dari tasyri' kontemporer adalah perkembangan pesat industri keuangan syariah global. Para ahli fiqh muamalah berhasil merumuskan produk-produk perbankan, asuransi (takaful), dan pasar modal yang sesuai dengan prinsip Syari'ah (seperti larangan riba, gharar, dan maysir). Ini adalah contoh luar biasa bagaimana proses tasyri' mampu beradaptasi dan berinovasi untuk menyediakan alternatif etis dalam sistem ekonomi modern.
Sebagai kesimpulan, tasyri' bukanlah sebuah konsep yang kaku dan statis. Ia adalah proses intelektual dan spiritual yang hidup, dinamis, dan berkelanjutan. Tasyri adalah jantung dari peradaban Islam yang terus berdetak, memompa darah kearifan dari sumber-sumber wahyu yang suci ke seluruh pembuluh nadi kehidupan manusia yang terus berubah. Ia adalah bukti bahwa Syari'ah Islam, dengan prinsip-prinsipnya yang agung, mampu memberikan panduan, rahmat, dan solusi bagi umat manusia di sepanjang zaman. Memahami tasyri' secara mendalam bukan hanya penting bagi para ahli hukum, tetapi bagi setiap Muslim yang ingin menghayati agamanya secara utuh dan menjawab tantangan zamannya dengan penuh keyakinan dan kearifan.